Mana mungkin Nara tidak sakit hati, mendapati pria yang sudah bersamanya selama dua tahun lebih itu ternyata sama b******k dengan papanya. Kalau saja tadi dia tidak datang dan melihat sendiri kelakuan Dikta di belakangnya, entah sampai kapan dirinya akan dibodohi seperti ini. Dikta Wirayudha, CEO Apsara Jaya Group. Salah satu perusahaan properti terbesar. Mereka bisa kenal, gara-gara Nara tidak sengaja menyerempet mobilnya di parkiran supermarket.
Setengah tahun Dikta terus mencoba mendekati Nara. Tampan, punya jabatan mentereng, dan pewaris konglomerat Anjar Wirayudha, nyatanya tidak serta merta membuat gadis berperangai dingin itu kesengsem. Dia punya trauma sendiri dengan pengkhianatan papanya. Hal yang membuatnya enggan berurusan dengan laki-laki. Kegigihan dan sikap manis Dikta lah yang kemudian membuat Nara akhirnya luluh. Dua tahun lebih dia mengira hubungan mereka baik-baik saja, meski mama dan adik Dikta tidak menyukainya. Tapi, apa yang barusan dilihatnya seperti tamparan keras yang menyadarkan Nara, kalau dia telah salah menjatuhkan pilihan.
“Sialan!” Nara membanting ponselnya yang terus berdering.
Setelah ketahuan bermain api di belakangnya, hingga gaduh dengan si ani-ani dan Vina. Dikta justru menyuruh Elang mengantarnya pulang. Padahal dia tahu, kondisinya sedang terkilir dan tidak baik-baik saja. Lebih menyakitkan lagi, dia masih berani memberikan perhatian ke Gizel di depannya.
Elang yang menyetir hanya diam. Tidak mau ikut campur urusan mereka. Kalaupun tidak diminta Dikta, dia tetap akan menyusul keluar untuk memastikan keadaan Nara. Ganti ponselnya yang berdering. Karena Nara tidak mengangkat teleponnya, Dikta pun menghubunginya.
“Berhenti di depan situ! Aku bisa pulang sendiri!” ucap Nara setelah melirik ponsel Elang.
Menuruti apa mau Nara, Elang pun mulai menepikan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan. Tapi, dia menyambar tangan Nara yang hendak melepas sabuk pengamannya. Gadis itu mendelik kesal berusaha meronta.
“Lepas! Kamu turun!” geramnya melihat Elang meraih ponselnya yang tak berhenti berdering.
“Diam!” Elang membalas tatapan Nara, tanpa melepaskan cekalannya.
Nara makin melotot melihat Elang mengangkat telepon Dikta. Tapi, dia kemudian diam setelah Elang menunjukkan loudspeaker ponselnya dinyalakan.
“Halo …”
“Nara sama kamu, kan? Dia tidak mengangkat teleponku. Apakah dia masih marah? Bantu aku membujuknya, Lang! Bilang kalau tadi itu hanya salah paham. Aku dan Gizel benar-benar tidak punya hubungan apa-apa! Ya? Nanti setelah ini aku susul ke situ!” Dikta langsung nyerocos, tanpa tahu kalau orang yang dicarinya juga ikut mendengar.
Nara mendengus sinis. Menggeleng minta Elang untuk tidak memberitahu keberadaannya.
“Bagaimana aku membujuknya, sedang aku saja disuruh turun di tengah jalan?! Kamu sendiri tahu segalak apa pacarmu!” sahut Elang mengulum senyum melihat Nara menatapnya garang.
“Kenapa kamu biarkan dia menyetir sendiri?! Kakinya kan terkilir. Jalan saja pincang, malah kamu nurut disuruh turun!” omel Dikta khawatir.
“Sudah tertangkap basah mesra dengan ani-ani, kamu malah lebih mengkhawatirkan Gizel daripada pacarmu yang juga terluka. Kamu tidak mikir bagaimana perasaan Nara. Begonya lagi, kamu justru membiarkan dia pergi begitu saja dengan keadaan marah dan kaki terkilir. Sedang pacarnya pilih tetap di sana menemani ani-ani. Aku kalau jadi Nara juga tidak sudi mengangkat teleponmu!” Elang terang-terangan menyinggung kelakuan temannya yang memang sudah kelewat batas.
“Mama bisa ngamuk kalau aku meninggalkan Vina yang mabuk di tempat begini, hanya demi mengantar Nara pulang!” elak Dikta seperti pisau menyayat hati Nara.
Hanya demi?! Sekarang Nara paham, dirinya tak seberharga itu bagi Dikta. Vina memang adiknya. Tapi, bahkan Dikta sama sekali tak mengejarnya sekedar untuk membujuk, juga memastikan keadaannya yang pincang.
“Jadi kamu masih di situ?” tanya Elang menatap Nara lekat.
“Tidak, lagi di jalan mau mengantar Gizel pulang. Vina dijemput sopir tadi,” jawab Dikta enteng. Sama sekali tidak merasa apa yang dilakukannya itu salah.
Tangan Nara terkepal gemetar. Luar biasa sakitnya. Bagaimana bisa selama ini dia tidak menyadari, kalau pacarnya ternyata sebrengsek ini!
“Serius, Dik?! Kamu membiarkan pacarmu pulang sendiri, tapi sekarang malah mengantar ani-animu pulang! Mau kamu sebenarnya apa sih?!” Elang saja sampai ikutan kesal.
“Aku sama Gizel beneran tidak ada hubungan apa-apa, Lang. Berhenti menyebutnya ani-ani! Aku bersikap baik, karena dia temannya Vina dan brand ambassador ….”
“Panas! Lepasin bajuku! Kak Diktaaa ….”
Elang dan Nara tercengang mendengar ucapan Dikta yang terpotong, oleh suara desah manja perempuan di sana. Sambungan telepon langsung terputus. Nara menepis cekalan Elang. Melengos buang muka dengan helaan nafas kasarnya. Kalau dikira dia akan menangis, maka salah besar. Pantang air matanya menetes untuk pria bajiingan seperti Dikta.
“Nara …” panggil Elang khawatir.
“Kamu teman baiknya Dikta. Tidak mungkin tidak tahu, seperti apa watak dan kelakuan aslinya.” Nara menoleh membalas tatapan pria yang juga dikenalnya, setelah pacaran dengan Dikta itu. Elang baik, meski mereka jarang ngobrol kalau ketemu. Statusnya pun tidak main-main. Dia wakil manajer IT di Linzone. Perusahaan farmasi terbesar milik konglomerat Jonathan Lin.
“Dia memang biasa seperti itu, kan? Bukan hanya ke Gizel. Dikta aslinya memang playboy. Iya, kan?!” cecar Nara. Elang berteman dengan Dikta saat kuliah di Jerman. Jadi mustahil dia tidak tahu seperti apa watak aslinya.
Bukannya menjawab, Elang malah tertawa pelan melajukan lagi mobilnya.
“Jawab!” sungut Nara kesal malah dikacangin.
“Belum terlambat kalau kamu mau lepas dari dia. Hanya itu yang bisa aku katakan,” sahutnya fokus menatap jalanan yang padat merayap.
Nara terkekeh sinis. Lepas dari Dikta, tentu saja dia akan melakukannya. Tapi, ada harga yang harus pria sialan itu bayar sebelum Nara melepehnya. Dia tidak akan membiarkan para curut busuk di rumahnya itu menghinanya, karena apa yang selalu mereka katakan tentang hubungannya dengan Dikta ternyata benar adanya. Pria itu hanya ingin bermain-main dengannya, maka akan Nara ladeni sejauh mana Dikta menganggapnya bodoh.
“Keningmu kenapa bisa terluka?” tanya Elang setelah beberapa saat mereka saling diam.
“Kena lempar cangkir orang gila di rumahku,” jawab Nara menunduk meraih ponselnya yang tadi dia banting.
Elang menoleh dengan tatapan kaget, tapi tidak lanjut menanyakan soal itu. Paham, kalau Nara terluka karena ribut dengan keluarganya. Sedikit banyak dia tahu tentang gadis ini dari Dikta. Mamanya meninggal saat dia masih kecil, lalu papanya membawa pulang wanita simpanannya yang ternyata sudah punya anak tinggal di rumah mereka. Itu kenapa sampai sekarang Nara tidak akur dengan keluarganya. Hal yang membuat mama Dikta tidak menyukai Nara, karena keluarganya yang amburadul.
“Apakah Dikta sering janjian dengan Gizel? Yang tadi itu juga dia ke situ mencarinya, kan?” tanya Nara.
Elang mendecak pelan. Dijawab salah, tidak dijawab pasti Nara sewot lagi.
“Sering atau tidak mereka janjian ketemu, aku tidak tahu. Tapi, beberapa kali Dikta memang keluar makan sama dia. Yang tadi aku juga tidak tahu, karena aku datang belakangan,” jawabnya jujur.
“Kalau dengan yang lain? Sering?” Nara melirik Elang yang terkekeh.
“Jangan memintaku jadi pengkhianat!”
“Anggap saja kamu sedang menyelamatkanku dari mulut buaya darat!” sahut Nara memaksa.
Kali ini Elang tergelak. Percayalah, selama kenal juga baru kali ini mereka bicara sebanyak ini! Nara biasanya anteng. Cantik, tapi angkuh. Makanya Elang juga hanya mengajaknya bicara seperlunya saja.
“Tidak gratis! Apa imbalannya kalau aku menyelamatkanmu dari mulut buaya darat itu?” guraunya.
“Serius?! Soal begini kamu juga perhitungan?” Nara merengut kesal.
“Harus! Ada harga, ada info! Adil, kan?!” angguk Elang.
“Haish!” dengus Nara menunduk membisukan ponselnya yang lagi-lagi berdering oleh panggilan Dikta.
“Dikta mungkin memang benar-benar mencintaimu, tapi dia sering bermain api di belakangmu itu juga fakta. Kalau tidak, mana mungkin dia mengajakmu menikah!” ucap Elang.
Iya, Dikta memang pernah beberapa kali mengajak Nara menikah, meski sejauh ini hanya papanya yang mendukung hubungan mereka. Hanya saja Nara selalu menolak, dengan alasan belum siap berkomitmen dalam pernikahan. Itu tak lepas karena penolakan mama dan adik Dikta, juga dia sendiri masih ingin fokus dengan karirnya. Umurnya masih muda.
Dan lagi, Nara harus memperjuangkan saham juga aset peninggalan mamanya yang masih di tangan papanya. Lengah sedikit, para benalu serakah di rumahnya itu pasti akan merampas semua darinya. Sempat merasa bersalah ke Dikta, tapi sekarang Nara justru luar biasa bersyukur terselamatkan dari pria brengsekk itu. Bayangkan bagaimana nasibnya, kalau sampai menikah dengan pria doyan selingkuh seperti papanya! Pasti hidupnya akan berakhir mengenaskan seperti mendiang mamanya.
“Eh, kok ke sini?!” Nara menoleh kaget begitu Elang mengajaknya berbelok ke Mirror. Nigh club yang jauh lebih besar dari Blackout.
“Kalau tidak mau ke sini, aku tidak keberatan mengajakmu ke apartemenku. Mau?” sahut Elang setelah berhenti di parkiran.
“Nggak! Mending aku pulang saja!” geleng Nara tidak mau menerima kedua opsi dari Elang.
Dia tidak menyukai tempat berisik, tapi malah diajak ke situ. Tadi saja kalau tidak terpaksa karena penasaran ocehan Regan, dia juga tidak sudi masuk ke Blackout. Sekarang malah mau di ajak ke Mirror.
“Kamu kalau mau masuk, pergi saja sana! Aku bisa menyetir sendiri!” Nara bersiap turun untuk pindah ke belakang roda kemudi.
“Mau kemana? katanya tidak mau pulang?!” Elang kembali menyambar tangan Nara.
“Bukan urusanmu! Aku bukan anak kecil yang harus kamu khawatirkan!” sahutnya ketus.
“Nara ….”
“Lepas!” Nara berusaha menepis cekalan tangan Elang.
“Ini nightclub punya sepupuku, Nara. Coba cek saja kalau tidak percaya! Kita naik ke ruang kerjanya di lantai atas, untuk mengobati lukamu dulu. Bukan mau mengajakmu minum atau dugem! Nanti setelah ini terserah kamu mau pulang atau kemana, aku antar. Ok?!” jelas Elang serius.
Mata Nara mengerjap. Menatap Elang dan bangunan megah tiga lantai, dengan plang nama Mirror di depan mereka itu bergantian. Dia bingung mau ikut masuk atau pilih pergi? Sedang kondisinya memang tidak begitu memungkinkan untuk menyetir sendiri.
“Ya?” tanya Elang lagi.
“Hm,” angguk Nara tidak punya pilihan lain.
Elang turun dan berputar membuka pintu di samping Nara. Baru mau menggerakkan kakinya, Nara sudah meringis kesakitan. Tiba-tiba Elang menunduk membopong tubuhnya. Tangan Nara reflek memeluk leher pria itu, karena takut jatuh. Mau protes juga percuma.
Elang melangkah lebar menuju pintu masuk. Dua penjaga pintu mengangguk sopan menyapanya. Suara hingar bingar menyambut telinga Nara, begitu mereka masuk ke dalam. Benar saja, tempat ini jauh lebih megah dan besar dari Blackout. Elang membawa Nara ke lantai tiga. Suasana seketika anyep ketika mereka masuk ke salah satu ruangan di sana. Tapi, wajah Nara seketika panas, malu bukan main. Di dalam ruangan situ ada beberapa orang yang langsung menatap dengan muka cengo ke arah mereka. Satu di antaranya Nara pernah bertemu di rumah sakit, saat dia bersama Dikta dan Elang menjenguk teman mereka yang operasi.
“Bang Elang, jangan bilang kamu nikung pacar teman!” Aben, pria yang pernah bertemu mereka di rumah sakit itu melongo syok.