Bab 4. Salting

1668 Words
Seketika Nara menyesali keputusannya mengiyakan ajakan Elang mampir ke situ. Sumpah, malunya sampai ubun-ubun! Datang dengan dibopong. Mana salah satu dari mereka mengenalinya sebagai pacar Dikta lagi. Wajar saja kalau langsung dikira selingkuh. Ceritanya bulan kemarin salah satu teman Dikta dan Elang operasi usus buntu di Medical Centre. Rumah sakit milik tantenya Elang. Saat menjenguk kesana, kebetulan bertemu dua sepupunya. Ezra yang pernah bertemu Dikta di Mirror sini, satunya lagi Genta dokter yang juga kebetulan menangani teman mereka. Nah, Aben ini teman mereka yang ketika itu juga di sana. Terlanjur malu Nara pun mengangguk sopan menyapa kelima orang di sana, setelah Elang menurunkannya di sofa. Satu orang lagi yang langsung bisa Nara kenali, meski baru kali ini bertemu. Wanita bermuka datar dengan tatapan tajam di depannya itu. Jingga Abraham, cucu konglomerat Jonathan Lin. Sepupu Elang pemilik nightclub Mirror ini. “Serius yang Aben bilang barusan?” tanya perempuan bertato di samping Aben dengan suara pelan ke Elang, tapi langsung kena tonyor temannya. “Haish! Asal mangap! Kan baru pacar. Masih sah ditikung!” ucap pria yang nonyor tadi cengengesan. Bugh Jingga melempar kotak tisu, menegur mereka supaya mulutnya tidak celometan. Elang duduk, lalu melempar kunci mobil ke Aben sampai orangnya gelagapan menangkapnya. “Mobil warna merah sebelah mobilnya Kim. Ungsikan dulu ke tempat lain!” perintahnya. “Tuh, kan! Beneran takut ketahuan nyolong pacar teman!” seru Aben makin yakin. “Ck, buruan! Sekalian pesan ke penjaga pintu, kalau ada yang mencariku suruh bilang aku tidak di sini!” ucap Elang. Takutnya nanti Dikta nyusul, karena tahu dia sering nongkrong di sini. “Hm.” Aben bergegas pergi menuruti permintaan Elang. Keempat orang di sana masih menatap Elang penasaran. Panas menjalari wajah Nara. Risih sekaligus malu, jadi pusat perhatian mereka. “Ruth, tolong ambilkan kotak obat sama kompres dingin!” pinta Elang, lalu menunduk meraih pergelangan kaki Nara. “Lang, aku bisa sendiri!” Nara kaget saat Elang melepas sepatu hak tingginya. “Diam!” gumam Elang melepas sepasang sepatu Nara, lalu mengusap pergelangan kaki kirinya yang bengkak memerah. Nara meringis kesakitan. Tapi, itu tak seberapa dibanding dengan malunya sekarang. Tahu begini mending tadi dia pulang saja ke rumah. Setidaknya dia sudah kebal menghadapi para curut sialan di rumahnya itu. “Kamu … tidak niat mengenalkan temanmu, Lang?” lontar pria bule di samping Jingga. Wajahnya seperti tak asing, tapi Nara lupa-lupa ingat. “Njir, bawa yang bening kita jadi dianggap kecoa!” timpal pria tengil tadi. “Maaf, sudah tidak sopan! Saya Naraya Anjani, temannya Elang!” Sungkan, Nara pun memperkenalkan diri lebih dulu ke mereka. Tadinya dia menunggu Elang, karena kan dia saudaranya yang punya tempat. Siapa sangka pria ini malah slengean sok sibuk. “Beneran pacarnya Dikta? Dia pernah beberapa kali ke sini sama Elang.” “Diam kenapa, Kim!” sungut Elang kesal ke pria tengil di situ. “Ini kotak obatnya!” Perempuan bertato itu meletakkan kompres dingin dan kotak obat di atas meja. “Terima kasih,” ucap Nara. Elang menghela nafas panjang, lalu menatap mereka yang masih menatapnya curiga. “Kenalkan itu sepupuku Jingga, Na! Yang punya Mirror. Bule di sebelahnya itu Max Carlos Alexander. Pimpinan Alexander Group, suaminya Jingga!” Elang mengedikkan dagu ke dua orang di depan mereka. Nara mengangguk. Ok, sekarang dia ingat siapa bule itu! Pantas saja seperti pernah lihat, karena dia penguasa Alexander Group. Pernikahan mereka digelar luar biasa megah dan sempat bikin heboh. Banyak yang bilang itu pernikahan bisnis, tapi melihat semesra apa mereka sepertinya tidak mungkin. “Itu Kim, yang menjadi penanggung jawab tempat ini. Satunya lagi Ruthiah, tukang pukul di sini!” tunjuk Elang ke perempuan bertato yang tengah melotot jengkel itu. “Sialan! Ruth, bukan Ruthiah!” dengusnya tidak terima. “Halah, sama saja!” sahut Elang. Nara sempat mengulum senyum melihat mereka ribut, tapi seketika blingsatan saat Elang meraih kaki kirinya ditaruh di pangkuannya. “Lang!” cicitnya gugup berusaha menurunkan kakinya, tapi oleh Elang dicekal dan ditempel kompres dingin. “Arghhhh ….” Nara meringis kesakitan. “Makanya diam! Dari tadi protes terus!” Elang mendecak keras mendapati kaki Nara yang ternyata bengkaknya separah itu. Pantas saja sampai pincang jalannya. “Kok bisa terkilir? Kalian habis kabur dari mana, sampai takut diuber Dikta?” Mulut Kim mulai lagi nyinyirnya. Terkesan usil, tapi pertanyaan itu juga yang ada di kepala mereka. Seumur-umur tidak pernah melihat Elang bawa gandengan atau punya pacar. Tapi, tiba-tiba malah membopong pacar temannya. Lebih mencurigakan lagi, karena sepertinya mereka sedang main petak umpet. “Dari Blackout. Dia habis memergoki pacarnya selingkuh, lalu ribut di sana!” jawab Elang enteng. Bugh “Arghh … sakit!” Elang meringis kena gebuk Nara di punggungnya. Nara mendengus kesal. Kenapa baru sekarang dia ngeh, kalau Elang ternyata juga bisa semenyebalkan ini. Biasanya anteng. Tidak banyak omong. Ternyata bisa nyinyir juga. “Oh … jadi ceritanya sekarang Elang lagi jadi pahlawan kemalaman, gitu?!” sindir Ruth cengengesan. “Ya nggak aneh kalau Dikta selingkuh. Dia saja kalau ke sini di sebelahnya pasti ditemani pepaya bahenoll kok!” “Kim …” tegur Elang. “Dikta temanmu, tapi nggak gitu juga konsepnya kamu ikutan menutupi boroknya, Lang! Kasihan Nara. Kamu juga punya adik cewek. Gimana perasaanmu, kalau Gendis dipermainkan pacarnya kayak Nara gitu?!” timpal Ruth. Tertawa lirih, rasanya seperti ditampar berkali-kali. Itulah yang Nara rasakan, saat mendengar fakta busuk yang selama ini Dikta tutupi di balik sikap bucinnya. Elang menoleh dengan tatapan bersalahnya. “Dikta yang mana?” tanya Max. Sementara istrinya masih betah bungkam. “Dikta Wirayudha, anak yang punya Apsara Jaya Group. Temannya Elang waktu di Jerman. Ganteng sih, tapi ya gitu!” jawab Kim melirik ke Nara yang seperti sedang menahan marah. “Sorry, Nara! Aku bukannya mau merusak hubungan kalian, tapi yang aku katakan itu fakta. Kamu marah memergoki Dikta selingkuh. Berarti kan selama ini kamu tidak tahu, dia aslinya kayak apa!” ucap Kim lagi. “Nggak kok, justru aku berterima kasih sudah dikasih tahu soal ini.” Nara menggeleng dengan senyum kakunya. “Kalau kamu salah naik kereta, turunlah di stasiun terdekat! Semakin lama kamu bertahan untuk turun, semakin mahal biaya perjalanan pulangnya. Paham maksudnya, kan?” lontar Jingga beranjak bangun dari duduknya. Nara mengangguk. Hebat perempuan ini. Diam, tapi sekalinya buka mulut langsung mengena sasaran. “Kami pulang dulu! Tadi anak-anak agak rewel habis imunisasi!” pamit Max menggandeng tangan istrinya. “Datang saja kalau ada yang perlu kami bantu, Lang!” ucap Jingga sembari berlalu dari sana. Bukan cuma Jingga dan Max yang pergi, tapi Kim dan Ruth juga ke bawah untuk mengecek kondisi nightclub. Meninggalkan Elang dan Nara yang diam membisu. “Aku tidak membenarkan kelakuan Dikta, tapi juga tidak mungkin memberitahu soal itu padamu. Nanti malah dikira cepu. Sengaja merusak hubungan kalian. Berteman kan juga ada batasnya. Tidak ikut campur urusan pribadi. Sorry!” Elang benar-benar serba salah. “Hm, aku tahu!” angguk Nara. “Sakit?” Elang mengusap kaki bengkak Nara di pangkuannya. Lagi-lagi Nara hanya mengangguk. Sebenarnya canggung kakinya berada di paha Elang, mengingat pria ini adalah temannya Dikta. Tapi, sekarang hanya dia yang ada ketika dirinya sedang dalam keadaan menyedihkan seperti ini. “Atau kita ke rumah sakit saja? Takutnya nanti malah makin bengkak.” Elang menoleh khawatir. “Tidak perlu! Sudah mendingan kok,” gelengnya. Dengan telaten Elang mengoles obat di pergelangan kaki Nara, lalu menempel koyo. Diam-diam Nara menatap lekat wajahnya yang sedang fokus menunduk. Entah akan semenyendihkan apa nasibnya tadi, kalau Elang tidak mengejarnya keluar. Tak banyak yang Nara tahu soal pria ini. Dia teman Dikta di Jerman. Bisa menduduki posisi wakil manajer IT di perusahaan farmasi terbesar seperti Linzone, jelas Elang tidak bisa dianggap remeh. Begitupun lingkar pertemanan dan keluarganya yang tidak kaleng-kaleng. Seperti Max dan Jingga, para pewaris konglomerat yang jelas tahtanya jauh di atas keluarga Dikta. “Sudah! Besok ke kantor jangan pakai sepatu hak tinggi dulu!” Elang menurunkan kaki Nara. “Terima kasih,” gumam Nara. “Sini!” Elang tiba-tiba merapat sampai Nara gelagapan. Matanya mengerjap saat pria itu menyingkirkan rambut yang menutupi dahi, juga menarik dagunya mendongak. “Lang …” “Aku obati sekalian luka di dahimu. Nanti bisa-bisa malah meninggalkan bekas!” ucapnya mengoles betadine sambil ditiup-tiup. Wangi parfum dari tubuh Elang merebak ke penciuman Nara. Saking tegang dia sampai diam tidak berani bergerak. Deru nafas Elang menerpa membawa panas di wajah Nara. Bagaimana dia tidak gugup, wajah mereka bahkan nyaris tak menyisakan jarak. “Na ….” “Hm …” “Apa setelah ini kamu akan tetap bersama Dikta?” tanya Elang melirik ke mata Nara yang juga sedang menatapnya. “Hm,” gumam Nara dengan anggukan pelannya. Tangan Elang seketika berhenti. Dia menunduk menatap mata Nara lekat. Entahlah, tapi seperti ada kecewa menguar di sana. “Secinta itu kamu ke dia? Sampai-sampai tak masalah punya pacar tak setia?” Menolak membahas urusan pribadinya, Nara menunduk mengalihkan tatapannya. Serius, dia tidak nyaman dengan posisi mereka yang sedekat ini. Capek banget menenangkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. Otaknya kacau, hatinya juga berdarah-darah karena ulah para bangsatt itu. Nara takut nanti malah tersesat oleh sikap manis dan perhatian pria ini. “Jawab!” Elang menarik dagunya hingga kembali mendongak. “Kamu sendiri yang bilang berteman harus tahu batas. Tidak ikut campur urusan pribadi. Jadi rasanya tidak etis kalau kamu tanya soal …” “Aku bukan temanmu dan tidak ingin jadi temanmu!” sahut Elang dengan tatapan tajamnya. Deg Jantung Nara seperti tertohok. Malu bukan main, juga salah tingkah tidak tahu harus bagaimana. Menelan ludah kasar, tanpa sadar Nara menggigit bibirnya yang gemetar. Iya, mereka kenal juga karena dia pacarnya Dikta. Nara melengos menghindar dari mata Elang yang membuatnya gemetaran. Sayangnya pria sinting ini menahan dagunya dan memaksanya tetap saling tatap. Wajah Nara panas seperti terbakar. Saking dekatnya, bahkan hembusan nafas mereka sampai terdengar jelas. “Lang ….” “Tinggalkan Dikta! Aku akan melindungimu, jika dia tidak terima dan berani macam-macam!” ucapnya. “Apa maksudmu?!” Nara mengernyit bingung, kenapa Elang berkata seperti itu. “Kamu ingin membalasnya, kan? Tinggalkan dia, jadilah kekasihku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD