1 | Tanggung Jawab

1388 Words
Suka Maju, salah satu desa yang terletak di Pulau Jawa dan menjadi satu-satunya desa yang dikepalai oleh seorang bujangan. Hari itu, rumah bapak kades kedatangan tamu asing dan dia perempuan. Tidak lama setelahnya, datang Jayyan dan seorang wanita dalam genggaman. "Kak ... aku takut." "Jangan takut, ada Kakak." Mereka baru saja turun dari mobil. Hari itu juga Jayyan selepas menyelesaikan urusannya dengan Anin, pergi menemui Viska dan sesegera mungkin membawanya ke tempat di mana para kakak Jayyan bernaung. Desa Suka Maju, di situlah rumah utama keluarganya berdiri. Lantunan salam Jayyan lontarkan, disahuti dari dalam. Sosok pertama yang Jayyan lihat adalah kepala desa di sini, yakni abangnya—Seril. Tatapan Bang Seril melirik ke arah wanita di belakang Jayyan, genggaman tadi sudah terlepas sebab Jayyan mau cium tangan. "Mm ... Bang. Ini ... Viska." Bang Seril mempersilakan duduk. Sejujurnya, Jayyan deg-degan. Jangan dikira dia setenang perangai buatannya hanya agar Viska tenang juga, aslinya jantung Jayyan berdetak brutal. "Viska, Kak." Begitu suara Viska berkenalan dengan Seril—calon kakak ipar, right? Tapi seram sekali, sih, sorot mata itu? Viska jadi kurang nyaman. "Bentar, Kakak bikinin minum buat kamu dulu, ya, Vis," kata Jayyan. Habisnya, Bang Seril tidak inisiatif memberi sesuguhan. Ya, mungkin karena tamunya adalah adik sendiri. "Oh ... iya, Kak." Tak lama Jayyan kembali. Dia meletakkan air minum untuk Viska dan abangnya, juga membawa untuk diri sendiri, kemudian balik duduk lagi. Berpikir, bagaimana memulainya. "Viska ini siapamu?" Uhuk! Jayyan tersedak. Belum-belum dia temukan kalimat awalannya, sang abang sudah menembak jitu lebih dulu. Ehm. Yeah .... "Bang ... begini. Jadi, maksud dan tujuan Jayyan pulang itu, Jayyan mau ngasih tahu kalau pernikahan Jayyan sama Anin ...." Jantung Jayyan berdebar-debar. "Batal. Terus gantinya, Jayyan bawa Viska ke sini dan kami akan menikah." Satu detik. Dua .... Mari lihat bagaimana raut Bang Seril, bagaimana reaksinya, bagaimana ekspresi beliau setelah Jayyan tuturkan hal itu. Namun, karena ini abangnya yang bernama Seril, Jayyan mendapati respons biasa. Berupa anggukan tenang dan tidak berlebihan. "Batal atas kesepakatan bersama atau sepihak?" "Bersama, Bang." Di tempatnya, Anin mendengkus dan menarik smirk di bibir menahan sakit dalam d**a. Dia mendengar apa yang sedang orang-orang di luar obrolkan, tahu! Sebab, letak kamar Citra ada di area ruang depan. Dan Anin, dia berdiri di dekat pintu. Sementara, Citra menatapnya dari tepi ranjang. Tatapan Anin berair. Jayyan mengatakan seolah pembatalan pernikahan itu terjadi karena kesepakatan bersama, padahal ... ada duri yang mendasarinya. "Terus bagaimana tanggapan orang tua dan keluarga Anin?" Apakah Bang Seril tidak tahu siapa Viska? Di sini, Anin bertanya-tanya. Dan jika kalian bertanya-tanya; lalu mengapa Anin malah lari ke sini, padahal di sini adalah tempat Jayyan dilahirkan ... nanti. Nanti akan Anin beri tahu alasannya. "Mereka setuju karena itu yang terbaik untuk kami." Jelas! Karena si sialan Jayyan sudah membuat bunting adik sepupu Anin! Jelas yang terbaik untuk 'kita,' tetapi sejatinya sangat meluka bagi Anindea. Citra mendekat, meraih tubuh sahabatnya ke dalam dekap. Dan salah satu alasan Anin lari ke sini adalah sang sobat. Citra pernah bilang bahwa, "Kalo abang gue nyakitin lo, datang ke sini. Gue di pihak korban dan lo tenang aja, ada sepuluh abang gue yang lain, yang bakal hukum Bang Jayyan. Jadi, jangan sungkan buat ngadu ke kami kalo itu terjadi, oke? Tapi amit-amit, sih." Kenyataan, sedang terjadi saat ini. Punggung Anin bergetar. Menangis lagi setelah dia menceritakan kebejatan Jayyan dan berujung pada berakhirnya pernikahan. Bahkan sampel undangan itu masih berserak di kasur Citra—adik Jayyan. Lalu di tempatnya, Seril manggut-manggut. "Tiba-tiba sekali, ya? Calon mempelainya diganti." Menatap Viska. "Dalam waktu sesingkat ini." Viska menunduk, memainkan kuku. "Nggak jodoh kayaknya, Bang, sama Anin." "Oke. Abang telepon yang lain dulu." *** Ramai. Rumah bapak kepala desa Suka Maju didatangi satu demi satu anak-anakan Bapak Ningrat. Rumah itu memang salah satu rumah sepuh dari keluarga besar dan tiap keturunannya selalu ada yang jadi kepala desa, di generasi sekarang bangku kades diduduki oleh Seril Abisatya Hadiningrat. Berita dibatalkannya rencana pernikahan Jayyan dan Anin diganti dengan sosok Viska telah dikabarkan. Selama mereka berunding, Anin masih di sini. Di kamar Citra. Yang tahu tentang eksistensinya hanya sang sobat dan bapak kades saja. Anin melelapkan diri di kasur, sementara di luar sedang ramai. Entah berapa lama, tahu-tahu sudah malam dan sepi. Anin lantas terduduk, celingak-celinguk. Dia beranjak, melongok ke luar kamar. Sudah bubarkah? "Eh, udah bangun, Nin? Pas banget, nih, baru kelar manasin lauk. Sini, makan dulu!" Anin tengok kiri dan kanan. "Kok, sepi?" "Oh. Udah pada pulang." Citra mengulas senyuman. "Tenang, tadi gue jadi saksi mantan lo babak belur." Anin berdeham. "Mantan gue yang mana?" Citra berdecak. "Oiya, mantan lo ada dua di sini dan pastinya yang terbaru." "Abang lo berengsekk semua kenapa, sih, Cit—Astagfirullah!" Tatapan Bang Seril selalu saja tajam. Anin sampai tersentak. Kaget. Dia elus-elus d**a. Sejak kapan pak kades ada di belakangnya? Citra mengerling, melirik sang kakak. "Katanya mau ngeronda?" Anin ikutan melirik. Bapak kepala desa di sini pantas saja dicintai warganya, sekadar meronda pun sampai ikut turun ke jalan rupanya. "Iya. Senter ketinggalan." "Senter apa hati yang ketinggalan?" gumam Anin, dia lalu ngeluyur duduk di kursi makan. Bang Seril konsisten diam saat Anin yang menanggapi. "Abang berangkat, Cit. Jangan lupa kunci pintu." Seperti itu. Melirik Anin dan lalu melenggang. Yeah .... "Betewe, nggak semua abang gue berengsekk, kok, Nin. Yang tadi contohnya." Anin menatap foto pria berseragam gagah di dinding. "Nih, makan." "Rasanya keluarga gue abis sekarang, Cit." Masih meracaukan gumaman. Anin mencenungkan nasibnya sendiri. Yang terasa begitu menyesakkan. So, Citra mendekat. Dia berikan pelukan rasa sobat kepada teman kecilnya itu. "Kan, masih ada gue." Anin menggigit bibir bagian dalam. "Tapi setelah ini—" "Nggak akan ada yang berubah, Nin. Please. Gue harap lo masih mau bersikap profesional untuk hubungan pertemanan kita, terlepas dari abang gue yang lagi-lagi bikin lo patah hati. Tolong selalu jadiin gue tempat lo pulang, ya?" "Kenapa lo harus adiknya mereka, sih, Cit?" "Nggak ngerti juga gue, sana protes ke yang di atas. Tapi serius, nggak semua abang gue—" "Udah, jangan promosiin abang lo terus. Udah kapok gue, cukup dua dari mereka aja." "Bang Seril jomlo, Nin." "Citra!" Citra meringis, terkekeh setelahnya. "Maaf, maaf. Cuma pengin ngasih hiburan, tapi bingung apa yang bisa bikin lo ketawa. Ya udah, yuk, ah, makan!" Anin terdiam. Menatap sekali lagi foto pria berseragam gagah di dinding. Dan kini ... matanya memicing. *** Tujuh panggilan tidak terjawab dari papa dan beberapa pesan masuk di ponselnya, Anin buka. Papa: [Nin, Papa udah transfer uang. Gunakan untuk cari tempat tinggal sebulan ke depan.] Papa: [Nggak usah pulang.] Papa: [Oh, ya. Papa udah denger soal kamu dan Jayyan.] Anin buka kiriman pesan lainnya. Mama Tika: [Nggak ibunya, nggak anaknya, sama aja! Sama-sama beban bagi papa kamu.] Mama Tika: [Uang udah abis banyak, taunya nggak jadi nikah. Udah ngundang orang-orang buat jadi pengobeng, taunya batal! Bikin malu! Bikin rugi!] Cukup. Tidak perlu Anin baca sampai bawah. Yang padahal, bukannya amarah itu salah alamat? Hei, kenapa jadi Anin yang disalahkan? Saat Citra sudah terlelap, Anin melipir duduk diam di ruang makan. Dia memegang ponsel yang isinya omelan dari ibu tiri. Rupanya tidak hanya papa dan Mama Tika saja yang menghubungi, tetapi ada kiriman chat dari si biang keroknya juga. Viska Pradipta. Viska: [Kakak ngapain di sana?] Viska: [Di rumah keluarga besar Kak Jayyan, ngapain? Di saat mereka udah bukan siapa-siapa lagi bagi Kakak, kenapa aku ngeliat ada sandal Kakak di rumah itu?] Viska: [Kak, tolong jangan kayak gitu. Kakak harus ikhlas dan nerima kenyataan bahwa selama ini Kakak cuma ngejagain jodoh aku.] Viska: [Di perutku udah ada darah dagingnya yang nggak bisa Kakak elak, jadi tolong berhenti ngejer Kak Jayyan yang bukan jodoh Kakak.] Viska: [Berhenti berlagak di depan mereka hanya supaya dapet simpati keluarga Kak Jayyan, apalagi sampai mereka terhasut buat menghukum calon suamiku.] Membacanya, Anin berdecih. Bocah. Tapi itu sukses memercik bara amarah paling panas di hatinya. Oh, Anin mengetatkan geraham. Matanya berair, tetapi tak dia biarkan terjatuh barang satu tetes pun. Tangan Anin bergetar menggigil, bukan sebab dirinya sakit atau tidak fit, tetapi getar yang menunjukkan betapa panasnya sebuah murka tertahan. Hingga saat pagi datang, lalu lelaki yang ada di foto itu juga datang, lelaki berseragam gagah di dinding ruang makan, Anin menghadang. "Bukannya keluarga ini harus bertanggung jawab atas luka-lukaku?" Dari ronda semalam, Seril baru pulang sebab di rumahnya ada anak gadis orang bermalam. Ya, Anin dan Seril bertatapan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD