"Saya mau menikah."
Hening. Mulai dari yang paling tua sampai yang termuda membisu detik itu. Namun, mata mereka kompak mengerjap.
"Saya serius."
Soalnya Bang Bro malah tertawa. Namanya Bromo Jati Hadiningrat. Beliau kakak Seril yang nomor 4. Abang paling cantik seketurunan Bapak Ningrat, tetapi dia pria tulen, kalian jangan suuzan walau Bang Bro memiliki jari-jari yang lentik.
"Alhamdulillah kalo gitu, Le." Ini Bang Iman, paling tua di rumpun anak-anakan Bapak Ningrat yang sudah jadi almarhum.
Dua kali Seril memanggil mereka ke kediaman utama Ningrat, untung rumah satu sama lain tidak begitu jauh letaknya. Paling beberapa saja tidak bisa datang sebab sudah balik ke kota. Merantau, seperti halnya kakak Seril yang sukses sebagai bintang film FTV dan sang kembaran yang jadi bos OYO (sejenis penginapan hemat). Tahu, kan? Laris manis di kota.
"Siapa calonnya?" Secangkir wedang jahe diletakkan dengan begitu elegan pada piringan kecil. Beliau bos pemancingan dan punya ternak lele, Sultan Raya Hadiningrat, kakak Seril nomor dua. Disebut juragan empang kalau di Suka Maju.
Dan detik itu, Seril memanggil, "Dek, keluar!"
"Orangnya ada di sini?" Jayyan sejak tadi duduk menyimak. Sejujurnya kaget, tiba-tiba sekali bapak kepala desa Suka Maju bilang mau menikah.
Yang mana baru kemarin Jayyan membawa Viska ke rumah utama keluarga besar, baru hendak bertolak ke kota sekalian mengantarkan Viska, tetapi Bang Seril di grup meluncurkan bewara. Barang siapa yang bisa datang ke kediaman sepuh—rumah utama Ningrat—sore ini maka dia akan mendengar berita paling eksklusif yang tidak akan diumumkan secara virtual.
Asli, isi pengumumannya seperti itu.
Dan Citra baru sampai rumah sekarang habis menyelesaikan pekerjaan administrasi yang tertunda. Tak sabar ingin tahu apa hal yang Bang Seril umumkan di grup. Perasaan dari pagi sampai siang bersama dengannya di balai tidak ada woro-woro apa pun, tahu-tahu terbit info suruh kumpul. Oh, kecuali satu; minta nomor Anin.
Yang mana kini semua mata tertuju ke arah sang sobat, Citra pun mendekati Anin. Belum sadar situasi.
Lain dengan Jayyan yang langsung berdiri di detik sosok Anindea keluar dari pintu kamar Citra.
"Kaget, ya?" kata Citra. "Gue lupa bilang kalo sore ini abang-abang mau pada kumpul, Nin. Sorry. Tapi tenang. Cuma bentar, kan, Bang?" Seraya mengalihkan tatapan ke arah Bang Seril.
Ketika itu Citra dilanda bingung, soalnya tatapan para abang tidak biasa dan tertuju semua ke arah Anindea. Apalagi Bang Jayyan yang sampai berdiri, memelototi. Ya, tetapi wajar, sih, kalau Bang Jayyan. Soalnya, kan, ini Anin ... mantan calon istri beliau.
Mungkin kaget sebab Anin tahu-tahu ada di rumah keluarga besar setelah pemutusan hubungan seserius tunangan? Padahal baru kemarin Bang Jayyan ke sini, di mana kemarin Anin masih sembunyi, sementara sekarang dia muncul. Dan kemarin itu Bang Jayyan membawa calon istri barunya. Lihat saja, wajah Bang Jay masih ada bekas pukulan. Berani-beraninya tetap datang, tetapi mungkin saking keponya dengan bewara dari Bang Seril.
"Oh, iya, lupa juga. Aku belum ngasih info soal Anin di sini, ya, ke Abang-Abang sekalian? Baru Bang Seril aja, sih, yang tahu ... ih, kalian pada kenapa, sih?!" Citra mengentak kaki. "Ini Anin, temen Citra itu, lho. Dari kemarin tinggal di sini, jadi—"
"Diapain sama Seril, Cah Ayu?" Bang Bromo menyela.
"Nin!" Sedang Bang Jayyan menyentak.
Lha, mereka kenapa?
Hanya Citra yang datang di saat bahasan inti Seril telah ucapkan, yang mana kini Anin melirik sang sobat.
"Coba duduk sini, Nin." Bang Sultan membawa secangkir wedang jahenya berpindah tempat, menyilakan Anin duduk di kursinya yang berbahan dasar kayu jati premium. Di mana harga kayu jati ini per kubik bahkan bisa disamakan dengan 12 gram emas. Fyi saja, sih.
Lagi, Anin melirik Citra. Kasihan, kawannya kebingungan.
"Cit, duduk sini," ucap Bang Seril. Menepuk tempat di sebelahnya.
"Bang!" Ini Jayyan.
"Duduk, Jay." Seril menitah mutlak. "Lagi pula kalian sudah bukan siapa-siapa."
***
Begini, sekilas tentang pagi tadi. Saat Citra sudah pamit kerja ke balai desa. Biasalah. Katanya, sih, jam dua juga pulang. Atau nggak, ya, jam satu. Biasanya tak sampai sore, kecuali kalau ada titah dadakan dari pak kades.
Saat Citra sudah lengser, Anin keluar dari kamar. Dia yakin Bang Seril sang kepala desa Suka Maju yang terhormat itu masih bersiap di kamarnya.
Terdengar suara motor matic Citra sudah melenggang di luar. So, Anin berdiri di depan kamar Bang Seril.
Menunggu.
Nah, kan, keluar orangnya. Tampak tersentak samar saat melihat ada Anin di situ.
"Ayo nikah, Bang."
To the point saja. Dan ini ide gila yang Anin punya untuk membalaskan rasa sakitnya kepada Jayyan. Bang Seril pasti tahu.
"Setelah gagal dengan adik saya, kamu—"
"Abang harus tanggung jawab!"
Seril mingkem sesaat, menatap tepat di manik Anindea. "Jayyan yang salah, kenapa saya yang harus menanggung perbuatannya?"
Oh, benar.
Anin maju. Tepat di depan d**a Seril dia berdiri.
Dari mata ke mata mereka bersitatap penuh telisik. Anin khususnya.
"Karena Abang butuh aku."
Raut Seril datar.
"Aku juga nggak menginginkan pernikahan yang bertahan selamanya, jadi kenapa nggak kita coba satukan? Oh, ya, Citra nggak tahu soal buruknya Abang, ya?"
Seril masih geming. Anin meletakkan tangan di d**a bidangnya, menepuk-nepuk pelan.
"Gimana, hm? Nikah, yuk?" Dan Anin mendongak, lagi-lagi menatap mata Seril. "Tujuan kita emang beda, tapi searah. Jadi, kenapa kita nggak naik kapal yang sama, Bang?"
Tangan Anin yang bertengger di d**a bidangnya itu lantas Seril cekal, dia lepaskan.
"Mutualisme," kata Anin lagi. Tak menyerah.
"Dan tujuan kamu untuk memorak-poranda adik saya."
"Dia yang duluan begitu sama aku." Menghalangi jalan Seril yang mulai dicipta, Anin benar-benar menginginkan pernikahan itu. Bersama Seril, kakak Jayyan Hadiningrat.
"Dia sudah nggak cinta sama kamu, jadi akan percuma." Kejam memang tutur katanya, tetapi Seril harap Anin sadar bahwa dengan menikahinya pun tak akan membuahkan apa yang gadis itu inginkan.
"Itu urusanku, Bang. Abang cukup jadi suami aku. So simple, kan?" But, Anin keras kepala.
"Menurut kamu nikah itu simpel, Nin?"
"Simpel kalau kita yang lakuin, Bang. Coba pikir-pikir, di sini kita akan saling menguntungkan. Tinggal dibikin SOP-nya aja dan pasti nggak ribet. Abang mau aku gimana? Jadi istri yang nggak kayak istri pada umumnya? Sure. Ayo kita lakukan."
Seril sampai mendengkus mendengarnya. "Gila, kamu."
"Adik Abang yang bikin aku kayak gini—dan plis, jangan harap bisa keluar selagi pengajuan nikahku belum Abang acc!" Anin sampai memeluk cowok itu.
Yap, dari belakang.
Habisnya, pak kades kekeh mau out. Sementara, Anin merasa obrolan ini belum rampung bila ajakannya untuk menikah belum diterima. Harus diterima, sih. Kalau nggak, Anin janji akan lebih nekat.
Entahlah.
Pikirannya sudah buntu dan cuma ini yang dia anggap satu-satunya jalan keluar dari kebuntuan itu.
Seril mencekal dua lengan Anin di perutnya untuk dia lepaskan, tetapi rengkuh Anin di belakang malah semakin erat dan rapat.
Astaga.
"Aku cuma minta nikah, Bang. Nggak minta hati Abang, nggak minta buat dicintai juga. Cukup Abang jadi suamiku di depan Jayyan. Cuma saat di depan si cecunguk sialan itu—"
"Yang kamu sebut cecunguk sialan itu—"
"Iya, tahu! Adik Bang Seril dan Abang tahu sebajingan apa dia sama aku, kan?"
Seril menghela napas.
"Habis nikah, kita bisa rencanakan cerai senatural mungkin, Bang."
Seril pijat-pijat kening.
"Tapi jangan setahun-dua tahun durasi nikahnya, minimal empat tahun biar—"
"Empat tahun itu kamu pikir berapa hari?"
"Sekian. Tapi empat tahun udah yang paling cocok. Nggak kelihatan kalau pernikahan kita aslinya cuma—"
"Ajang balas dendam?"
Anin berdecak. Masih mendekap. "Kan, Abang juga ada tujuan."
"Sudahlah, Nin—"
"Nggak bisa. Kita harus nikah. Coba Abang pikir ulang, betapa banyak manfaatnya pernikahan ini buat Abang. Dapat istri yang nggak akan ikut campur ranah pribadi Abang, istri yang siap diceraikan, terus yang paling penting ... tujuan Abang bisa tercapai. Begitu kita cerai, Abang bisa nikahin pacar Abang yang nggak direstui sama keluarga besar itu—kecuali kalau Abang duda, kan? Pacar Abang juga pasti setuju, apalagi dengan hitam di atas putih. Karena aku nggak akan merebut Abang dari mbaknya."
Rahang Seril mengetat. "Menyingkir—"
"Nggak." Anin geleng-geleng dan dia perketat pelukannya. "Kecuali kalau Abang deal."
"s**u kamu nempel-nempel, saya nggak nyaman!"
Ih!
Anin auto memeluk diri, lalu berdecak. "Kenapa nggak sebut d**a aja daripada s**u?" Menggerutu.
"Kultur syok biar dilepas." Diucap dengan raut datar itu.
Dan ketika Anin mangap mau bicara soal pernikahan lagi, Bang Seril menyela, "Saya pertimbangkan."
Oke, sip. Mingkem
Ah, nggak. Anin menyahuti, "Jangan lama-lama. Sore ini kalo bisa jawaban finalnya. Biar si Jayyan tengik syok—apa? Nggak suka aku sebut tengik-tengik ke Jayyan karena dia adik Abang?"
Mata Anin lalu berkaca. Akting saja. "Padahal dia udah remukin hati aku sampai seputus asa ini soal pernikahan."
Berhasil!
Anin mendapat tepukan pelan di pucuk kepalanya, tanda bahwa Bang Seril bersimpati.
"Ya sudah. Saya berangkat. Kalau mau ke mana-mana, kuncinya simpan di pot bugenvil pink itu."
"Oke. Tiati, Bang. Kalau nanti butuh kontak aku buat ngasih jawaban selagi Abang belum pulang, minta aja ke Citra."
Seperti itu.
Anin menyuguhkan senyum termanisnya. Semanis gula bibit.
And then ....
[Ok, kita nikah.]
Beberapa waktu sebelum sore tiba, itu pesan dari nomor asing. Sudah pasti nomornya pak kades. Foto profilnya sejelas itu, kok.
Anin: [Sip. Kenalin aku ke keluarga Abang langsung sebagai tanda jadi.]
Anin: [Hari ini.]
Bang Seril: [Kamu melunjak.]
Anin: [Kalo Abang nggak mau, aku bakal ....]
Bang Seril: [Apa?]
Tidak Anin balas.
Biarkan saja menggantung.
Silakan pikir apa hal yang akan orang patah hati bin putus asa lakukan jika satu-satunya jalan untuk bertahan tidak terkabulkan.
Bang Seril: [Jangan lakukan di rumah saya! Sana di kali kalau mau bundir.]
Astaga, jahatnya!
Pokoknya, biarkan. Tak Anin balas, dia hanya berdecak. Kemudian kembali rebahan dan nonton drakor di kamar sang sobat. Anin sudah menghubungi pegawai konternya bahwa dia belum bisa ke sana, sudah Anin titipkan pada karyawan yang paling dia percaya.
Bang Seril: [Ya sudah. Ok.]
Nah ....
Anin senyum.
Anin: [Oke. Ditunggu.]
Demikian akhirnya, Anin duduk di hadapan para saudara Bang Seril. Terkhusus Jayyan—calon suami Anin yang kini telah jadi mantan.
Mungkin karena itu juga, Jayyan menarik tangan Anin dan menyerobot keluar dari rundingan.
"Sakit, Jay!" Yang Anin tarik lepas tangannya dari genggaman kuat itu.
Di samping rumah pak kades.
Jayyan menyugar rambut sebelum dia katakan, "Apa-apaan ini, huh?"
Tak Anin tanggapi, tatapannya datar malah sambil elus-elus pergelangan tangan.
"Anin!"
"Apa, sih? Bicara pelan-pelan. Nggak malu kalau ada rakyat yang nengok?"
"Persetan! Kamu apa-apaan? Nikah sama Bang Seril? Setelah aku ada kasus begitu, terus kamu ... wah!"
Anin disudutkan, nempel tembok, Jayyan melesak.
"Kamu—"
"Bang Seril yang ngajak," tukas Anin. Bohong, sih. Dan dia melihat ada sosok bapak kepala desa itu mendekat. "Kamu selama ini nggak tahu kalau diam-diam abangmu yang itu naksir berat aku, kan, Jay?"
Bodoh amat!
Tatapan Anin menyingsing tajam ke arah Jayyan. "Kamu nggak tahu bahwa aku seditunggu itu sama kakakmu, kan?"
Dan Bang Seril menarik bahu Jayyan, membuatnya mundur selangkah.
Anin pun bergeser, dia berdiri di sisi Bang Seril sambil menggandeng lengan beliau. Menunjukkan bahwa dirinya butuh perlindungan plus bantuan agar Bang Seril bisa diajak kerja sama tanpa kongkalikong di awal.
"Jay, Anin punya Abang sekarang. Jadi, bersikap sopanlah sama calon kakak ipar."
***