Bab 7. Amarah Nara

1827 Words
Tampan dan calon pewaris Apsara Jaya Group. Dikta ibarat pria idaman tanpa cela. Jadi wajar kalau banyak wanita bermimpi bisa menjadi istrinya, kecuali Nara! Mungkin sikap lempengnya saat didekati Dikta itulah yang membuatnya keranjingan tertantang. Enam bulan Dikta pontang-panting tidak karuan, sebelum akhirnya mereka pacaran. Bagaimana Nara tidak tersentuh, jika Dikta segigih dan semanis itu perlakuannya. Terlebih ketika dia blak-blakan punya trauma tentang perselingkuhan, Dikta berani bersumpah akan selalu menjaga hatinya. Enam bulan diperjuangkan, dua tahun lebih diratukan, dan semua hancur dalam semalam. Tak ada lagi yang tersisa di hati Nara, selain dendam dan sakit hati. Dia benar-benar merasa bodoh, tidak menyadari betapa menjijikkan wajah asli pacarnya. Lihatlah apa yang dilakukan pria ini sekarang! Datang tanpa rasa bersalah, setelah semalam ketahuan bermesraan dengan Gizel. Membiarkan dirinya pergi dengan keadaan terluka dan marah. Biasanya Nara dibuat melambung dengan kelakuan bucinnya. Tapi, sekarang dia merasa jijik disentuh Dikta. Apalagi membayangkan dia bergumul dengan perempuan yang dibawanya ke Mirror semalam, Nara mau muntah. Dikta tak lagi bertanya siapa yang barusan mengantar, setelah melihat wajah dingin Nara. Mengira pacarnya masih marah soal kejadian semalam di Blackout. Andai saja dia tahu, bahkan semua borok busuknya sudah terbongkar. Pasti Dikta blingsatan berlutut minta maaf. Bukan malah sok ketus, asal cemburu Nara diantar orang tak jelas ke kantor. Tidak ada yang berani ikut masuk ke lift. Dikta menekan angka enam, lalu lift berlahan bergerak naik membawa mereka ke lantai atas. “Masih marah? Maaf, adikku sudah kelewatan semalam. Aku tidak tahu kalau kakimu sampai separah ini! Kita ke dokter, ya!” ucap Dikta dengan suara lembutnya. Tersenyum sinis, perut Nara rasanya mual. Semalam Dikta juga melihatnya meringis kesakitan, tapi lebih mementingkan menolong Gizel. Seperti tak punya otak, dia memberikan perhatiannya ke perempuan lain di hadapannya. Wajar si ani-ani sialan itu menyeringai puas mengejeknya. “Beb …” “Beb?! Panggilan paling menggelikan dari mulut pria, yang semalam berciuman dengan selingkuhannya!” cemooh Nara muak. “Gizel mabuk. Kenapa juga kamu percaya ocehannya?!” elak Dikta berusaha untuk tidak panik. “Hm, dia mabuk tapi kamu tidak! Kamu bahkan menikmati, saat dia duduk di pangkuanmu dan menggerayangi tubuhmu. Jangan kira aku setolol itu bisa kamu bohongi! Aku menonton semua yang kalian lakukan dari lantai dua, kekasih paling setiaku. Jadi jangan blunder dengan membuat pembelaan, yang justru makin menunjukkan sebrengsek apa kelakuanmu di belakangku selama ini!” ucap Nara dengan tatapan menusuknya. Dikta seketika kicep. Syok karena tidak menyangka Nara melihat lebih banyak dari yang dia kira. Lift berhenti di lantai enam. Begitu pintu terbuka, Nara langsung meronta turun. “Beb …” Kaget Dikta berusaha menahan tubuh Nara yang merintih kesakitan kakinya menghantam lantai, tapi tangannya ditepis kasar. Kepala Nara sampai kliyengan saking tidak tahan menahan denyut sakit di kaki kirinya. Mendesis menahan sakit, dia melangkah terpincang-pincang menuju ruang kerjanya. Lebih baik dia kesakitan, daripada jijik dibopong pria sialan itu. “Tunggu, Beb!” Dikta masih berusaha meraih lengan Nara, namun mendapat penolakan makin kasar. Beberapa pegawai yang berseliweran hanya melirik mencuri lihat. Penasaran melihat mereka yang sepertinya sedang tak akur, padahal biasanya selalu mesra dan manisnya tidak ketulungan. Irma sekretaris Nara saja sampai gelagapan saat bossnya datang dengan muka marah, lalu membanting pintu ruang kerjanya sampai nyaris menghantam muka Dikta yang mengekor di belakangnya. Kepala Nara seperti mau meledak. Dia sudah berusaha sabar, tapi mendengar Dikta masih terus berusaha membodohinya rasanya gatal ingin menampar mulut sialannya itu. “Beb …” panggil pria itu setelah menutup pintu rapat, lalu melangkah menghampiri Nara yang duduk di meja kerjanya. Sama sekali tidak menggubris keberadaannya. “Sumpah, aku tidak pernah punya perasaan yang aneh-aneh ke Gizel! Dia itu sudah aku anggap adik. Kamu sendiri tahu, mama kami masih sepupu. Makanya di rumah dia sudah dianggap anak sendiri. Kelakuannya dari dulu memang manja begitu!” ucap Dikta berdiri menyandar meja di samping Nara. “Sejak kapan adik kakak boleh ciuman?! Kamu tidak setolol itu untuk paham, Gizel sejak dulu tergila-gila mengejarmu kan?! Tidak tuli setiap kali Vina menghinaku tidak pantas, karena seharusnya Gizel yang kamu pacari! Jadi selama ini seperti itulah kelakuanmu di belakangku, hm?!” Nara membalas tatapan Dikta. “Yang semalam Gizel memang kelewatan. Sumpah biasanya aku tidak pernah menanggapinya, Beb! Dia yang tiba-tiba menyerobot menciumku. Kalau tidak percaya tanya saja ke Elang, Sonja, sama Emir!” kelitnya luwes banget mulutnya berdusta. “Dan kamu pikir aku percaya?!” sahut Nara jengah. “Ya ampun, Beb! Terus aku harus bagaimana biar kamu tidak salah paham lagi begini?!” Dikta mengusap wajahnya kasar. Sampai di titik ini Nara baru sadar, betapa pandainya pria ini memainkan dramanya. Terkekeh lirih, Nara beranjak berdiri dan terseok melangkah ke sudut ruangan menuang kopi. Dikta meringis menatap kaki pacarnya yang bengkak dan terpincang-pincang. Semalam dia kira kaki Nara tidak separah itu, makanya terpaksa membiarkannya pergi. Vina dan Gizel sudah setengah teler, mama mereka bakal mengamuk kalau dia tidak mengurusnya. “Kita ke dokter dulu, ya?! Ayo, aku antar!” bujuknya yang malah ditanggapi tatapan menghujam tajam dari Nara. “Basi! Semalam kamu bahkan lebih mementingkan mengurus kaki Gizel. Padahal matamu juga melihat, aku meringis kesakitan. Bahkan, setelahnya kamu membiarkanku pergi tanpa sedikitpun khawatir. Luar biasa pacar bucinku! Sudah ketahuan bermesraan dengan adik spec ani-aninya, masih tidak punya otak menunjukkan perhatiannya di hadapanku! Sekarang tiba-tiba datang sok khawatir. Jangan bikin aku muntah!” bentak Nara meluapkan amarahnya. “Maaf, aku tidak tahu kakimu ternyata terkilirnya sampai separah itu!” gumam Dikta berusaha mendekat, tapi apa yang kemudian Nara lakukan membuatnya hampir jantungan. “Keluar!” Taaarrrr Tak cuma berteriak mengusir, Nara juga membanting cangkir kopinya seperti yang dilakukannya semalam hingga melukai kaki Gizel. Dikta berdiri mematung. Dia tahu tidak akan mudah membujuk kekasihnya yang sedang marah-marahnya. Tapi, tidak menyangka Nara bakal sebar-bar ini. “Beb, aku tahu salah. Soal Gizel, setelah ini aku pasti akan bicara dengan dia dan menegur supaya lain kali jaga sikap! Maaf … semalam malah membiarkanmu pergi begitu saja, Vina juga sedang mabuk dan gaduh di sana. Makanya aku minta tolong Elang menyusul dan mengantarmu pulang. Sudah marahnya, ya! Aku janji yang seperti semalam tidak akan terulang lagi! Mulai sekarang aku juga akan jaga jarak dengan Gizel,” ucap Dikta menatap penuh harap kekasihnya akan luluh. “Sejak awal aku sudah bilang, punya trauma tersendiri dengan perselingkuhan. Kamu sendiri yang bersumpah akan selalu jaga hati. Terus ini apa?! Kalau saja Regan tidak memberitahu lihat kamu ciuman dengan Gizel, lalu aku menyusul ke sana. Kamu pasti akan tetap menikmatinya. Atau jangan-jangan memang seperti inilah kelakuanmu di luar selama ini! Biasa main perempuan, iya kan?!” cecar Nara tanpa takut Dikta murka dan memutuskan hubungan. Toh, dia sudah punya cara lain untuk membalasnya. “Kok kamu jadi ngelantur nuduh gitu! Aku sudah bilang, semalam itu karena Gizel mabuk. Marah, tapi bukan seperti ini caranya kamu melampiaskannya padaku, Beb! Kalau aku tidak serius, mana mungkin mengajakmu menikah. Kamu sendiri juga kan yang menolak diajak nikah! Terus bukti seperti apalagi yang kamu mau, ha?!” dengus Dikta geram. Nara menanggapinya dengan senyum mengejek. Setelah menuang satu cangkir kopi lagi, dia terseok melangkah kembali ke kursinya. Dikta menghela nafas panjang. Tidak ada sejarahnya, dia diamuk perempuan sampai sekasar ini. Sialnya dia justru tidak berniat melepaskan perempuan yang sudah dua tahun lebih ini dipacarinya. Sebrengsek apapun laki-laki, pasti ingin perempuan baik-baik yang dijadikan istri. Nara adalah pilihan tepat untuk dinikahi. Cantik, cerdas, mandiri, tidak menye-menye, dan tidak gampangan. Jadi mana mungkin dia akan melepasnya begitu saja, meski mama dan adiknya tidak menyukai pilihannya. Yang penting papanya sudah memberikan restu. Mendekat dan berlutut, Dikta meraih kaki Nara yang bengkak. Nara justru meraih ponselnya dan mengambil satu foto Dikta yang sedang mencium kakinya. “Kamu semalam mengantar Gizel pulang, kan?” lontarnya seketika Dikta terperangah kaget. Boom nya lagi, Nara menunjukkan chat dari Gizel yang sejak semalam berisik menerornya. Kicep, Dikta benar-benar dibuat mati kutu. Pasti tidak menyangka ani-aninya akan sekeranjingan itu. “Jadi ini alasanmu menyuruh Elang mengantarku pulang, karena kamu harus memastikan ani-animu selamat sampai rumah. Ah … atau malah diantar sampai ranjang!” cibir Nara sinis. “Nggak, Beb! Aku mengantarnya cuma sampai pintu gerbang rumahnya, terus langsung pulang! Tante Tika menelpon minta aku mengantar anaknya, makanya aku terpaksa mengantar sendiri Gizel pulang!” elaknya. “Kamu bisa baca sendiri kan, tidak begitu yang ani-ani bilang! Kalau saja aku tidak memergoki kamu yang ternyata juga sama brengseknya dengan papaku, aku pasti percaya seribu persen padamu!” Nara menunjukkan juga foto yang barusan diambilnya dan hendak dikirim ke Gizel. “Kamu keberatan tidak, aku menunjukkan foto ini ke adik rasa ani-animu?” olok Nara. “Tentu saja tidak!” geleng Dikta, lalu Nara benar-benar mengirim foto itu ke Gizel. Dikta berdiri, bertepatan dengan ponsel Nara yang berdering oleh panggilan dari Gizel. Nara meletakkan ponselnya di atas meja. Mengangkatnya dengan pengeras yang sengaja dinyalakan. “Sialan kamu, Nara! Beraninya kamu memperlakukan Kak Dikta seperti itu! Kamu pikir kamu siapa, ha?!” teriaknya langsung mengamuk. “Aku pacar Dikta. Masalahnya apa kamu tidak terima dia bucin padaku?!” sahut Nara dengan mata menatap lekat ke Dikta yang tampak gusar. Mungkin takut Gizel akan bicara yang tidak-tidak. “Pacar yang tidak diharapkan oleh calon ipar dan mertua, maksudmu! Jangan bangga diperlakukan bucin, kamu tidak tahu di belakangmu dia sama saja …” “Berani menuduhku yang tidak-tidak, aku hancurkan karirmu!” bentak Dikta membungkam mulut Gizel yang benar-benar mau mengorek boroknya. “Kak … Dikta …” Saking kaget Gizel sampai gagap. “Kurang ajar kamu, Zel! Apa maksudmu meneror pacarku dan bicara yang tidak-tidak begini, ha?!” teriak Dikta menyambar ponsel Nara dengan tangannya yang gemetar. “Karena dia tidak pantas jadi pacarmu!” Gizel balas berteriak. “Kalau begitu ambil saja Kak Diktamu buat kamu! Tidak perlu merendahkan harga dirimu seperti jalang murahan, yang asal nemplok dan nyosor ke pacar orang. Kamu menjijikan, Gizel!” sahut Nara. “Bangsaattt kamu, Naraaa!” jerit gadis itu histeris. Nara merebut lagi ponselnya, lalu mematikan sambungan telepon. Dikta berdiri salah tingkah, bingung harus memberi pembelaan apalagi. Ganti ponsel Dikta yang berdering. Dia menghela nafas kasar melihat papanya yang menelpon. “Beb, papa menyuruhku mewakili dia berangkat ke Surabaya. Aku akan di sana selama dua tiga hari. Maaf, tadi bilangnya juga dadakan,” ucap Dikta tanpa mengangkat telepon papanya. “Pergi saja, memang apa peduliku! Bukankah sejak tadi aku sudah menyuruhmu keluar?!” sahut Nara acuh tak acuh meneguk kopinya. “Nara, jangan gini dong! Aku tahu salah. Sekembali dari Surabaya, kita bicara lagi. Nanti aku minta sopirku kesini buat antar jemput kamu, sekalian ke dokter. Ya?” bujuknya. “Tidak perlu!” geleng Nara. Dikta meraih tangan Nara dan menggenggamnya, meski dia berontak menepis. Menjauh dulu beberapa hari mungkin memang lebih baik, karena bicara dengan kondisi Nara yang masih meledak-ledak juga percuma. “Nanti aku minta tolong Elang mengantarmu ke rumah sakit. Dia pasti lebih tahu dokter mana yang bagus, untuk mengobati kakimu. Ya?” bujuknya lagi. Dalam hati Nara ngakak. Pria bodoh ini malah mau memberinya kesempatan untuk bisa leluasa bersama Elang. Sahabat yang kini sudah jadi selingkuhannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD