Prolog
"Kita putus."
"Jay?" Baru juga duduk sehabis memesan minuman, di mana kini hendak dirinya keluarkan sampel undangan. Hal yang akan dibicarakan sekarang, tetapi ... apa katanya tadi?
"Maaf, Nin."
Anindea Raihi, melonggarkan cekalannya pada sampel undangan di dalam tas. Menatap sang kekasih yang sudah naik level menjadi calon suami.
Jay menunduk. Menatap cincin di jarinya, yang lalu dia lepaskan, diletakkannya di meja seraya mendorong ke dekat Anin.
Mencelus yang di sini, Anindea menatap tak menyangka atas apa yang sedang pacarnya lakukan. "Kamu gila? Pernikahan udah dekat!"
"Viska hamil, Nin."
Wait.
Bibir Anin terkatup rapat, perlahan mengetat geraham di dalam mulutnya. Namun, tidak lama sampai dia menemukan kembali suaranya yang dirasa tercekat. "Viska Pradipta?"
Tolong jangan katakan iya.
"Maaf ...."
Makin dirasa retak karena 'maaf' lebih valid dari sekadar 'ya'.
"Kita mau menikah, Jay. Menikah!" Dan itu bulan depan.
"Yes, I know. But ...."
Bertatapan. Anin melihat mata Jay berembun, apalagi saat bilang, "I'm so sorry, Nin. I have a mistake. Maaf ...."
Sontak Anin menggigit bibir bagian dalamnya. Menatap sosok Jay dengan cukup lamat.
"Senggak tahan itu buat nunggu dua bulan lagi pernikahan kita, Jay, sampe kamu merayu Viska? Bahkan kurang dari dua bulan kurasa. Senggak tahan itu?"
"Nggak, bukan aku yang rayu. Tapi di kondisi aku yang lagi begini, terus Viska datang, jadi—"
"Kamu sange, terus kalian ngelakuin hal menjijikkan itu dan sekarang dia bunting?" Mari frontal-frontalan saja, tak peduli respons sekitar. Oh, mata Anin berkaca.
"Maaf ...."
Fuckk!
"Kamu bilang itu cuma tes! Yang kamu omongin waktu itu—"
"Maaf, Nin ...."
Argh!
Anin meraup wajahnya, menahan buncahan amarah. "Tapi apa harus Viska, Jay?"
"Yang datang dia."
"Sepupu aku. Kamu nggak peduli Viska siapa atau nggak peduli aku siapa sampe-sampe kalian—ah, sialan. Viska bahkan masih sekolah, berengsekk!"
"Udah mau lulus."
"Jay?" Tatapan Anin seolah terhunus 'are you kidding me?'
Serius bilang gitu ke Anin?
"Kita putus, ya, Nin?"
Sure!
Harus putus. Anin juga tidak mau mempertahankan laki-laki b***t seperti Jayyan Hadiningrat. Hanya saja—
"Dan tolong nanti ...." Jay agak kelu. Menatap wanita yang dia cinta, tetapi nafsu mengubah haluannya. Bertepatan dengan datangnya pesanan Anin sehingga Jayyan menjeda agak lama tutur katanya. Lepas itu ... "Jangan musuhin Viska, ya, Nin? Dia—"
Habis sudah kesabaran Anin di sini. Diraihnya gelas minuman di meja, lalu dia hempas isinya melibas wajah tampan Jay yang hina. Di mata Anin ... lelaki ini sangat hina.
Lihatlah, d**a Anin kembang-kempis emosi. Air matanya menggantung hanya tinggal menetes saja. But, dia tahan setengah mati.
"Dengar." Anin meletakkan gelas tadi dengan cukup kasar seraya bilang, "Pertama, hubungan kita bukan ada di level bilang putus kalau mau berakhir. Dan aku yang lebih pantas untuk mengatakannya." Sambil Anin lepaskan cincin di jarinya, lalu dia lempar ke d**a Jayyan yang telah basah. "Dua, hak aku mau musuhin Viska, kamu, atau siapa pun itu. Hak aku."
Oh, God. Ini menyakitkan.
Perih.
Dadanya panas tersayat-sayat benang tajam, sedang desah napasnya seperti mengandung serpihan kayu yang runcing, seruncing tatapan Anin untuk pria di depannya.
"Tiga ...." Diucap dengan penuh penekanan. "Lo cowok berengsekk bajingann taii tengik—ah, sial." Anin memupus tetes air yang lolos juga dari matanya. Menatap sengit kepada kekasih—guguklah, ya! Anin benci itu. Benci sekali.
Dan tanpa ba-bi-bu lagi, Anin berlalu selepas meraih tas selempang yang diletakkannya di kursi.
See!
Jayyan tidak mengejarnya. Lelaki itu berdiam di tempat. Mengelap air di wajah dan leher bekas siraman emosi dari Anindea.
Makin sakit saja rasanya ini denyut di jantung. Makin sesak napas yang Anin hidu dan embuskan. Makin panas pula matanya berembun.
Bagaimana tidak?
Tanggal pernikahan sudah ditentukan, Anin bahkan sudah pilih-pilih undangan. Sesuai yang dijanjikan, hari ini ketemuan untuk penentuan final undangan mana yang akan dipilih soalnya Jayyan tidak ikut serta menemani Anin waktu itu.
Pantas saja.
Pantas minta ketemu langsung alih-alih menyepakati di chat yang sudah Anin kirim sampelnya melalui video dan foto. Pantas saja bukan Jayyan yang datang ke rumah, melainkan minta meet up di luar.
Dan masih banyak lagi kejanggalan yang mulai terjawab, khususnya soal Viska Pradipta—adik sepupu Anin dari keluarga tiri.
***
Tertanggal, satu bulan lalu.
My Love: [Sayang ....]
My Love: [Anin ....]
My Love: [Bep ....]
Anindea: [Iya, Sayang. Kenapa?]
Anindea: [Maaf baru bales, habis ada problem di konter.]
My Love: [Oh ... pantes.]
My Love: [Nin.]
Anindea: [Iya, apa?]
Anindea: [Dari tadi manggil terus. Ada apa, sih, Yang?]
Teruntuk Jayyan, calon suaminya. Namun, sebagai pemilik konter, Anin belum ada niatan untuk berdiam di rumah menuju tanggal-tanggal pernikahan, toh masih dua bulanan kurang. Masih boleh ke sana-kemarilah, ya.
My Love: [Kita, kan, bentar lagi nikah, nih.]
Anindea: [He'em, terus?]
My Love: [Nah, aku ... boleh, nggak?]
Anin mengernyit membaca pesan dari prianya. Sesekali terjeda karena ada pelanggan yang datang. Tapi sepertinya chatting-an kali ini akan panjang bin serius.
"Jar, gue ke belakang. Lo sendiri nggak pa-pa, ya?"
"Aman, Mbak."
Harusnya ada Beti, karyawan Anin yang lain, tetapi Beti sedang izin. Makanya itu Anin ikut serta melayani dengan Fajar, yang biasanya duduk manis di meja kasir, lalu merekap pembukuan mingguan, tentunya sambil pacaran di chat dengan Ayang Jayyan.
My Love: [Lama, ah, balesnya.]
Anindea: [Maaf, Yang. Ini baru nyari tempat enak. Aku baca pelan-pelan chat kamu dari atas, ya.]
Soalnya panjang ternyata.
My Love: [Jadi gini, Yang. Kan, kita bentar lagi nikah. Udah ditentuin juga tanggalnya.]
My Love: [Nah ... aku nggak sabar pengin 'itu'. Boleh, nggak? Sementara kita main aman aja dulu. Tenang, aku pasti nikahin kamu, kok. Dan nggak bakal aku bikin hamil sebelum sah.]
My Love: [Kamu percaya aku, kan?]
My Love: [Toh, bentar lagi juga nikah, Yang. Cuma itunya aja diduluin. Hehe.]
My Love: [Sayang ....]
My Love: [Anin ....]
Membeku di tempat, tanpa sadar telapak tangan Anin mendingin, lalu jantungnya berdebar-debar. Gegaslah Anin men-dial up nomor itu. Memastikan bahwa ini benar-benar Jayyan atau bukan.
Semoga bukan ....
Tapi kalau bukan—
"Iya, Sayang. Gimana?"
Benar, itu Jayyan. Suara kekasih Anin. Hal yang membuat Anin menelan ludahnya kelat.
"Kamu ... kamu mabuk, ya?"
"Hah? Nggak. Mabuk cinta sama kamu, sih, iya."
"Jay, serius!"
"Nggak, Anin. Video call kalau nggak percaya. Oh, pasti gara-gara chat aku tadi, ya? Gimana, Yang? Boleh, nggak? Boleh dong, please ...."
Anin mencelus.
Ini serius Jayyan?
"Sayang? Aku janji bakal nikahin kamu, lagi pula nggak janji pun kita udah pasti bakal nikah, Nin. Tanggal udah ditentuin—"
"Nah, iya. Itu kamu tahu. Tanggal udah ditentuin dan itu bentar lagi, kan? Kamu juga bilang pernikahan kita sebentar lagi. Jadi, sabar, ya? Sebentar lagi."
Jayyan berdecak. "Soal itu beda konteksnya, Nin."
"Oke ... tapi aku nggak mau. Nggak boleh. Kita nikah dulu aja, habis itu—"
"Ya elah, Nin. Bedanya apa, sih, abis nikah atau sebelum nikah di saat tanggal aja udah ditentuin? Ujung-ujungnya kamu bakal jadi milik aku dan aku milik kamu, cuma perkara waktunya aja."
"Dosa, Jay. Masa nggak tahu? Bedanya haram dan halal, dosa dan pahala."
"Nin—"
"Pokoknya aku nggak mau—"
"Ya udah jangan salahin aku kalo nanti aku bakal lari ke cewek lain."
"Jayyan!" Sambil berdiri.
"Ya, makanya .... Mending aku sama kamu yang udah jelas bakal jadi istri atau—"
"Terserah!"
Anin marah. Dadanya kembang-kempis emosi. Yang dia matikan sambungan nirkabel itu. Lantas ... perih hatinya, memanas matanya.
Hari itukah kejadiannya?
Tapi Jayyan datang menemui Anin tak lama setelah teleponan. Dia membawa cokelat dan bunga, lalu memberikan senyum dan permintaan maafnya.
"Aku cuma ngetes, Nin. Maaf, ya?"
Seperti itu.
Bulan lalu ....
Pipi Anin lalu dikecup, sedang Anin sudah emosi memukul-mukul d**a Jayyan dan air mata rembes basahi pipi tanpa dia kehendaki.
Di konter, Jayyan memeluknya. Terkekeh jenaka. Menenangkan Anin dan membuatnya yakin bahwa yang terjadi di chat maupun telepon itu hanya sekadar tes belaka.
Namun, bohong rupanya, ya?
Baru sebulan lewat, yang tinggal menghitung waktu menuju dua minggu ke depan di tanggal pernikahan, berita kehamilan gadis lain Jayyan bawakan.
Parahnya, gadis itu adalah Viska Pradipta.
Pantas saja.
Pantas Jayyan dan Viska sering terlihat bersama kalau-kalau Jayyan mampir ke rumah Anin.
Viska yang masih berseragam SMA.
Oh, pening.
Kepala Anin nyut-nyutan rasanya, mata pun sudah tak sanggup untuk terus terbuka, sembap memanas oleh desakkan air mata yang luruh ugal-ugalan di sepanjang jalan pulangnya.
Pulang, huh?
Pulang ke mana?
Rumah yang berdekatan dengan tempat tinggal Viska?
Di kondisi begini, Anin tak yakin bisa menahan gejolak emosinya. Bagaimana jika dia gelap mata? Bagaimana jika ....
"Kak Anin, Kak Jayyan ternyata pinter Matematika, ya? Ih, kenapa baru nunjukkin kecerdasan itu sekarang, sih, Kak Jay? Kan, ujian akhir aku udah kelar lama."
"Kenapa? Mau les privat, ya? Bayar!" tukas Anin, bercanda. Sedangkan, Jayyan terkekeh.
Saat itu mereka sudah main belakang, kan? Sudah saling cumbu, kan? Sudah saling bertukar cairan, kan?
Ya Allah!
Viska Pradipta ... bagaimana bisa dia ... dia ... Anin berteriak di dalam mobilnya.
Berengsekk, mereka berengsekk.
Argh!
Rasanya Anin ingin menjerit macam itu, terlebih saat sambungan nirkabelnya diangkat oleh sang kawan.
***
"Pagi, Pak Seril!"
"Pagi, Citra."
"Boboknya nyenyak, Pak, semalam?"
"Nyenyak, berkat Citra."
Yang disebut Citra itu cengangas-cengenges di mejanya, lalu menambahkan, "Udah ada yang nyantol belum, Pak, akun biro jodohnya?"
"Berisik kamu, Citra!"
"Haha!"
Yang lain ikutan tertawa sambil geleng-geleng.
"Adek kurang asem, ya, kamu!" celetuk bendahara desa, meski begitu sambil ketawa-ketiwi juga.
Dan menempatkan Citra di jabatan sekretaris desa itu rupanya kurang tepat. Berada di satu lingkungan kerja dengannya, benar-benar keputusan yang salah. Seril sudah gegabah.
"Bang—"
Tatapan Seril langsung tajam.
"Eh, iya, maaf. Pak Kades!" Citra meralatnya. Dia masuk ke ruangan sang kakak yang merupakan kepala desa di wilayah itu.
"Ada apa?" Sambil memakai kacamata.
"Itu, lho. Akun biro jodoh yang aku bikin semalem beneran belum ada yang nyantol—eh, iya, iya. Ini mau nginfo jadwal rapat dan musyawarah desa." Sembari nyengir.
Habisnya, Bapak Seril yang Terhormat mendelik runcing maksimal. Kan, Citra menciut.
"Sudah, sana!"
Yeu!
Citra juga mau keluar, kok. Apalagi saat ponselnya bunyi yang memunculkan notifikasi panggilan masuk.
"Halo, Bestie! Apa kabar? Somse amat, ah, baru nelep—lho, eh ... kenapa?"
"Gue otewe rumah lo, ya, Cit?" Dibarengi isak tangis.
"Oh, oke, oke. Masih hafal jalannya, kan?"
"Jemput di kafe terdekat desa lo aja, gimana?"
Dan suara temannya semakin terdengar melas. "Ya udah, chat aja kalo dah nyampe, Nin."
***
Seril mengernyit. Kunci yang biasa disimpan di pot bunga bugenvilnya tak ada. Makin mengernyit saat pintu rumah ternyata tidak terkunci.
"Cit?"
Harusnya masih di balai desa. Seingat Seril, sang adik memang masih di sana tadi. Kenapa juga dia panggil-panggil?
Oh, jangan-jangan rumahnya kemalingan?
Gegas Seril menggeledah tempat-tempat dirinya menyimpan barang berharga, memastikan semua itu masih ada atau sudah dicuri orang.
Semua.
Dan ternyata aman. Masih utuh di tempatnya.
Seril lalu menatap sekitar; televisi masih ada, kulkas juga ada, barang-barang elektroniknya masih dalam kondisi semula seperti saat pagi tadi dia tinggalkan. Oke, aman.
Hanya tinggal kamar Citra yang belum Seril cek. So, dibukanya daun pintu. Seril bergeming untuk sepersekian waktu, tatapannya jatuh di kasur.
Dan detik itu, seseorang yang terbaring memunggungi pintu di kasur Citra berbalik, lalu tatapannya jatuh di sebuah telaga bening pria yang menenggelamkan.
Anin sontak bergeming. Segeming Seril di ambang pintu itu, memandang sembapnya mata perempuan.
Mimpikah?
Anin lantas memejam. Berhitung sampai tiga dalam batinnya, lepas itu kembali dibuka kelopak matanya, dan dia melihat daun pintu gerak menutup.
Tunggu, tunggu!
Ini ... rumah Citra, kan?
***