bc

Jejak Luka ( Seri ke-1 )

book_age18+
2.1K
FOLLOW
8.0K
READ
revenge
pregnant
independent
confident
drama
bxg
mystery
another world
affair
like
intro-logo
Blurb

"Apa kau tega meninggalkanku, Sri?" Laki-laki muda berbaju lusuh itu tak mampu menahan air matanya.

"Mas, Maaf!" jawab wanita cantik itu menunduk, air mata terus saja meleleh di pipinya.

"Pergilah!" Laki-laki itu membalikkan tubuhnya. Sri, bukan lagi wanita lugu yang dikenalnya. Wanita itu bersimpuh, memeluk kaki suaminya sambil terisak.

"Aku yang salah, aku yang salah, Mas."

"Pergilah! mungkin laki-laki kaya itu yang akan membuatmu bahagia."

chap-preview
Free preview
Satu
Wajah bulat telur, kulit kuning langsat, mata indah dan berbulu lentik, bibir merah delima dengan hidung bangir dan kecil. Siapa pun setuju jika wanita yang tengah tersenyum cerah membuka jendela itu sangat cantik. Pembawaannya halus dan mencerminkan lembutnya wanita Jawa yang sempurna. Senyum cerah mekar di bibirnya, dia masih muda, dua puluh lima tahun. Sudah menikah selama lima tahun, tapi belum dikarunia anak. Mata cantiknya berbinar, saat melihat sosok yang ditunggunya nampak di ujung pematang sawah, laki-laki yang amat dicintainya selama lima tahun ini. Suaminya. "Maaaaas!" Wanita bernama Sri itu melambaikan tangan, kemudian kaki jenjangnya menuruni tangga kayu dan menyusul sang suami yang bersimbah keringat. Pinggul padat dan pinggang ramping itu berlari lincah di pematang sawah, rambutnya tergerai bergelombang berayun ditiup angin sore. Seorang laki-laki, yang umurnya hanya terpisah dua tahun lebih tua dari Sri, mendekap istrinya itu dengan sayang. Mengecup keningnya sekilas, lalu menggandengnya agar tak masuk terperosok ke dalam sawah yang baru ditanami padi. Cuma beberapa meter, mereka sampai di pondok mereka. Laki-laki itu langsung mencuci kakinya di pancuran mata air yang di dikelilingi penutup dari atap seng. "Assalamualaikum." Senyumnya merekah, siapa yang tak bahagia memiliki istri secantik itu. "Mas mau mandi atau makan dulu?" Mata Sri berbinar semangat. "Mas mau mandi dulu." Sri mengangguk, wanita cantik itu bergegas ke kamar kecil mereka mengambilkan handuk. Kali ini hati Sri benar-benar bahagia. Baru saja Yayuk mendatangi pondoknya dan menyampaikan kabar gembira, dia diterima bekerja di pabrik sepatu. Yayuk adalah teman akrab Sri sewaktu SMP. Akan tetapi Yayuk masih gadis. Sedangkan Sri sudah menikah sejak lima tahun yang lalu. Suami Sri bernama Aryo, pemisah kampung yang berhasil menawan hatinya dari dulu. Pernikahan mereka bahagia, walau hidup miskin dan belum juga diberikan keturunan. Sri tak berhenti tersenyum, bahkan saat dia menghidangkan nasi dan lauk di atas tikar. "Kenapa, Dek? Dari tadi senyum-senyum. Tampaknya kamu bahagia sekali hari ini." Aryo melirik wajah berbinar istrinya, sambil memasukkan nasi ke dalam piringnya. "Alhamdulillah, Mas. Aku diterima bekerja di pabrik sepatu." Aryo yang tadi mengunyah semangat, berhenti menelan nasinya. "Oh ya?" "Iya, Mas. Kerjanya mulai besok, dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore." Aryo meminum air putih yang ada di depannya. Wajah enggan itu mulai membuat Sri cemas. "Mas, mengizinkan, bukan?" Aryo menghela nafas. "Sebenarnya mas masih bisa menafkahi kamu, Dek. Walaupun cuma cukup untuk makan tiga kali sehari." "Tapi, Mas. Aku juga bosan terus-terusan di rumah. Setidaknya, jika aku bekerja, kita bisa mulai menabung untuk membeli tanah. Tanah yang kita tempati sekarang masih milik orang, kapan saja bisa diambil kembali." "Kamu yakin, Dek?" Apalah daya Aryo yang tak pernah bisa menolak permintaan istri yang sangat dicintainya itu. Sri mengangguk semangat. "Baiklah! Asalkan kamu bahagia, Dek. Bulan pun mas berikan untukmu." Sri tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk manja suaminya itu. "Makasih, Mas. Setidaknya kalau aku sudah kerja, kita tak terus-terusan makan dengan ikan asin. Sesekali bisa beli ayam dan daging." Aryo terdiam. Rasa lapar menguap begitu saja. Sri benar, selama ini dia belum memberikan apa-apa pada istrinya itu, hanya makan tiga kali sehari, tak ada pakaian bagus, tak ada bedak mahal. Untung saja istrinya itu cantik, jadi tidak memerlukan peralatan kosmetik seperti wanita lain. Akan tetapi, Sri yang yang yatim piatu menerimanya, tak pernah protes. Dia hanya seorang petani yang bekerja di sawah orang. *** Aryo hanya tertunduk lesu. Padahal sore ini dia berharap Pak Maman memberi upahnya, tapi wajah sendu milik Pak Maman membuat Aryo tidak tega. "Aku benar-benar minta maaf, Yo. Hasil panen tak seperti yang kita harapkan. Aku belum bisa memberi upahmu saat ini, uang hasil panen bahkan tidak cukup untuk biaya masuk uang kuliah anakku. Kau mengerti kan, Aryo?" Aryo hanya mengangguk, dia adalah orang yang tak tega terhadap orang lain. Apa lagi Pak Maman cukup baik padanya selama ini. Terhitung, sudah dua bulan upah bulanannya belum dibayar oleh Pak Maman. "Terimakasih, Yo. Kau memang baik." Pak Maman menepuk punggung Aryo sambil tersenyum lega. "Aku pamit dulu, mau ngantar Asih ke terminal." "Baik, Pak," jawab Aryo. Pak Maman bangkit dan meninggalkan Aryo yang masih duduk di pondok di tepi sawah. Aryo mengalihkan pandangannya pada sawah yang sudah dipanen, padahal dia berharap bisa membawa uang dan membelikan baju baru untuk istrinya. Besok, Sri mulai bekerja di pabrik sepatu, bahkan dia tau persis istrinya itu tak memiliki pakaian yang layak selain daster dan kebaya lusuh yang sudah robek di sana sini. "Maaaaas," lamunan Aryo terhenti saat yang menjadi pusat pikirannya sudah berada di ujung pematang sawah, seperti biasa, wajah cantik ceria dan tanpa beban. Dia berlari kecil mendekati Aryo. Aryo rela, asalkan memiliki Sri yang begitu mencintainya, biarlah hidup mereka miskin seperti ini. Aryo bangkit, menyambut kedatangan istrinya yang tengah menenteng rantang makan siang. "Alhamdulillah, Dek. Kau datang tepat waktu." Aryo memperbaiki posisi bersilanya. Sri tersenyum. "Tapi hanya ada ini, Mas." Sri membuka penutup rantang, dia melipat bibirnya tidak enak. Nasi putih, dengan tahu goreng tanpa sambal. Aryo tersenyum, mengusap pipi istrinya itu. "Ini enak, Dek. Lebih enak dari pada daging." Aryo menggulung lengan bajunya semangat. "Tak ada lagi cabe di pondok, Mas. Uang hanya tersisa dua ribu. Nggak enak ngutang lagi sama Mbak Sum, hutang bulan lalu saja belum dibayar." "Sabar ya, Sri. Mudah-mudahan kita dapat rezeki banyak." Aryo tak tega menyampaikan bahwa upahnya belum dikasih. "Mas doakan saja, aku betah kerja di sana. Setidaknya bisa bantu ekonomi kita, tidak mungkin selamanya kita menumpang di tanah dan pondok Pak Maman, aku juga pengen punya rumah sendiri." "Sabar ya, Dek." Aryo mengelus rambut panjang Sri. *** "Benarkah?" Mata Sri berbinar, memandang Yayuk yang tengah menceritakan betapa enaknya bekerja di pabrik sepatu. "Iya, gajinya lumayan, dua juta sebulan, itu pun belum termasuk lembur, kalau kau masuk di hari Minggu bisa jadi gajimu ditambah lebih banyak." "Waah!" Sri tak bisa menahan mulutnya yang menganga. Dua juta? dia tak pernah melihat uang sebanyak itu. Pasti dia kebingungan bagaimana cara menghabiskan uang sebanyak itu. "Kau bisa beli emas, beli baju bagus, beli sepatu baru," tambah Yayuk. "Aduh, terimakasih banyak, Yuk. Semua atas bantuanmu." "Iya, tapi ada hal-hal yang harus kau ingat." "Apa itu?" "Kalau bisa, jangan sampai ada yang tau, bahwa kau sudah menikah." "Tapi, di KTP?" "Ah, takkan ada yang akan mencari tau sejauh itu, kita ini hanya karyawan rendahan." "Tapi, kenapa harus mengaku gadis segala, Yuk?" "Terkadang perusahaan tak mau ngasih lembur pada wanita yang merangkap sebagai ibu rumah tangga." "Terdengar tak masuk akal." "Percayalah, Sri." "Baiklah," Sri menjawab tak ikhlas. Mengaku gadis, seolah-olah dia menghianati Aryo. "Yuk, tapi ada masalah saat ini." "Apa?" Yayuk berhenti menyesap tehnya. "Aku nggak punya seragam hitam putih, untuk besok." "Kau tenang saja, aku punya. Pakailah sampai kau punya uang untuk membeli." "Wah! Terimakasih banyak, Yuk. Kau memang baik." "Santai saja." Yayuk mengibaskan tangannya di depan wajah. Saat ini Sri tengah berada di rumah Yayuk. *** Pagi yang ditunggu Sri akhirnya datang. Dia bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan sarapan dan bersih-bersih. Aryo belum melepas sarungnya sehabis shalat subuh, dia masih menekuni membaca koran bekas ditangannya. "Bagaimana, Mas?" Sri muncul, memakai kemeja putih dan rok selutut berwarna hitam. " Ini dipinjami Yayuk." Aryo tak langsung menjawab. Tapi dia merasa ada yang ganjil dengan kemeja itu. Yayuk bertubuh kurus, sedangkan istrinya itu lebih montok dan berisi. Kemeja itu lengket mencetak tubuhnya. "Apa tidak terlalu sempit, Dek?" "Tapi ini ukuran yang paling besar, Mas." Aryo memandang tak enak. "Kemejanya terlalu kekecilan." "Ya, terus bagaiman lagi, Mas. Pagi ini nggak terkejar lagi untuk meminjam baju." "Tunggu di sini, biar mas tanya Harti. Dia kan pernah magang juga." Aryo bangkit menuju pintu ke luar pondok. Sri hanya membuang nafas. Tak lama setelah itu, Aryo datang. Menyodorkan kemeja milik Harti. "Mas rasa ini lebih sopan, Dek." Sri meraih kemeja itu, warna putihnya sudah agak menguning. "Pakai ini ya, Dek. Mas tak mau tubuh menjadi santapan mata laki-laki di luar sana." Sri hanya merenggut. Kemeja itu bahkan sudah ketinggalan mode. Namun, dia tetap memakainya, tapi memasukkan kemeja Yayuk ke dalam tasnya lebih dulu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Scandal Para Ipar

read
693.8K
bc

Marriage Aggreement

read
80.9K
bc

Dilamar Janda

read
319.2K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Sang Pewaris

read
53.1K
bc

JANUARI

read
37.1K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook