- TIGA -

1588 Words
Kado yang di terima oleh pasangan pengantin biasanya beragam. Dan juga bisa berupa apa saja. Apalagi dari orang terdekat, keluarga misal nya. Dan kado yang di berikan oleh, Erwin Rustam adalah dua tiket Honeymoon. Beliau ingin cucu dan cucu menantu nya berlibur berdua. Membuat Shani sangat ingin menolaknya. Tapi, ia tidak bisa menolak hal tersebut. Takut, kalau Opa nya itu akan kecewa. Jadi, sehari setelah ijab kabul dan resepsi pernikahan yang berlangsung di hari yang sama. Ia dan Afdhal langsung terbang menuju Bali besok nya. Walau ia enggan, namun ada sesuatu hal yang harus ia lakukan di kota tersebut. Keduanya tiba di villa milik keluarga di siang hari, dan langsung memilih untuk istirahat sejenak. Walau dalam keheningan. Bahkan terkesan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Afdhal tidak terlalu memperdulikan sikap acuh nya Shani. Karena, menurut nya itu wajar saja. Apalagi setelah perempuan itu tau apa tujuan nya menerima perjodohan mereka. Jadi, ia tidak akan protes dengan segala sikap dan kelakuan Shani padanya. Jadi, ia juga memilih acuh saja. "Nih !" Sebuah map di letakkan oleh Shani di atas meja kecil, yang ada di antara mereka berdua. Afdhal langsung mengernyitkan dahi nya, dan menatap tanya pada Shani. Ia pun mengambil dan membuka map tersebut. Dan ternyata berisi surat kontrak nikah mereka. Yang, langsung membuat Afdhal migran mendadak. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Shani akan melakukan hal ini. Kontrak? Yang benar saja. Ia sama sekali tidak main-main dengan pernikahan. Karena, ini bukan hanya menyangkut mereka berdua. Tapi, juga janji suci di hadapan Yang Maha Kuasa. "Cukup setahun, setelah itu aku mau kita pisah." "Kamu bercanda ?" Shani menggelengkan kepalanya. "Aku sudah tau niat kamu, cuma untuk balas dendam kan ? Jadi, gak ada masalah. Lagian, kita sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini. " Jelas Shani dengan nada santai dan juga enteng. Afdhal mengerjab tidak percaya. Ia tidak menyangka kalau perempuan yang selama ini ia segani dan hormati juga ia Kagumi mampu befikir tidak logis. Dan memiliki hati yang kejam. "Dhal, kamu tau aku cinta sama Cio. Jadi, tolong mengerti semuanya. Lagi, pula pernikahan kita hanya lah sebuah status. Dan, aku cuma mau membuat Opa dan Oma senang". "Kamu fikir mereka bakal senang dengan kelakuan kamu ini? Demi Tuhan,! Ini bukan permainan, Shan!" Ucap Afdhal dengan nada marah. Perempuan itu terlihat tidak terlalu memperdulikan nya. Membuat Afdhal semakin frustasi. Ia tau kalau ini tidak akan mudah, namun ia tidak juga berfikir akan sesulit ini. "Oke" respon nya setuju. Tapi, ia belum selesai begitu saja. "Kalau begitu, aku juga punya syarat." Shani langsung menoleh tajam padanya, menatap Suami nya dengan lekat dan juga tidak terima. "Biar kita sama-sama untung, kalau kamu punya syarat begitu. Jadi, aku juga bisa kan ?." Dengan kasar Shani menghela napas, menyibak rambut panjang nya ke belakang. Dan, kemudian menatap tajam pada cowok di depan nya. "Apa syarat nya ?" Afdhal mengulum senyum kecil. Menunduk untuk membaca kembali surat perjanjian yang di bikin Shani. "Aku mau punya anak dari kamu!" Shani langsung membuka mulut tidak percaya. " Dan, jika kita benar-benar pisah nanti. Hak asuh anak itu sepenuh nya di tangan ku. Gimana, deal?" "Gila kamu!" Omel Shani dengan nada penuh tekanan. Afdhal hanya mengindikkan bahu nya. "Dan, aku mau kamu memberikan hak ku sebagai suami!". "Jangan harap!" "Terserah, kalau begitu lebih baik kita akhiri saja semua nya sekarang. Tidak perlu menunggu setahun! Bukan kah lebih baik ?" Ujar Afdhal dengan santai. Shani hampir saja menyetujui usulan Afdhal, jika ia tidak mengingat kondisi kesehatan Opa nya. Membuatnya semakin frustasi dan juga marah bersamaan. Sedang kan Afdhal terlihat santai, bahkan tersenyum penuh kemenangan. Shani salah, jika terlalu meremehkan nya. Fikirnya. "So, bagaimana? Kalau kamu setuju aku akan membuat surat perjanjian sekarang juga. Kalau tidak, yaa.. its Oke.!" Jelas Afdhal sambil berlalu menuju koper nya. Shani kembali menyibak rambut panjang nya kebelakang. Menatap kesal pada punggung Afdhal yang mulai membuka koper nya sendiri. Tidak melihat seringaian Afdhal yang melirik melalui ujung matanya. *** Afdhal tipe pria yang sangat menyukai fotografi. Namun, walau begitu ia tidak pernah memiliki impian atau cita-cita untuk menjadi seorang fotografer. Itu hanya lah hobi yang paling ia sukai di antara hobi-hobi nya yang lain. Maka, dari itu setiap ia bepergian ke tempat-tempat yang jauh. Selalu membawa kamera kesayangan nya. Ia tidak terlalu sering bepergian jauh. Bahkan, ini pertama kali ia ke Bali. Dirinya bisa pergi dan menetap di Jakarta sekarang juga berkat Abang nya. Kalau tidak, mungkin ia hanya akan menetap di kampung halaman nya saja. Di Aceh. Ia bukan lah dari kalangan orang-orang berduit. Kedua orang tua nya hanya lah petani biasa. Dulu sih. Sebelum semuanya berubah. Bisa di katakan, semenjak Abang nya nekad kuliah di ibu kota. Dan dengan perlahan mulai meniti karir nya sebagai seorang Arsitek setelah lulus kuliah di Jakarta. Dengan perlahan, sedikit demi sedikit kondisi ekonomi keluarga nya berubah. Apalagi, sekarang di ikut oleh Bang Adek nya. Yaitu Khalif yang baru meniti karir nya yang mempunyai sebuah rumah produksi sendiri dan juga agensi artis sendiri. Jadi, tinggallah dirinya yang masih tidak tau mau apa.?. Mungkin, di antara keluarga nya cuma dia yang masih belum memiliki tujuan. Selama ini ia hanya menjalani saja apa yang ia dapatkan. Bekerja di sebuah perusahaan swasta, dengan gaji yang lumayan. Buat nya sudah cukup. Entah lah, ia tidak pernah menginginkan dirinya seperti dua Abang nya yang bisa di katakan sukses besar saat ini. Dan ia bersyukur kedua orang tua atau abang-abang nya tidak menuntut apapun dari nya. Selama tidak merugikan siapapun, mereka akan tetap mendukung nya. Btw, ia anak ke tiga dari empat bersaudara. Dan, yang paling bungsu adalah perempuan. Menetap bersama kedua orang tua di Aceh. Afdhal bukan tipikal laki-laki yang neko-neko. Namun, menurut saudara-saudara nya ia memiliki sifat yang ajaib. Tidak bisa tertebak sama sekali. Ia bisa jadi manusia paling percaya diri di dunia, bisa menjadi manusia paling lawak yang bisa membuat semua orang tertawa dengan lelucon nya. Namun, kadang ia bisa menjadi orang paling pemalu. Atau terkadang ia bisa menjadi orang paling bandel di rumah. Hidup nya terlalu lurus, ia akan menjadi pembangkang sekaligus penurut di rumah. "Permisi, Bli" suara teguran itu, membuat Afdhal yang tadi sedang sibuk mengambil potret pantai Kuta teralih. Seorang anak laki-laki yang di perkirakan berumur 12 atau 13 tahun berada di samping nya. Membawa beberapa bingkisan khas Bali. "Cuma 20 ribu. Bli." Ucap anak itu menawarkan barang dagangan nya pada Afdhal. Pria itu mengulum senyum, dan kemudian melihat-lihat berbagai macam cindera mata. Ada berbagai pernak pernik, baik itu gelang, kalung atau pun cincin. Juga ikat kepala. Ia mengambil ikat kepala khas pria Bali. Langsung mengenakan nya dengan di bantu anak tersebut. "Kamu namanya siapa ?" Tanya Afdhal di sela-sela mengenakan pengikat kepala tersebut. "Luki " jawab Anak itu. "Masih sekolah?" "Masih, kelas lima" Afdhal hanya ber oh ,saja. Kemudian ia mengambil dua gelang dan mengenakan nya di tangan kiri. Ia mengulum senyum. "Berapa ?" Tanya Afdhal. setelah ia rada cukup. "Lima puluh ribu saja " jawab Luki dengan senyuman lebar. Afdhal mengeluarkan dompet dari saku belakang celana nya dan mengeluarkan uang seratus ribu pada Luki. "Ambil aja " ujar nya ketika melihat raut bingung Luki. "Terima kasih, Bli." Ujar Luki. Afdhal hanya mengangguk dengan senyuman ramah. Dan, membiarkan anak itu pamit pergi meninggalkan nya. Kembali ia mengitari matanya ke sekitar. Dan saat itu lah ia menemukan istrinya yang baru muncul entah habis dari mana. Tadi, mereka berpisah di sebuah restoran yang ada di sekitaran pantai Kuta. Shani ingin bertemu dengan client nya. Dan ia memilih untuk jalan-jalan. Ia tau, perempuan itu masih marah padanya. Apalagi setelah ia mengajukan syarat siang tadi. Walau sebenarnya itu hanya keluar begitu saja dari mulut nya. Mau bagaimana pun, ia ingin pernikahan ini berhasil. Walau, niat mereka sudah salah dari awal. Dengan niat nya yang memang sama sekali tidak bagus. Tapi, ia memiliki prinsip dalam hidup. Yaitu, hanya ingin memiliki satu wanita saja untuk mendampingi nya seumur hidup. Jadi, ia ingin dengan perlahan perempuan itu mau membuka hati untuk nya. Walau seperti nya mustahil. "Udah selesai, ketemu client nya ?" Tanya Afdhal, begitu ia sudah di hadapan Shani. Gadis itu mengangguk, kemudian menatap sekitar. "Aku udah mikirin tentang syarat kamu, dan juga sudah membicarakan nya dengan Cio. " "Kamu, membicarakannya dengan Cio?" Tanya Afdhal tidak percaya. Dan Shani mengangguk dengan enteng, membuatnya menghela napas kasar. "Hanya setahun, dan untuk soal anak. Aku menyetujui nya." Afdhal sudah sama sekali tidak tertarik dengan obrolan mereka. Mood nya sudah rusak parah sekarang ini. Baru saja, ia berharap kalau kesempatan itu ada. Namun, Shani dengan mudah membanting harapan nya ke jurang. "Kita bahas di villa aja " ujar Afdhal sambil berbalik untuk pergi. Shani mengernyit dahi bingung, namun hanya sebentar karena selanjutnya ia memilih untuk mengikuti pria itu. *** Keduanya tiba di Villa, dan Shani langsung menyerah kan sebuah map padanya. Afdhal sudah tau itu apa? Sudah pasti surat perjanjian baru mereka. Dengan tidak minat, ia membuka map tersebut dan membaca isi nya. "Inseminasi?" Tanya Afdhal tidak percaya. "Hm" gumam Shani mengangguk. "Jangan berharap kalau aku mau melayani kamu di ranjang." Afdhal memang sangat awam dengan hal tersebut. Inseminasi, ia tidak tau itu apa. Dan prosesnya bagaimana. Namun, ia tau kalau itu salah satu cara mendapat kan anak bagi mereka yang sulit mendapatkan anak. Dan, tanpa melakukan hubungan badan. Jadi, ia tidak tau bagaimana cara kerjanya. Maka dari itu ia langsung membuka Google untuk mencari tau hal tersebut. Sedangkan Shani, sudah berlalu masuk ke dalam kamar sembari memberi waktu untuk suami nya berfikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD