Dua

927 Words
Yayuk mengerutkan kening melihat Sri yang penampilannya tidak seperti yang diharapkannya. Kemeja lusuh yang warna putihnya sudah menguning dan terlihat kebesaran di tubuh Sri. Sama sekali tidak menarik bahkan terkesan aneh. Yayuk mematikan motornya, kemudian berjalan mendekati Sri yang juga menuju ke arahnya. Sedangkan Sri tersenyum tak enak. Dia mengetahui pandangan Yayuk berupa pandangan protes. "Mana baju yang aku pinjami kemaren?" "Mas Aryo tak mengizinkan pakai baju itu, Yuk. Katanya terlalu ketat." "Lah ini? Bikin kamu kayak tukang sapu." Yayuk memegang kerah baju yang dipakai Sri sekilas. Sri menunduk memandang tubuhnya sendiri. Memang, baju itu kebesaran dan modelnya juga ketinggalan zaman. "Ini hari pertamamu, hari pertama akan memberi kesan pada semua orang yang berjumpa denganmu, kalau kamu memberi kesan buruk, orang akan menganggapmu begitu untuk seterusnya." "Terus bagaimana, Yuk?" Sri mulai bimbang. "Ya terserah padamu! Kau mau memberi kesan seperti apa. Lagi pula, suamimu itu terlalu kolot, tak mungkinlah kau bekerja dengan daster yang longgar atau kebaya tradisional." Sri berfikir sebentar. "Ya sudah, aku ganti saja." "Nah begitu, punya tubuh bagus kok ditutup sama baju jelek." Yayuk tersenyum. Sri minta izin untuk menukar bajunya di rumah Yayuk. Beberapa saat kemudian Sri muncul, gelagatnya tidak percaya diri, bahkan dia berusaha menutup dada dengan ke dua telapak tangannya. "Jangan terlihat norak, Sri." Yayuk melepaskan tangan Sri sambil geleng-geleng kepala. "Tidak semua perempuan memiliki apa yang kau miliki." Sri hanya bisa pasrah. *** Sri berada dan beberapa puluh orang lainnya yang juga merupakan karyawan baru dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Wajah-wajah sumringah dan begitu semangat tak lepas dari mereka semua. Rata-rata mereka berusia belasan dan dua puluhan, masih muda dan cantik-cantik. Sri memilih duduk paling depan supaya bisa mengikuti acara ini dengan seksama. "Hai, aku Warni. Kamu?" Teman di sebelah Sri menyodorkan tangan untuk berkenalan, Sri menyambut ramah. "Aku Sri." "Dari mana?" tanyanya lagi. "Dari desa yang tak jauh dari sini. Kamu?" "Aku dari Surabaya. Jadi nge-kost dekat pabrik. Tak jauh, tinggal jalan kaki, sampai deh." "Oh!" Sri tersenyum ramah. Percakapan mereka terhenti saat moderator memberi aba-aba agar mereka berdiri dan menunjukkan posisi siap. "Itu direkturnya," Warni berbisik. Sri mengikuti kemana mata Warni, ke arah pintu masuk ruangan itu. Semua wanita di dalam sana menatap takjub sosok yang berjalan percaya diri dan sesekali melempar senyum ramah kepada mereka. "Ganteng banget ya, Sri," Warni berbisik kembali. "Iya," jawab Sri tak begitu berminat. Dia malah membayangkan, andaikan Mas Aryo yang memakai stelan jas dan sepatu mengkilat seperti bos mereka itu, pasti Aryo tak kalah ganteng, walaupun kulitnya menghitam di bakat sinar matahari. "Masih muda pula, aduh! Siapa wanita yang beruntung yang akan mendapatkanya ya, dengar-dengar dia masih lajang," bisik Warni lagi. Sri hanya tersenyum tanpa berminat menimpali. Bisik-bisik wanita yang berada di dalam ruangan itu terhenti saat Pak Direktur yang tak tau namanya itu naik ke atas podium. Seperti sebelumnya, tersenyum kelewat ramah. "Selamat datang, di perusahaan sepatu Jaya Perkasa. Selamat kepada anda yang diterima bekerja dan sudah resmi menjadi karyawan perusahaan kami." "Suaranya merdu sekali, Sri." Warni berbisik lagi. Sedangkan Sri tak begitu tertarik meladeni, dia lebih fukos mendengar apa yang akan disampaikan bosnya itu. *** Hari pertama, mereka belum langsung bekerja. Mereka dibawa berkeliling pabrik, mengenalkan denah lokasi, serta semua ruangan yang berada di sana. Setelah diajak berkeliling oleh supervisor, mereka lalu diajarkan sekilas menggunakan alat-alat pembuat sepatu. Mereka juga dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok memiliki pemandu sendiri. Tak terasa seharian sudah Sri berada di sana. Dia cukup puas, banyak hal yang didapatkannya hari ini, bagian-bagian yang penting sudah dicatat di buku kecilnya. "Mau pulang, Sri? Mampir ke kos aku, yuk!" Warni muncul belakang, saat ini Sri berada di parkiran motor menunggu Yayuk. "Lain kali aja, War. Sudah terlalu sore." "Oke. Pulang sama siapa?" "Sama Yayuk." "Oh, baiklah! Sampai jumpa besok ya." Warni melambaikan tangan. Gadis itu berlalu bersama teman-temannya. Seiring dengan itu, Yayuk muncul di pintu ke luar. "Ayo!" Yayuk memasang helmnya dan menyalakan motor matic-nya. *** Aryo tersenyum lega, saat melihat istrinya berjalan menuju pondok mereka. Azan Maghrib berkumandang dari mushala yang berada tak jauh dari pondok. Sri membalas senyum lega suaminya, tapi sebelum itu tak lupa mampir ke rumah Yayuk dan mengganti baju kemeja sempit milik Yayuk dengan kemeja lusuh yang dipinjam Aryo. "Dek." Aryo memeluk istrinya yang bahkan belum sempat masuk ke dalam pondok. "Seharian tak jumpa, Mas rindu." Aryo mencubit hidung istrinya. Sri hanya tersipu dan menggandeng lengan Aryo. "Pasti lelah ya, Dek." "Sedikit, Mas." "Adek mandi dulu, Mas sudah masak makan malam. Tadi istri Pak Maman belikan sembako lengkap, Sri. Kita tak perlu cemas dengan kebutuhan dapur selama beberapa hari kedepan. Ada ikan segar-segar juga." Aryo bersemangat. Sri tersenyum, suaminya itu begitu gampang bahagia dengan hal-hal sederhana. Setelah shalat Maghrib dan makan malam, mereka duduk bersama sambil berbincang-bincang kecil. "Bagaimana hari pertamamu, Dek? Mas yakin cukup berat." "Nggak kok, Mas. Aku menikmati, banyak teman sebaya yang berasal dari berbagai daerah. Mereka rata-rata dari luar kota. Tau nggak Mas, aku punya teman baru bernama Warni." "Oh ya?" Aryo ikut bahagia mendengar cerita istrinya. "Iya, dia orang yang baik. Bahkan ngajak ke kosannya, tapi kami baru keluar kerja jam lima sore." "Mas senang, kalau kamu senang, Sri." Sri tersenyum, lalu memeluk manja suaminya. "Beberapa jam tak bertemu, aku rindu kamu, Mas." Sri mendekatkan wajahnya, mengecup sekilas pipi suaminya. "Kita belum shalat isya, Dik." Aryo mengerti apa yang Sri mau. Tapi mereka butuh waktu lama untuk saling melepas rindu. "Iya sih, Mas." Sri menghela nafas pasrah. "Sabar, ya! Sebentar lagi Isya." Sri mengangguk, Aryo tersenyum senang, dia mengusap puncak kepala istrinya yang masih dibungkus mukena. Menikah dengan Sri walaupun sudah lima tahun, mereka masih seperti pengantin baru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD