Bab 9. Para Sepupu Elang

1696 Words
Elang datang sedikit telat. Karena nanti mau mengajak Nara sekalian menjenguk keponakannya, jadi dia mampir sebentar beli kado bayi. Gadis itu sudah menunggunya di lobi ketika dia sampai sana. Elang tentu saja sudah pernah beberapa kali pacaran, tapi lucu dengan Nara rasanya seperti sedang mabuk kepayang. Bagaimana dia tidak hampir sinting coba! Mencintai dalam diam selama dua tahun, lalu tiba-tiba saja Nara mengatakan yes i do jadi pacarnya. Meski dia tahu, semalam gadis itu melakukannya karena tersulut melihat Dikta selingkuh. Kasarnya, dia hanya dijadikan pelampiasan. Tapi tak apa, karena Elang yakin tidak butuh waktu lama dia bisa membuat Nara membalas cintanya. “Kok ada hampers bayi?” tanya Nara mendapati kado di belakang. “Nanti sekalian mampir jenguk keponakanku, ya? Kemarin dia baru melahirkan!” ajak Elang mengagetkan Nara yang seketika menoleh gusar. “Keponakanmu? Adikmu bukannya belum nikah?” “Sepupuku. Thea anaknya Tante Sifa yang punya rumah sakit. Tidak apa-apa kan aku ajak mampir sebentar? Mereka ramah kok!” jawab Elang menoleh ke Nara yang seperti masih ragu. “Tapi …” “Sekalian aku mau kenalin pacarku ke mereka!” sahut Elang makin membuat Nara blingsatan malu. “Lang …” rajuknya sampai Elang tertawa gemas. “Kan bener kita pacaran?! Di depan orang lain tak masalah kamu tidak mengakuiku pacar. Tapi … di hadapan para sepupuku, kamu adalah ayangku. No debat!” tegas Elang menengadahkan tangannya. Nara memberikan tangannya untuk Elang genggam. Iya, memang tidak adil kalau dia terlalu banyak menuntut. “Mau kan ketemu mereka?” tanya Elang lagi dengan remasan lembutnya. “Kalau gitu antar beli kado dulu! Malu, masa datang jenguk keponakan tidak bawa apa-apa!” lontar Nara sampai panas dingin tangannya di bawa nangkring di paha Elang. “Hampers di belakang kan buat kamu! Aku, adik, dan orang tuaku tadi pagi sudah ke sana kok!” sahut Elang tersenyum lebar kesayangannya mau nurut. Medical Centre sudah di depan sana. Ke dokter juga tidak perlu ngantri. Tadi Elang sudah minta tolong tantenya, supaya Nara bisa berobat tanpa harus nunggu lama. “Na …” “Hm …” Nara yang menunduk membuka chat dari sekretarisnya pun menoleh. Mau balas pesan juga susah, tangannya yang satu masih digenggam oleh Elang. “Aku tahu kamu belum cinta sama aku. Tidak apa, biar aku yang akan membuatmu jatuh cinta padaku!” ucap Elang ketika mobilnya berhenti di lampu merah. Nara hanya tersenyum. Perasaannya masih morat-marit tidak karuan. Kalau saja bukan demi balas dendam ke mereka, pasti semalam langsung dia labrak, tampar, dan putuskan Dikta saat ketahuan selingkuh dengan Gizel juga jalang satunya. Sayangnya dia harus menelan sakit hatinya dulu. Bersabar pura-pura bodoh, menghadapi Dikta yang sok bucin padahal brengseknya menjijikkan. “Kalau kamu sanggup memberikan hati dan kesetiaanmu, maka aku pastikan tidak akan melepas genggaman tanganmu!” Nara mengedikkan dagu ke genggaman mereka. “Serius?” Elang menatapnya berbinar. Cinta yang bahkan baru Nara sadari menyala hangat di mata pria ini. “Hm,” angguk Nara. “Aku sangat membenci pengkhianat seperti papaku. Jadi ingat baik-baik, tidak ada kata maaf kalau kamu sampai berani selingkuh!” tegas Nara. “Tidak akan! Dua tahun aku rela ngenes nungguin pacar orang. Mana mungkin setelah di pelukan, malah aku sia-siakan! Bahagia yang tidak pernah kamu dapatkan di rumah itu, akan aku berikan berkali lipat setelah ini! Cinta, setia, sahabat, dan keluarga. Aku pastikan semua akan kamu dapatkan dariku!” Elang mencium tangan Nara. Mata Nara memburam panas. Dia bahkan tidak berharap banyak, selain ketulusannya bisa dibalas dengan setia. Tidak berlebihan, bukan?! Tapi, nyatanya Dikta sama saja brengsekk dengan papanya. Sejak awal hubungan mereka sudah banyak batu sandungan. Itu kenapa Nara sendiri cenderung tidak yakin menjalaninya. Hal yang jadi alasan dia menolak ajakan nikah Dikta. Ternyata instingnya tidak meleset. Biarpun sakit hati, tapi dia bersyukur terselamatkan dari pria bajiingan itu. Anggaplah dia gila, tanpa pikir panjang langsung menerima ajakan Elang. Jujur, Nara tadinya memang hanya ingin balas dendam. Seperti kata Elang, Dikta pasti akan mengamuk kalau tahu dia selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Tapi, kalau bukan Elang dia juga tidak akan sudi. Biarlah sekali ini saja, dia kembali mencoba mempertaruhkan hatinya. Setidaknya Elang bukan orang baru di hidupnya. Mengabaikan ponselnya yang terus berdering oleh panggilan dari Dikta, Nara melangkah terseok dirangkul Elang masuk ruang ruang praktek dokter. Dia tahu kok kenapa suster langsung mempersilahkan mereka tanpa harus repot-repot ngantri. Di dalam Elang malah yang paling serius mendengarkan apa kata dokter. “Kita langsung naik saja ke lantai atas! Obatnya nanti diantar ke kamar rawat sepupuku!” ajak Elang setelah mereka keluar dari ruang dokter. Hampers juga sudah sekalian dia bawa turun dari mobil tadi. “Lang …” “Hm …” “Yang semalam ketemu kita di Mirror juga ada di atas?” tanya Nara yang pasti malu, kalau sampai mereka tahu hubungan rumitnya dengan Elang dan juga Dikta. “Mau aku kasih tahu?” bisik Elang menarik pinggang Nara merapat, karena lift yang mereka naiki agak berdesakan. Lagi-lagi Nara dibuat tersengal saat berada di pelukan Elang. Tubuh mereka yang menempel, membuatnya gerah tidak karuan. Apalagi hembusan nafas yang menerpa telinganya. Nara sampai bergidik merinding. “Apa?” gumamnya lirih. “Papaku sudah tahu aku selingkuh sama pacar orang!” bisik Elang lagi, tapi kali ini benar-benar mengejutkan Nara. Sontak Nara menoleh. Hal fatal yang justru membuat jantungnya nyaris mencelat keluar, karena bibir mereka berserempetan. Keduanya saling tatap. Mengerjap canggung, sebelum kemudian Nara melengos salah tingkah. “Sinting!” gumamnya malu setengah mati. Lift berhenti di lantai enam. Elang merangkul Nara keluar. Tempat ini mengingatkan mereka saat bulan kemarin datang bertiga bersama Dikta menjenguk Emir. Mana disangka sekarang keduanya kembali ke situ, dengan statusnya yang dari teman jadi selingkuhan. Konyol! “Ini serius, tidak apa-apa aku ikutan kamu masuk? Takutnya justru mereka nggak nyaman kedatangan tamu yang tidak kenal.” Nara berdiri ragu di depan pintu. Elang mana paham, kalau sebenarnya dia minder. Lingkar keluarga mereka merupakan para konglomerat besar pemilik bisnis raksasa. Mama dan adik Dikta boleh saja sombong, tapi keluarga Wirayudha jelas bukan apa-apa dibanding mereka. “Santai saja! Nanti kamu juga tahu, mereka orangnya baik dan ramah. Ayo, masuk!” Setelah mengetuk, Elang membuka pintu merangkul Nara masuk. Suara obrolan dan derai tawa di dalam seketika berganti senyap. Semua mata tertuju ke mereka. Nara sampai canggung. Bingung bagaimana harus menyapa, karena tidak satupun yang dia kenal. Sebentar! Kecuali Ruth. Gadis tengil bertato yang kata Elang tukang pukulnya Mirror. Entah benar atau sekedar bercanda. “Bang Pagar! Wuihhh, langsung go public bawa ayangnya!” seru Ruth cengengesan. Mulutnya persis Aben. Celometan asal nyinyir. Tidak ambil pusing, Elang merangkul Nara mendekati sepupunya yang sedang duduk di sofa memangku bayinya. “Kenalkan ini Nara, pacarku!” ucap Elang langsung disambut sorak girang mereka. Bagaimana tidak heboh, kalau baru sekali ini Elang mengenalkan ayangnya. “Kalau dikenalin ke kita, yakin pasti ngebet mau minta kawin!” ucap pria ganteng di samping Thea, sepupu Elang yang baru melahirkan itu. “Na … ini Gala, suaminya Thea. Dia saudaranya Jingga dan juga Biru yang itu!” Elang menunjuk ke salah satu pria di dekatnya. Mereka ini para cucu konglomerat Jonathan Lin. “Saya, Naraya!” angguk Nara sopan meski mereka semua seumuran. “Senangnya akhirnya bisa ketemu dan kenal sama pacarnya Bang Elang. Kaki Kak Nara sakit?” tanya Thea menatap kaki Nara yang bengkak. “Terkilir, tadi barusan lihat dokter di bawah.” Sambil meringis Nara beringsut mundur, menyandarkan punggungnya. “Sakit? Luruskan dulu kakinya!” Elang menunduk melepas sepatu Nara, biar lebih nyaman. “Aku bisa sendiri!” ucap Nara sungkan diliatin mereka. “Mau kompres dingin? Di kulkas ada kok!” tawar Ruth. “Boleh,” angguk Elang. Mereka masih saling lempar pandang sambil mengulum senyum. Sumpah, masih belum percaya Elang ternyata juga sebucin itu. Pantas saja rela jomblo nungguin pacar temannya. Ternyata memang secantik itu. Ruth datang memberikan kompres dingin. Elang meletakkan di kaki kiri Nara. “Sini Bima biar aku gendong!” Elang bangun mengambil keponakannya yang sedang tertidur pulas itu mendekat ke Nara. “Ganteng, kan?” pamer Elang menunjukkan bayi mungil itu. “Banget,” angguk Nara tersenyum lebar. Dia sangat menyukai anak kecil. “Mau gendong?” “Boleh?” Nara mendongak menatap yang punya anak, Gala dan Thea. “Tentu saja!” angguk mereka. “Yuk, Tante Nara gendong! Gantengnya!” Nara memeluk cucu yang punya rumah sakit situ. Salut dengan persaudaraan mereka yang solit. Padahal sebenarnya tidak semua yang Elang bilang sepupu itu, benar-benar punya hubungan keluarga. Orang tua mereka bersahabat karib. Saking dekat hubungan mereka jadi seperti saudara. Makanya kerukunan dan persahabatan mereka juga menurun ke anak cucunya. Seperti Elang dengan para cucu keluarga Lin. Maupun dengan anak yang punya rumah sakit sini. Pintu diketuk. Kali ini Nara kenal dengan pria yang masih memakai jas dokter itu. Genta, dokter yang menangani operasi Emir dan pernah bertemu. Dia datang menggandeng seorang perempuan cantik. “Wah, ada tamu istimewa rupanya! Mimpi apa kita semalam, tiba-tiba Bang Elang datang bawa gandengan cantik!” ucap perempuan yang sekilas mirip Thea itu. “Kenalkan ini Nara, pacarku!” Elang kembali memperkenalkan Nara ke sepupunya yang lain. “Na, ini Rhea kembarannya Thea! Wakil pimpinan rumah sakit sini. Istrinya Dokter Genta!” “Nara,” angguknya dengan senyum ramah. “Abangku bucin nggak sih?! Serius nanya, karena seumur-umur baru sekali ini lihat dia pacaran. Apalagi sampai dikenalkan ke kita!” ucap Rhea duduk di samping Nara. Nara hanya nyengir. Malu, tapi juga senang mendengar fakta mencengangkan tentang Elang yang tidak pernah bawa pacar. Lebih lega karena ternyata para sepupu Elang memang seramah itu. Mereka lanjut ngobrol hangat. Sampai kemudian ponsel Nara kembali berdering. Nara dengan santai bahkan meminta Elang mengangkatnya. Tapi, sudah mati sebelum diangkat. “Ada chat dari Gizel, Na!” ucap Elang curiga gadis itu mau rusuh lagi. Nara membuka sandi ponselnya, lalu mengedikkan dagu minta Elang membuka chat Gizel. Tidak ada yang perlu ditutupi, toh memang Nara tidak menyembunyikan apapun dari Elang. “Anjing bener jalang sialan satu ini! Maunya apa coba?!” umpat Elang emosi. Jelas Elang marah, karena Gizel pamer foto mesra dengan Dikta. Chatnya sengaja mau memanas-manasi Nara. “Pacar bucinmu sedang berduaan denganku di Surabaya! Kamu tidak tahu kan, Kak Dikta menyuruhku menyusul menemaninya di sini!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD