“Minggat kemana kamu, sekarang baru pulang?! Pergi seenaknya dari kantor tanpa pamit!”
Baru selangkah menginjakkan kaki di rumah, Nara disambut bentakan kasar papanya. Wajah-wajah sinis mereka yang katanya adalah keluarga, tampak menatap jengah ke arahnya. Kalau bukan karena mempertahankan warisan mamanya dari para benalu tidak tahu diri ini, mana sudi Nara tinggal seatap dengan mereka.
Melangkah masuk dengan tenang, Nara berdiri di hadapan papanya yang mendelik marah. Sementara mama tiri dan anak gadisnya tampak menyeringai senang, menikmati gaduh yang memang selalu mereka tunggu. Di umur dua belas tahun Nara ditinggal mati mamanya. Air matanya belum kering, tapi papanya sudah membawa pulang perempuan dengan perut buncit dan seorang bocah laki-laki sepantaran dengannya. Luar biasa, kan! Rizal Bawasra, pria paling tidak tahu malu itu adalah papanya.
“Dari makam perempuan yang hartanya kalian nikmati selama ini. Aku bukan orang tidak tahu terima kasih seperti kalian. Setidaknya biarpun cuma setahun sekali, masih ingat untuk mengunjungi kuburannya. Lupa, hari ini peringatan kematian istri kayamu itu!” Nara membalas tatapan papanya yang seketika kicep.
“Ah … bukan lupa, tapi memang tidak pernah ingat! Jangankan datang menjenguk. Tanah kuburan mamaku masih basah, papaku sudah membawa gundik simpanannya ke rumah,” cibir Nara melirik puas ke ibu tirinya yang meradang.
“Naraya!” bentak Rizal Baswara tidak suka anaknya mulai lagi mengungkit soal itu.
“Kurang ajar! Siapa yang kamu bilang gundik simpanan, ha?!” Karina, ibu tiri Nara berdiri melotot dengan tangan menuding.
“Memangnya di sini ada gundik selain kamu?!” sahut Nara setelah tolah-toleh, seperti mencari keberadaan orang lain di ruang tamu situ.
“Jaga mulutmu! Aku bukan gundik simpanan. Papamu sudah menikahiku, bahkan sebelum kamu lahir! Jadi jangan pernah lagi menganggapku wanita simpanan, apalagi menyebut Regan anak haram. Paham!” teriak Karina meledak-ledak.
Bagaimana mungkin dia tidak emosi, kalau mulut anak tirinya ini selalu menyebutnya gundik simpanan. Bahkan, dengan kakaknya juga tidak pernah akur. Menghina Regan anak haram, hanya karena suaminya baru menunjukkan keberadaan mereka setelah istri tuanya mati.
“Tidak ada wanita baik-baik yang mau ke suami orang. Kalau bukan karena harta keluarga mamaku, mana sudi kamu dijadikan simpanan papaku. Kalian semua sama saja, benalu!”
“Keterlaluan!” teriak Rizal Baswara melempar cangkir tehnya hingga menghantam kening Nara.
Suara cangkir pecah terdengar keras di sana. Rizal berdiri mematung melihat kening anaknya yang berdarah. Karina dan anak perempuan mengulum senyum. Puas rasa sakit hatinya langsung terbayar kontan.
“Makanya punya mulut jangan asal mangap! Ibumu sudah puluhan tahun mati. Sudah jadi tanah! Buat apa selalu menuntut kami untuk mengingatnya?! Kalaupun dulu yang kaya memang keluarga dia, papa adalah pewaris sahnya. Enak saja bilang kita benalu!” sungut Icha, adik perempuan Nara beda ibu yang blas tidak punya tata krama itu.
Mata Nara membalas tatap tajam papanya. Sama sekali tidak ada ringis kesakitan, justru terkekeh sinis mengusap darah di keningnya. Moodnya sedang berantakan setelah menghabiskan waktu di makam mamanya. Sekarang pulang ke rumah diperlakukan begini oleh orang-orang tidak tahu tahu malu ini.
“Kasihan mama, mati ngenes gara-gara salah pilih suami. Jangan kira aku tidak tahu, kenapa mama bisa sampai stroke dan kemudian meninggal. Telingaku tidak tuli untuk mendengar pertengkaran kalian. Sebelum mama kolaps, dia pernah berniat menggugat cerai papa. Bahkan, sudah bicara dengan pengacaranya. Kok bisa begitu kebetulan, mama tiba-tiba ditemukan jatuh di kamar mandi?! Jangan-jangan …”
“Tutup mulutmu! Cukup, Nara! Mau sampai kapan kamu memusuhi kami, hanya karena tuduhan ngawurmu itu! Iya, Papa salah karena menikah lagi dengan Karina tanpa sepengetahuan mamamu. Tapi, kematian mamamu tidak ada hubungannya denganku. Papa tidak segila itu sampai membunuh istri sendiri!” seru Rizal menghentikan ocehan ngelantur anaknya.
“Lama-lama dia memang kayak orang sinting, Pa. Bukan cuma di rumah, di kantor kan juga hobinya ngamuk nggak jelas gitu! Pecat saja, daripada bikin gaduh. Pantas Bang Dikta ogah ngajak serius. Paling sebentar lagi juga dilepeh. Mana sudi keluarga Wirayudha punya menantu tidak punya etika begini!” cemooh Icha bertopang dagu pamer senyum mengejeknya.
Naraya mendengus keras. Menyambar tisu di atas meja, dia kemudian duduk mengelap keningnya yang berdenyut nyeri.
“Memecatku?!” Dia tertawa menatap papanya mengejek. Ini bahkan ide paling menggelikan. Lihat saja papanya yang bungkam melengos, mendengar usul anak bungsu kesayangannya barusan.
“Xabiru Company tanpa Naraya Anjani, tidak akan sebesar sekarang! Otak goblokmu itu mana paham, aku adalah desainer utama perhiasan yang Xabiru produksi. Uang yang kalian buat untuk foya-foya, itu hasil dari tangan orang yang kamu bilang sinting ini!” Nara pongah memarkan jari-jari lentiknya.
“Cih, kepedean! Desainer perhiasan bukan cuma kamu! Banyak yang jauh lebih hebat. Dikira tanpa kamu, Xabiru bakal bangkrut gitu?! Regan juga bisa …”
“Bisa berkhayal akan jadi pewaris Xabiru Company! Tanya ke suamimu, becus apa anak tidak berguna kalian itu di kantor!” sahut Nara tertawa mendengar ibu tirinya yang selalu bangga dengan anak haramnya itu.
“Papa bilang cukup, Nara!” geram Rizal menghela nafas kasar.
“Tentu saja belum cukup!” Nara menoleh marah ke papanya.
Makin kesini keserakahan mereka makin membuatnya muak. Sudah numpang hidup dan seenak jidat menghamburkan harta peninggalan mamanya, sekarang papa dan ibu tirinya mulai ngotot mau menjadikan Regan Baswara sebagai calon pewaris kursi pimpinan. Untung saja saham di tangan papanya tidak bisa diutak-atik. Kalau tidak pasti sudah mereka rebut darinya. Tunggu satu bulan lagi, secara hukum semua akan beralih atas namanya.
“Anak dan istrimu yang bisanya hanya menghamburkan uangku ini harus paham. Selama ini aku yang pontang-panting, membawa Xabiru hingga bisa di titik sekarang! Sedang anak laki-laki kebanggaan kalian itu, cuma sampah tidak berguna di kantor! Lebih menggelikan lagi, kalian ngotot mau menjadikan dia calon pimpinan! Situ waras?!” seru Nara menatap muka merah padam mereka bertiga.
“Kamu cukup fokus dengan tugasmu, Nara! Urusan memimpin perusahaan, kakakmu jauh lebih sanggup. Jangan maruk semua mau kamu urus sendiri. Papa juga tidak asal mengambil keputusan. Regan lebih tegas dan punya relasi luas untuk memimpin perusahaan!” Rizal Baswara sampai pusing setiap kali mengajak bicara anaknya, karena selalu berakhir dengan pertengkaran.
“Dasar serakah!” dengus Icha juga tidak terima, semua mau dikuasai sendiri oleh Nara.
“Pokoknya aku tidak mau tahu! Regan harus yang menjadi pengganti papamu memimpin Xabiru nantinya. Dia sudah terlalu banyak mengalah kamu sepelekan di kantor. Atau kalau kamu tidak mau menyerahkan kursi pimpinan, juga tidak apa. Asal saham yang akan berpindah ke tanganmu, dibagi tiga secara adil dengan Regan dan Icha!” tuntut Karina, malah makin keranjingan berani minta saham milik Naraya.
Tawa Nara seketika pecah. Akhirnya keceplosan juga apa yang di otak mereka selama ini. Rizal Baswara bungkam, tidak ikut menimpali tuntutan istrinya. Saham mendiang istrinya memang berada di tangannya. Tapi, mana Rizal sangka kalau ternyata sebelum mati Soraya Anjani, mama Nara sudah membuat wasiat. Empat puluh lima persen saham Xabiru Company beserta beberapa aset lainnya, akan berpindah jadi milik Naraya saat usianya genap dua puluh lima tahun. Itu akan terjadi dua bulan mendatang, tepat saat Naraya ulang tahun.
Itu kenapa Rizal dan istri keduanya mulai blingsatan putar otak, supaya tidak dikuasai Nara semua. Terutama saham perusahaan. Hubungan mereka tidak pernah akur. Nara bahkan sangat membenci mereka. Bayangkan apa yang akan terjadi, setelah Nara menguasai semua! Siap-siap mereka ditendang dari rumah itu, juga akses keuangan diblokir.
“Kamu ngelindur minta bagian saham untuk kedua anakmu?! Semua yang kalian nikmati selama ini, itu warisan mamaku. Bukan harta suamimu! Dia bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa, saat menikah dengan mamaku. Bisa-bisanya kamu ngelunjak menuntut pembagian saham, untuk dua anak pelakor yang sudah membuat mamaku mati ngenes!” Nara langsung mendelik ke papanya yang hendak memakinya.
“Jangan macam-macam, Pa! Sabarku juga ada batasnya. Sudah puluhan tahun aku menelan rasa sakitku. Membiarkan Papa membawa tiga benalu ini tinggal di sini dan berbuat seenaknya. Malah menganggapku duri bagi kebahagiaan kalian. Kalau punya otak harusnya mikir, kalian berempat yang menumpang hidup di sini!” seru Naraya benar-benar emosi.
Setiap peringatan kematian mamanya, dia selalu mendatangi makamnya dan berdiam lama di sana. Bercerita banyak tentang luka dan beban beratnya. Nara sudah terlalu lelah hidup di tengah para manusia egois dan serakah seperti mereka.
“Yang tidak punya otak itu kamu! Katakanlah warisan itu memang peninggalan mamamu. Tapi, apa pantas seorang anak bicara kasar dan memperlakukan papanya seperti itu?! Selama puluhan tahun papamu yang banting tulang mengurus perusahaan. Begitupun Regan punya andil di Xabiru. Jadi sudah seharusnya saham dan seluruh aset pun dibagi rata. Bukan mentang-mentang ada surat wasiat mamamu, lalu seenaknya semua mau kamu rampas dari kami! Aku tidak akan tinggal diam hak anak-anakku kamu tilep!” Karina selalu jadi yang paling berapi-api, setiap kali membahas soal saham dan warisan.
Mengangguk dengan senyum gelinya, Naraya beranjak bangun dari duduknya. Lebih lama di situ debat dengan benalu gila harta, dia beneran bisa ketularan sinting. Harusnya tadi dia menerima ajakan Dikta untuk makan malam di luar.
“Minta saja warisan ke bapak anakmu, toh aku juga tidak ngarep harta punya papa. Tapi, jangan harap kalian bisa mengusik harta peninggalan mamaku! Aku juga tidak akan tinggal diam. Ingat itu!” balas Nara, sebelum beranjak pergi.
“Mau kemana lagi kamu, Nara?” seru Rizal melihat anaknya malah mau keluar lagi.
Tidak menggubris teriakan papanya, Nara terus melangkah keluar. Kepalanya yang pusing makin berdenyut nyeri kena lempar cangkir, juga mendengar ocehan para benalu sialan itu. Baru mau membuka pintu mobil, satu lagi anak hama mereka datang. Siapa lagi kalau bukan Regan Baswara. Anak laki-laki kesayangan mereka, yang oleh papanya ngotot mau dijadikan pengganti memimpin Xabiru Company.
“Tadinya aku kira Icha hanya ngelantur, setiap kali bilang kamu bakal dilepeh Dipta. Ternyata memang benar juga! Tampan dan pewaris Apsara Jaya Group. Mana betah pacaran dengan perempuan bermulut petasan dan gila kerja sepertimu. Aku paham sekarang, kenapa Dikta lempeng tidak ingin buru-buru menikahimu. Karena dia memang tidak niat!” oceh Rega dengan senyum remehnya.
Nara hanya menatap datar, lalu membuka pintu mobilnya. Sebusuk inilah mulut mereka yang selalu sengaja mengusik moodnya.
“Apa kamu habis makan bangkai tikus? Mulutmu bau busuk!” ucap Nara naik ke belakang kemudi mobilnya.
“Sialan! Kalau tidak percaya, datang saja ke Blackout!” seru Regan masih bisa Nara dengar, sebelum membanting pintu mobilnya.
Sepertinya nasib baik memang enggan berpihak ke Nara. Setelah melewati hari menyedihkan di makam mamanya, dia pulang berharap bisa istirahat di kamarnya. Tidak tahunya sampai rumah justru disambut para curut sialan itu. Yang tadinya Nara tidak sudi percaya ocehan Regan, akhirnya benar-benar pergi ke Blackout setelah Dikta tidak mengangkat teleponnya.
Nara merasa gila saat berdiri di tengah hingar bingar nightclub di sana. Enggan berdesakan di lantai dasar yang pengunjungnya berjubel, dia pun naik ke lantai dua. Dari sana Nara bisa leluasa melihat suasana di bawah. Dia baru saja duduk di meja yang telah dibayarnya, ketika matanya benar-benar mendapati pria itu di sana. Bibir gemetar Nara menyeringai sinis. Dia tahu betul siapa gadis yang datang dengan sempoyongan, lalu duduk di pangkuan Dikta memeluk leher pacarnya itu.
Tanpa buang waktu Nara langsung turun menghampiri mereka. Tangannya masih memegang gelas minuman yang baru diantar ke mejanya tadi. Dia bukan perempuan lemah yang akan menangis, memergoki pacarnya dipepet foto model spec ani-ani kayak Gizel. Lihat saja semenjijikkan apa gadis itu nemplok di leher Dikta.
“Nara!” seru Elang, sahabat Dikta yang lebih dulu menyadari kehadirannya.
Dikta langsung menoleh. Mukanya seketika terperangah kaget, tapi terlambat. Tanpa mengatakan apapun, Nara mengguyurkan minuman ke muka pacarnya dan jalang sialan di pangkuannya itu.