Dan sepertinya semesta pun mendukung perselingkuhan mereka. Nara benar-benar merasa sinting, ketika akhirnya menerima ajakan gila Elang untuk pacaran. Tidak, dia bahkan sama sekali tidak menyesal sudah dengan sadar masuk ke hubungan terlarang ini! Selingkuh dibalas selingkuh. Impas, kan?! Meski Nara tahu, ini sama sekali tidak adil untuk Elang yang ternyata sudah lama menaruh hati padanya. Terlebih melibatkan dia dalam masalahnya dengan Dikta. Entah akan sesengit apa permusuhan keduanya, saat nanti Nara sengaja membongkar perselingkuhannya dengan Elang, untuk menginjak harga diri pacar sialannya itu. Tapi, itu nanti setelah dia puas membalas Gizel dan Vina.
Sumpah, dia tidak menyangka kisah percintaannya akan serumit ini. Mengira pacarnya sosok sempurna, karena perlakuannya yang selalu manis sampai-sampai membuat banyak perempuan iri. Termasuk Icha yang selalu menyumpahi mereka putus, menunggu momen dia dilepeh Dikta. Tidak akan Nara biarkan mereka bersorak, melihat betapa menyedihkan dirinya yang ternyata memang hanya dijadikan mainan. Hubungan percintaannya dengan Dikta memang akan berakhir berantakan. Tapi, Nara yang akan mengakhiri permainan busuk ini, setelah dia selesai dengan pembalasannya.
“Pagi, kesayangan! Gimana kakimu? Masih bengkak?”
Hanya chat alay dengan panggilan kesayangan, tapi sanggup membuat Nara senyam-senyum kayak remaja jatuh cinta. Gara-gara panggilan konyol Aben semalam, dia menulis kontak nomor Elang dengan nama Pagar Tetangga. Masih dengan terkekeh geli Nara mengambil satu foto kakinya, kemudian mengirimkannya ke Elang.
“Masih,” tulisnya.
Ponsel Nara langsung berdering. Dia yang bersiap mau keluar kamar, akhirnya kembali duduk dengan muka meringis menahan nyeri.
“Ya …” angkatnya.
“Kok masih bengkak? Nanti ke rumah sakit ya, aku jemput?” ucap Elang cemas.
“Tidak usah, kamu kan juga sibuk!” tolak Nara.
“Gampang, tinggal minta izin papaku! Ya?” bujuk Elang kayaknya beneran kepikiran dengan kondisi pacar barunya itu.
Hm … lebih tepatnya kekasih gelap. Karena biarpun mereka sudah sepakat pacaran, tapi untuk sekarang masih harus sembunyi-sembunyi. Itu syarat mutlak dari Nara, saat semalam menerima ajakan gila Elang untuk selingkuh. Sementara Elang sendiri juga tidak punya pilihan lain. Terpaksa mengiyakan keinginan Nara, selama satu bulan akan tetap pura-pura pacaran dengan Dikta demi balas dendam.
“Lang, kan kita sudah sepakat sementara backstreet dulu! Kalau kamu sering nongol dan kita jalan bareng, nanti malah ketahuan. Di kantor ada papaku dan Regan. Dikta juga sering datang mencariku, bahkan kadang dadakan nggak bilang!” tegur Nara mengingatkan Elang soal kesepakatan mereka.
“Kamu membuatku khawatir!” ucap Elang dengan suara berat menahan kesal. Punya pacar, tapi dilarang keras cemburu melihatnya mesra dengan pria lain itu rasanya nyesek. Tapi, mau gimana lagi. Ini juga salah satu resikonya mencintai pacar orang.
“Nanti sore kalau belum baikkan, aku pasti ke dokter. Jangan khawatir!” bujuk Nara.
“Jangan pakai sepatu hak tinggi dulu! Nanti aku minta Genta mengirim obat pereda nyeri ke kantor. Kalau dari dokter lebih aman!” Hanya itu yang bisa Elang lakukan sekarang, karena tidak mungkin datang nyamperin ke kantor Xabiru.
“Iya,” angguk Nara sebelum kemudian mereka mengakhiri obrolannya.
Setidaknya Elang benar-benar mengkhawatirkan keadaannya. Bukan seperti pacar sialannya yang semalam justru membiarkannya pergi dengan kaki pincang dan emosi. Mana Dikta sangka, kalau ternyata Nara bukan hanya tahu kelakuan mesranya dengan Gizel. Tapi, juga tahu semalam dia mengantar ani-aninya pulang. Bahkan setelahnya lanjut keluyuran ke Mirror, bawa jalangnya yang lain. Luar biasa brengsekk ternyata pacar bucinnya itu.
Untung semalam Elang tanggap langsung minta Aben menyembunyikan mobilnya, juga berpesan untuk tidak memberitahu keberadaannya di sana. Jadi Nara bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri, semenjijikkan apa kelakuan Dikta di belakangnya selama ini. Dia bukan cuma memeluk perempuan bawaannya, tapi juga berciuman panas yang bikin Nara mual. Elang membawanya pulang lewat pintu belakang. Kim bilang Dikta meninggalkan Mirror dengan kondisi setengah teler bersama teman perempuannya. Kemana mereka, Nara tidak setolol itu untuk bisa menebak.
“Kakimu kenapa? Semalam waktu keluar bukannya baik-baik saja!” tanya Rizal yang duduk menikmati sarapan. Sama sekali tidak berniat berdiri menolong anaknya yang meringis jalan terpincang-pincang.
“Paling juga habis ribut dengan selingkuhan Dikta di klub! Aku tidak bohong, kan?! Pacar idamanmu itu semalam bersenang-senang dengan model brand ambassador perusahaannya di Blackout!” Regan yang menuruni tangga menyeringai puas.
“Dikta beneran selingkuh, Na?!” papa Nara melotot kaget.
“Aku bilang juga apa?! Anakmu cuma dibuat mainan! Sudah mau dilepeh tuh!” olok si ibu tiri tersenyum lebar.
Tanpa menggubris ocehan mereka, Nara duduk dan mengambil sepotong roti bakar. Diam menikmati makanannya. Seperti inilah keluarganya. Mereka bukan mengkhawatirkan kondisinya, tapi justru menertawakannya dan berharap dirinya benar-benar diselingkuhi. Kehancurannya adalah kebahagiaan bagi para tikus serakah ini. Tunggu saja sebulan lagi, bagaimana dia akan menendang mereka dari rumah ini.
“Bi, tolong ambilkan jus!” seru Nara terpaksa minta diladeni, karena bahkan papanya sendiri tidak peduli.
“Papa sedang bertanya padamu! Dikta beneran selingkuh? Ingat ya, apapun alasannya kalian jangan sampai putus!” Yang Rizal khawatirkan bukan nasib anaknya diselingkuhi, tapi takut Nara bodoh melepaskan calon ladang uang mereka. Punya besan konglomerat seperti Anjar Wirayudha, tentu akan jadi jaminan mereka dapat bantuan secara finansial maupun kemudahan dalam hubungan relasi bisnis.
“Memangnya sejak kapan mulut sampah anakmu bisa dipercaya?” Nara menatap Rega sinis.
“Sialan! Aku melihat sendiri pacarmu ciuman sama Gizel. Kamu saja yang tololl terkecoh sikap bucinnya. Semua juga tahu, Dikta itu buaya bangsatt!” Regan meradang karena malah dibilang fitnah. Padahal dia benar-benar melihat pria itu mesra dengan model di Blackout semalam.
Bibi setengah baya datang mengantar segelas jus untuk Nara. Menunduk, matanya tampak cemas mendapati pergelangan kaki Nara yang bengkak. Di rumah ini hanya dia satu-satunya yang selalu peduli ke Nara, karena Bi Ida yang mengasuhnya sejak bayi. Pilih tetap tinggal meski nyonya barunya kayak setan, sebab tidak tega meninggalkan anak titipan mendiang nyonyanya itu menderita sendirian.
“Bi Ida panggilkan tukang urut ya, Non?”
“Besok saja kalau bengkaknya belum sembuh, Bibi panggilkan tukang urut. Hari ini aku lagi banyak pekerjaan di kantor.” Nara tersenyum supaya pengasuhnya itu tidak khawatir.
“Ke kantor diantar Anton, ya? Bibi telepon dia sekarang!” ucap Bi Ida sudah kayak mama Nara perhatiannya. Sedang papanya malah blas tidak peduli.
“Hm,” angguk Nara karena tadinya dia malah mau panggil taxi. Daripada harus semobil dengan papanya atau Regan. Ogah dia!
Tangannya baru mau meraih gelas jus, ketika ponsel Nara berdering pelan. Semua mata melirik ke arahnya, mungkin mengira Dikta yang menelpon.
“Ya …” ucapnya mengangkat panggilan dari Elang lagi.
“Aku sudah minta Rega menjemputmu. Aman, Dikta tidak akan mengenali mobilnya. Paling sepuluh menit lagi sampai situ. Ingat, jangan pakai sepatu hak tinggi!” Elang bahkan sampai segitu perhatiannya.
“OK!” angguk Nara tidak memperpanjang obrolan, karena banyak telinga sedang menguping di situ.
“Bi, tidak usah panggil Anton! Temanku kirim grab ke sini!” seru Nara minta bibinya tidak jadi minta tolong anaknya menyopirinya ke kantor.
“Apa gunanya punya pacar, kalau jalan pincang tapi tidak kepikiran datang menjemput?!” cibir Karina pedas.
Nara lanjut makan rotinya. Tidak ingin merusak moodnya dengan meladeni mulut ember ibu tirinya. Setelah puluhan chat dan telepon yang tidak Nara gubris, sampai sekarang Dikta tidak mencoba menghubunginya lagi. Mana sempat, paling juga masih kliyengan habis mabuk dan kecapekan tidur dengan perempuannya semalam.
“Dengar baik-baik, Na! Jangan pernah ribut sama Dikta, apalagi berpikir minta putus. Soal dia mau jalan dengan siapa, biarkan saja! Yang penting nanti kamu yang dinikahi. Nasib baik tidak akan datang dua kali. Bisa jadi menantu keluarga Wirayudha itu impian semua wanita. Jadi jangan bodoh mengedepankan emosimu. Ke depannya bukan cuma kamu akan hidup bergelimang harta, tapi derajat keluarga kita akan terangkat. Saham Xabiru dan warisan mamamu, tidak ada apa-apanya dibanding apa yang akan kamu dapatkan di keluarga Wirayudha. Paham!” ujar Rizal memberi penekanan ke anaknya, supaya bisa mengendalikan emosinya. Itu karena dia tahu, Nara paling phobia dengan yang namanya perselingkuhan.
“Cih, terlalu tinggi kalau mimpi bisa jadi menantu mereka! Mama dan adik Dikta saja ogah mengakui dia sebagai pacar Dikta. Buktinya sampai sekarang cuma dijadikan pajangan sebagai pacar. Boro-boro dilamar, diajak main ke rumahnya saja tidak pernah kok! Benar kata Icha, sebentar lagi paling juga dicampakkan sama Dikta!” cemooh Karina nyelekit.
Meletakkan gelasnya kasar, Nara menatap mereka sinis. Kurang bangsatt bagaimana lagi punya papa matre seperti tua bangka ini. Kebahagiaan anaknya sama sekali tak penting, karena jiwa benalunya sudah terlanjur mendarah daging.
“Jadi seperti itulah yang di otakmu saat mendekati mamaku dulu! Harga diri tidak penting, asal bisa hidup bergelimang harta. Sama seperti gundik murahanmu yang rela dijadikan simpanan, demi bisa ikut menikmati harta mamaku! Menjijikkan!”
Braakkk
“Naraya ….” teriak Rizal menggebrak meja dengan tatapan murkanya.
“Kurang ajar! Beraninya menghina mamaku!” bentak Regan ikut geram.
“Minta ditampar mulutnya, pagi-pagi ngajak ribut!” teriak Karina emosi.
Nara terkekeh menyambar tasnya, lalu beranjak berdiri dari kursinya. Permainan baru saja akan dimulai! Sebulan lagi, dia harus menunggu sampai mendapatkan semua haknya dulu untuk memberi pelajaran para curut sialan ini.
“Jaga sikap kalian! Ingat, sebentar lagi aku lah pemilik semua yang kalian nikmati selama ini! Kalau tidak mau jadi gelandangan, pastikan lain kali mulut kalian tidak asal mangap!” ucapnya sebelum melangkah terpincang pergi dari sana.
“Anak durhaka! Ke papamu sendiri juga berani mengancam. Kami juga berhak atas rumah ini, sialan!” teriak Karia mengamuk, tapi tidak digubris oleh Nara.
Menulikan telinganya, dia tertatih meringis keluar dari rumah. Bibinya yang ternyata menunggu di ruang depan pun mendekat merangkul lengan Nara, memapahnya ke halaman.
“Sabar ya, Non!” ucapnya iba.
“Hm,” angguk Nara.
“Nanti pulangnya gimana? Bi Ida suruh Anton jemput, ya?”
“Gampang, Bi! Taksi juga banyak kok. Kalau memang butuh dijemput, nanti aku telpon Bi Ida!” jawab Nara.
Miris, kan?! Padahal papanya dan Regan juga satu kantor, tapi tidak ada yang peduli. Justru pembantunya lebih mengkhawatirkan keadaannya. Sampai depan rumah sudah ada mobil hitam yang menunggu. Seorang pria muda turun begitu melihat Nara muncul dari pintu gerbang.
“Saya Rega, diminta Bang Elang mengantar Bu Nara ke kantor!” ucapnya sopan membuka pintu belakang.
“Terima kasih,” angguk Nara terpincang masuk ke mobil.
Di balkon lantai dua, Icha mengernyit menatap kakaknya dijemput orang yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Mobil melaju meninggalkan depan rumah Rizal Baswara. Sepanjang perjalanan Nara hanya diam dengan perasaan sesak. Begini banget nasibnya, hidup di kelilingi para manusia brengsekk.
“Rega sudah sampai?” tanya Elang lewat chatnya.
“Aku sudah hampir sampai kantor malahan!” balas Nara.
“Pulang aku jemput! No debat!”
Nara tersenyum membacanya. Merasa sinting karena malah menikmati perhatian dari selingkuhannya yang ternyata semanis ini. Elang tidak kalah bucin dari Dikta, bahkan jauh lebih posesif.
“Nanti aku kabari!” tulisnya.
“Ok!” balas Elang.
Rega mengantarnya sampai depan pintu lobi kantor Xabiru, tapi Nara melarangnya saat hendak turun membantu dirinya yang terpincang. Harus hati-hati, karena hari sial tidak ada di kalender. Baru turun, security langsung mendekat melihatnya jalan dengan muka meringis kesakitan.
“Bu Nara butuh kursi roda?” tanyanya sopan.
“Tidak perlu!” seru Dikta yang ternyata sudah menunggu di sana.
Nara mendengus menatap sinis pacar brengseknya yang melangkah mendekat. Untung saja tadi Rega tidak turun dari mobil, karena dia juga salah satu bodyguard yang bekerja di Mirror. Dikta bisa saja mengenalinya. Tanpa menunggu pria itu langsung membopong tubuh Nara.
“Siapa yang mengantarmu barusan?!” tanya Dikta tidak suka.
“Bukan urusanmu!”