Blingsatan kaget, Dikta berusaha mendorong gadis di pangkuannya itu menyingkir. Melotot menatap kekasihnya yang berdiri dengan mata menguar marah. Jantungnya berdegup menggila serasa sedang ketahuan selingkuh. Sialnya lagi Gizel yang sudah setengah mabuk justru makin erat memeluk lehernya. Nemplok tidak mau lepas, bahkan keranjingan mengendus lehernya. Elang dan dua teman Dikta lainnya kicep, tidak berani menengahi. Pembelaan seperti apa yang harus mereka sampaikan, sementara teman mereka kegep dalam keadaan semesra itu dengan perempuan lain. Pantas saja kalau Nara meradang.
Mereka saja sampai risih melihat kelakuan Gizel yang seperti perempuan murahan. Dia memang dijuluki Queen Of Party. Seorang model yang akrab dengan kehidupan malam, juga berpenampilan sexy. Seperti sekarang Gizel mengenakan rok super mini, pamer kaki jenjang dan paha mulus. Mata Nara tidak belekan. Sangat jelas melihat tangan Dikta tadi nangkring mengelus di sana. Apalagi bagian atas hanya pakai tanktop kurang bahan. Bukan hanya mempertontonkan perut, tapi dua bongkahan dadanya nyaris menyembul keluar. Menempel lekat dan seperti sengaja digesekkan ke d**a Dikta. Menjijikkan!
“Nara, dengar dulu penjelasanku! Ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku tadi ditelpon Gizel. Katanya Vina minum banyak di sini, jadi aku terpaksa menyusul ….”
“Cium aku lagi!” Gadis itu menarik wajah Dikta membawanya menoleh, lalu meraup bibirnya.
Tangan Nara terkepal gemetar. Elang dan yang lain melongo syok. Dikta yang dicipok Gizel di depan pacarnya, tapi mereka ikut jantungan. Memang siapa yang tidak tahu semenakutkan apa Naraya. Bukan tipe menye-menye, over posesif, apalagi hobi nyerocos. Sebaliknya, Nara itu dingin. Cenderung tampak angkuh dan sekalinya mangap bikin orang kena mental.
Geram, darah Nara mendidih melihat pacarnya malah bengong. Cium aku lagi, katanya! Berarti itu bukan yang pertama mereka melakukannya. Nara jijik melihat bibir Dikta dilumat ganas oleh perempuan haus belaian itu.
“Apa-apaan kamu, Zel!” Dikta kembali mendorong tubuh Gizel sampai nyaris terjungkal, tapi seperti orang kesurupan dia kembali nemplok berusaha mencium lagi.
“Berhenti! Jangan gila, kamu! Gizeelll …” Dikta kewalahan melepas pelukan gadis yang sudah setengah mabuk itu.
Tidak tega melihat temannya mati kutu, Elang pun beranjak bangun mau membantu menyeret Gizel menyingkir. Baru juga dia berdiri, Nara sudah menyambar botol minuman di atas meja. Semua mata menatap tegang. Tadinya Elang kira Nara mau memukul kepala Gizel, tapi ternyata salah. Dia mendekat, lalu menumpahkan Whisky yang masih menyisakan setengah botol itu ke kepala Gizel. Gelagapan, perempuan sinting itu akhirnya berhenti dengan tingkah menjijikkannya.
“Arghh! Sialan!” jeritnya marah bukan main mengusap kepala dan sekujur tubuhnya yang basah kuyup. Menoleh, Gizel seketika menyeringai mendapati siapa yang berdiri di hadapannya.
Dikta mendorong kasar, tapi mana mungkin Gizel melewatkan kesempatan membuat Nara cemburu. Tangan kirinya merangkul leher Dikta. Sedang tangan kanannya menyelinap ke balik kemeja yang beberapa kancing atasnya memang dilepas. Menggerayangi d**a Dikta yang juga basah kuyup kena siram.
“Oh, kamu rupanya! Mengganggu saja!” ucapnya enteng.
“Jangan gila kamu, Zel!” bentak Dikta bangun, lalu menghempas tubuh Gizel ke sofa. Dia sendiri ikut terhuyung, karena tangan gadis itu mencengkram kemejanya. Dikta jatuh tengkurap tepat di atas tubuh Gizel.
“Haish!” Elang mendengus keras. Buru-buru menghampiri sahabatnya yang meronta didekap gadis gila itu. Kali ini Dikta benar-benar dalam masalah besar.
“Bodoh!” gumam Elang menarik Dikta berdiri.
Tanpa malu sedikitpun Gizel duduk menatap Dikta yang berbalik dan berusaha meraih tangan pacarnya, tapi ditepis kasar. Tersenyum puas, dia membalas tatapan membunuh Nara.
“Aku bisa jelaskan. Sumpah! Semua tidak seperti yang kamu bayangkan, Nara.” Dikta panik berusaha menjelaskan ke Nara. Sayangnya dia lupa, perempuan yang sudah dua tahun lebih dipacarinya itu bukan tipe mudah dibujuk.
“Menjelaskan apa? Menjelaskan kalau kamu tidak sengaja bertemu dia di sini? Ciuman itu bukan maumu, hanya ulah dia yang mabuk? Begitukah?!” cibir Nara sinis.
“Bukan!” Dikta menggeleng. Kembali maju hendak meraih tangan kekasihnya yang masih memegang botol kosong, tapi terhenti oleh tatapan menusuk penuh peringatan Nara.
“Tadi Gizel menelpon. Bilang Vina minum banyak di sini, jadi aku terpaksa datang mau menjemputnya pulang. Son, buruan cari Vina!” Dikta melotot panik ke temannya.
Salah satu dari mereka bergegas pergi ke arah kerumunan pengunjung yang sedang berjoget di depan sana. Elang mundur kembali duduk ke tempatnya. Ogah ikut campur urusan mereka.
“Tolong jangan salah paham, Ra! Tadinya aku mau langsung pulang, tapi Vina malah kabur ke kerumunan depan sana. Makanya aku menunggunya di sini. Tanya saja ke Elang kalau tidak percaya!” Dikta malah melempar bola panas ke Elang.
“Hm,” angguk Elang asal. Bibirnya berkedut mendapat tatapan geram Nara.
“Bohong! Dia sengaja datang membujukku memperpanjang kontrak sebagai brand ambassador perusahaannya, karena tahu ada tawaran lain yang sedang aku pertimbangkan!” sahut Gizel bangun sempoyongan, lalu merangkul lengan Dikta.
“Jangan coba-coba mengacaukan hubungan kami, Zel! Kalaupun kamu tidak mau memperpanjang kontrak, aku juga tidak masalah!” Dikta menghempas tangan Gizel.
“Tanpa aku kacaukan pun, hubungan kalian memang sudah kacau! Tante Yolanda dan Vina tidak menyukai perempuan ini. Makanya kamu juga tidak pernah mengajaknya datang ke rumah. Bukankah begitu?!” Gadis itu terkekeh mencemooh Nara.
“Gizel!” bentak Dikta emosi.
Nara membanting botol di tangannya ke lantai, nyaris mengenai kaki Gizel hingga dia menjerit ketakutan. Semua terperangah. Apalagi mendapati betis Gizel berdarah kena pecahan kaca. Vina, adik perempuan Dikta yang diseret datang seketika melotot marah.
“Apa-apaan kamu, sialan?!” pekiknya mendorong Nara kasar, sampai terjengkang ke belakang.
Dikta kaget berusaha menyambarnya, tapi Gizel malah menghambur sengaja menghalanginya. Tubuh Nara oleng. Kakinya terkilir saat berusaha mencari keseimbangan, sebelum kemudian terhempas jatuh di pangkuan Elang. Buru-buru Nara berusaha bangun, namun dia meringis merasakan kaki kirinya berdenyut nyeri. Bokongnya kembali jatuh ke pangkuan Elang yang meringis dua kali ketiban pacar temannya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Elang melihat Nara mendesis menahan sakit.
“Maaf,” gumam Nara berusaha bangun. Dikta mendorong Gizel menyingkir, lalu menghampiri Nara membantunya berdiri.
“Nara …”
“Urus adikmu! Aku sedang tidak mood meladeni mulut kurang ajarnya. Jangan sampai aku kelepasan tangan menamparnya!” geram Nara menepis kasar gandengan tangan Dikta.
“Kaki Gizel berdarah, Bang!” Vina menuntun sahabatnya itu duduk, lalu menyambar tisu mengelap darah yang mengalir dari luka di betis Gizel.
“Sebentar!” Dikta minta Nara menunggu, sementara dia malah mendekat memeriksa luka Gizel.
Nara berdiri mematung, menonton bagaimana pacarnya mengambil lagi tisu membersihkan darah di kaki gadis itu. Dengan hati-hati membebat pakai dasi yang diambil dari sakunya. Sementara Gizel terang-terangan menyeringai mengejek. Seolah menertawakan Nara yang dianggap tidak lebih penting dari dirinya.
“Kamu sengaja melukai Gizel, kan?! Bagaimana dia mau kerja, kalau kakinya terluka seperti itu, haa?!” Vina berdiri. Mendorong bahu Nara kasar dan mulai menghardiknya.
“Sudah! Jangan bikin ribut lagi, Vin!” bentak Dikta menarik adiknya mundur. Khawatir kena gampar kalau terus menyulut emosi Nara.
“Hm, aku sengaja!” angguk Nara mati-matian menahan nyeri di kaki kirinya.
“Harusnya tadi botolnya bukan aku banting ke lantai, tapi aku hantamkan ke kepalanya. Biar sadar, semenjijikkan apa kelakuannya yang murahan selalu mengejar pacar orang!” Nara membalas tatapan arogan adik Dikta. Selama pacaran, Vina lah yang paling frontal menunjukkan rasa tidak sukanya. Terang-terangan berusaha menjodohkan kakaknya dengan sahabatnya, yang ternyata sejak dulu tergila-gila ke Dikta.
“Mulut sialan!” teriak Vina tidak terima.
“Diam, kamu!” Dikta menarik tangan adiknya yang terangkat mau menampar.
Nara menyambar gelas yang baru saja dituang minuman oleh Elang, lalu meneguknya. Dikta berusaha menghentikan kelakuan gila pacarnya, tapi yang terjadi malah Nara menyiramkan sisa minuman ke mukanya.
“Heiii, kurang ajar!” Vina menghambur maju setelah melihat abangnya diperlakukan seenak jidat.
Satu tamparan keras menghantam wajah Vina. Seketika gadis itu berdiri melotot. Syok, tidak menyangka Nara berani menamparnya. Sementara Dikta mendengus keras. Pusing bagaimana menghentikan kegaduhan di sana. Dia tidak marah kena siram minuman, karena tahu Nara pasti cemburu ke Gisel. Apalagi ketambahan Vina yang malah cari gara-gara.
“Selama ini aku diam membiarkan mulut sialanmu terus mengoceh, bukan karena takut. Tapi, malu meladeni bocah manja sepertimu. Sayangnya didiamkan kamu makin keranjingan. Kakakmu yang mengejarku duluan. Kalau kamu dan mamamu tidak suka, suruh dia putus dariku. Minta dia menikahi sahabatmu yang ani-ani itu! Bukan malah merecokiku dengan ocehan sampahmu. Paham!” ucap Nara, sebelum kemudian melangkah pergi.
“Sialan! Beraninya kamu menamparku!” jerit Vina seperti orang kesurupan mau membalas ke pacar kakaknya, tapi Dikta lebih dulu menariknya mundur.
Malu jadi bahan tontonan, Nara dengan terpincang melangkah pergi dari sana. Dikta kebingungan. Mau mengejar pacarnya, tapi adiknya seperti banteng kesurupan.
“Naraaa …” teriak tak digubris. Nara bahkan pergi tanpa menoleh lagi.
Dia meringis menahan sakit di pergelangan kaki kirinya. Beberapa kali terhuyung hampir jatuh, kena tabrak orang mabuk yang berseliweran. Benar-benar sial! Dia tidak tahu, kenapa semua orang selalu berusaha menyakitinya. Hidupnya dikelilingi para manusia b*****h.
Sampai di luar Nara tertatih menuju ke mobilnya. Kepalanya berdenyut pusing. Perutnya perih bukan main, karena seharian tidak terisi makanan dan malah meneguk minuman. Mendesis dia melangkah ke mobilnya. Emosinya makin meluap, ketika kunci mobilnya jatuh saat diambil dari dalam tas.
“Sialan!” jeritnya kesal.
Dia baru mau menunduk meraihnya, ketika seseorang lebih dulu mengambil kuncinya. Nara mendengus begitu mendapati Elang berdiri di hadapannya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya pria itu dengan tatapan iba.
“Apa pedulimu?!” Nara hendak menyambar kuncinya, tapi dengan kurang ajar Elang malah memasukkan ke saku celananya.
“Dikta memintaku mengantarmu pulang. Adiknya masih mengamuk. Tidak bisa ditinggal!” jelasnya.
“Aku bisa pulang sendiri! Tidak butuh bantuanmu!” Nara menengadahkan tangan, minta kuncinya dikembalikan.
“Dengan kaki pincang, emosi, dan barusan juga minum?!” Mata Elang menatap luka di kening Nara.
Tadi di dalam dia kira salah lihat. Ternyata Nara memang datang dengan kening terluka. Menghela nafas panjang dia merogoh kunci dari saku, lalu meraih lengan Nara yang masih mendelik garang menagih kuncinya.
“Jangan keras kepala! Urusanmu dengan mereka. Aku hanya mau memastikan kamu pulang dengan selamat!”
“Aku tidak butuh …”
Nara nyaris terpekik ketika Elang menyambar tubuhnya, lalu dibopong ke arah mobilnya. Nafasnya terengah. Berusaha meronta, tapi kakinya semakin berdenyut sakit.
“Dimana alamat rumahmu?” tanya Elang masa bodoh dengan mata membunuh Nara..
“Aku tidak mau pulang!” geramnya.
“OK! Kalau begitu ikut aku!” angguk Elang membuat Nara menoleh kaget.