Bab 10.Nara Yang Hancur

1856 Words
Bohong kalau Nara tidak sakit hati, ketika lagi-lagi ditampar oleh pengkhianatan pria yang ternyata lebih bajiingan dari papanya itu. Luar biasa menyesal telah menyia-nyiakan dua tahun lebih waktunya, untuk orang yang tidak pantas mendapatkan hati juga kesetiaannya. Salahnya sendiri gampang termakan sikap manis Dikta. Hingga detik ini Nara masih bertanya-tanya, salahnya apa sampai jadi target mainan si tuan muda Wirayudha itu? Ajakan nikah Dikta meski dia tolak dengan alasan belum siap, tapi jujur itu membuat Nara yakin pacarnya serius dengan hubungan mereka selama ini. Bungkam sepanjang perjalanan pulang. Elang juga tidak berniat mengusik Nara yang duduk menyandar dengan mata terpejam. Wajahnya terlihat lelah. Tidak cerita bukan berarti dia tidak tahu apa-apa tentang gadis ini. Bahkan, mungkin dia jauh lebih paham soal Nara dibanding Dikta. Papa dan keluarga tiri Nara yang bangsatt berusaha menguasai harta peninggalan mamanya. Juga perlakuan mereka yang membuat dia hidup bak di neraka. Maka Elang juga tidak heran, kalau Nara punya kepribadian cenderung tertutup dan sulit mempercayai siapapun. Tak jarang dia mengingatkan Dikta, untuk berhenti mempermainkan pacarnya. Gadis itu terlalu baik juga rapuh. Kalau niatnya sekedar penasaran karena menilai Nara sok jual mahal, itu benar-benar jahat. Entah apa yang Dikta mau. Dia sepertinya serius mengajak Nara menikah, tapi kelakuannya berbanding terbalik. Percaya atau tidak, Elang pasti mundur jika saja Dikta sepenuh hati mencintai Nara. “Jangan meratapi pria brengsekk itu lagi, Na! Dia tidak pantas kamu tangisi!” ucapnya tidak rela melihat Nara sehancur itu. “Bukan meratapi dia, tapi menyesali kebodohanku! Dua tahun lebih waktu dan hatiku terbuang percuma untuk pria sampah!” geram Nara dengan suara serak. Menghela nafas berat, matanya pun perlahan membuka. Ponsel di tangannya sedari tadi masih berisik oleh panggilan dan chat Dikta yang tidak Nara gubris. “Lebih baik sakit hati untuk dua tahun lebih waktu dan hatimu yang sia-sia, daripada seumur hidup terjebak dengan pria yang salah. Iya, kan?” Tanpa menoleh Elang mengelus lembut kepala Nara yang kemudian mengangguk. “Hm.” “Mau makan malam dulu?” tanya Elang, karena rumah Nara sudah tidak jauh lagi. “Besok saja. Aku capek banget. Ya?” tolaknya halus. Nara meraih tangan Elang dari kepalanya, lalu menggenggamnya erat. Berharap pria ini benar-benar tulus. Tidak seperti Dikta yang manis di depannya, tapi tidak kira-kira menyakiti di belakangnya. “Yakin mau pulang? Kamu bisa datang ke tempatku, kalau butuh ruang untuk tenang. Aku tidak akan mengusikmu!” Elang kembali menawari Nara mampir ke apartemennya. Bukan untuk cari kesempatan! Dia tidak sebrengsek itu. Hanya iba melihatnya seperti benar-benar sedang tertekan, sementara rumah bukan tempat nyaman untuk Nara pulang. Elang tahu Nara tidak punya teman atau tempat lain untuk dituju. Luar biasa mentalnya hingga bisa bertahan hidup seatap dengan para manusia serakah dan tidak tahu diri itu. Bahkan, papanya sendiri juga sama saja bajingannya. “Tidak apa, aku sudah terbiasa!” sahutnya masih berusaha tersenyum. Tidak mau terlihat menyedihkan di depan orang lain. “Jangan buka chat dari Gizel lagi! Dia pasti makin keranjingan berusaha memanasimu!” Elang memulai mengurangi kecepatan mobilnya, saat hampir sampai di depan rumah keluarga Baswara. “Justru kalau dibiarkan, dia akan berpikir bisa menyakitiku! Aku mau lihat sejauh mana Gizel akan merendahkan harga dirinya, demi pria sampah yang bahkan sudah aku lepeh itu!” lontar Nara tenang. Mobil berhenti di depan pintu gerbang tinggi bercat biru. Elang menoleh dengan tatapan tidak rela harus melepasnya pergi. Ingin sekali memeluknya. Membisikkan semua akan baik-baik saja, karena mulai sekarang dia tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya. Dikta, Gizel, keluarga tiri Nara atau siapapun itu, Elang pastikan akan membayar setiap tetes air mata yang jatuh dari mata sendu gadis kesayangannya ini. “Jangan lupa diminum obatnya! Jangan banyak gerak dulu! Hubungi aku kalau ada apa-apa. Ngerti!” ucapnya meremas lembut tangan dingin Nara. “Hm,” angguk Nara. “Na, ada aku sekarang! Aku tidak akan membiarkanmu berjalan sendirian lagi. Pegang erat, aku akan selalu ada buat kamu!” Elang mengangkat genggaman tangan mereka. “Hm.” Lagi-lagi Nara hanya mengangguk. Rasanya luar biasa sesak. Tidak pernah terpikir olehnya, justru Elang yang datang mengulurkan tangan saat dia tersungkur jatuh dan kesakitan. “Aku turun dulu. Terima kasih, Lang! Hati-hati nyetirnya!” ucap Nara dengan suara serak. Tatapan lembut Elang seperti menelanjangi rapuh yang selama ini dia coba sembunyikan. “Hm,” angguk Elang tersenyum. “Besok pagi aku jemput!” Nara mengangguk, lalu turun dari mobil . Terseok terpincang dia melangkah menuju pintu gerbang. Elang mengambil foto, lalu mengirim ke Dikta. Bangsatt satu itu sejak tadi berisiknya minta ampun bertanya soal Nara, seolah benar-benar peduli. Menggelikan, mengira semua orang tololl bisa dibodohi. Baru saja Elang mau pergi setelah Nara menghilang masuk, Dikta menelponnya. Mata Elang menatap nanar. Ingin sekali mengumpat dan minta dia enyah dari hidup Nara. “Apalagi? Aku sudah mengantar dia ke dokter dan sekarang aman sampai rumahnya!” lontar Elang dengan suara ketus. “Sorry ngerepotin kamu, Lang! Masalahnya Nara masih tidak mau mengangkat telponku. Bahkan, chatku pun dianggurin. Apa dia masih marah?” tanyanya seperti orang tidak punya otak. “Menurutmu?! Kalau kamu di posisi Nara, memergoki pacarnya selingkuh dan jalang gatalmu itu terus merecokinya. Apa kamu tidak marah? Dia juga punya hati! Otakmu taruh mana?! Tahu Nara punya trauma dengan pengkhianatan papanya, kamu malah sengaja menyakitinya dengan kelakuan bangsatmu! Sekarang setelah dia memergoki sendiri, kamu bertingkah seolah itu hal lumrah yang harusnya bisa Nara maklumi. Brengsekk, kamu!” maki Elang tidak bisa menahan emosinya lagi. “Heiii, kamu sendiri tahu Gizel memang sejak dulu semanja itu! Mana aku tahu kalau semalam Nara akan menyusul …” “Aku tahu sebusuk apa kamu. Jadi berhenti membuat pembelaan! Masalahmu dengan Nara. Aku cuma kasihan dia yang sebaik itu, kamu perlakukan seperti ini! Sejak dulu aku sering ingatkan. Kalau niatmu hanya bermain-main, seperti yang kamu lakukan dengan Gizel atau para pelacurrmu itu, jangan jadikan Nara sebagai targetmu! Bajiingan juga ada batasnya, Dik! Hidupnya sudah hancur, tapi masih tega kamu buat mainan begini!” bentak Elang. Hening, hanya deru nafas Elang yang tersengal saking emosi melihat mental Nara diacak-acak para bangsatt ini. Dikta menghela nafas kasar. “Terserah kamu percaya atau tidak, tapi aku mencintai Nara. Sekembali dari Surabaya, aku akan selesaikan masalahku dengan dia. Secepatnya aku akan menyakinkan Nara, supaya mau menikah denganku. Terima kasih sudah membantuku menjaga …” “Kak Dikta, aku lupa bawa handuk!” teriak perempuan yang Elang tahu betul siapa orangnya. “Anjing kamu, Dik! Ini yang kamu bilang serius cinta ke Nara?!” umpat Elang kasar. “Bukan seperti itu, Lang! Gizel kesini karena kebetulan dia juga ada pekerjaan di Surabaya! Jangan bilang apapun ke Nara! Nanti dia makin salah …” “Kak Dikta, buruan!” “b*****t!” maki Elang sebelum mematikan sambungan telepon mereka. Tangannya mencengkram erat roda kemudi. Menatap nanar ke bangunan rumah dua lantai, dimana Nara sedang bertahan tetap tegar dalam kemalangan hidupnya. Sesial itu nasibnya, sampai dikerubuti para manusia yang tidak punya hati. Melajukan mobilnya, Elang menyeringai dengan isi kepalanya yang sudah menyiapkan kejutan untuk jalang sialan itu. Keluarga Wirayudha sebentar lagi akan tahu, semenjijikkan apa perempuan yang mereka ingin jadikan menantu. Sementara Nara meringis melangkah dengan kaki kirinya yang masih pincang. Langit merah mulai berubah gelap. Rumah yang seharusnya jadi tempat paling nyaman untuk pulang, baginya justru seperti neraka. Puluhan tahun dia berjuang mati-matian untuk tetap waras, meski hati dan mentalnya berdarah-darah. Tinggal menghitung hari untuk membuat perhitungan dengan mereka. Dia sudah mulai mencari hunian baru untuk tinggal, karena setelah semua kembali ke tangannya rumah ini akan dia jual. Demi Tuhan dia tidak rela, membiarkan mereka menikmati harta peninggalan mamanya. “Waktu kita tidak banyak! Kalau kamu tetap diam tidak melakukan apa-apa, sebentar lagi kita akan jadi gelandangan!” Suara perempuan iblis itu terdengar keras hingga teras. Kaki Nara seketika berhenti. Berdiri mematung mendengar mereka yang sepertinya sedang membahas soal wasiat mamanya. Rupanya para benalu serakah itu makin ketakutan, karena tahu akan seperti apa nasibnya setelah saham dan seluruh aset kembali ke pewaris sah. “Memangnya aku bisa apa, Rin?! Surat wasiat itu di tangan pengacara Soraya. Nara sendiri juga sudah tahu isinya apa. Mau tidak mau, semua peninggalan Soraya selain bagianku akan jatuh ke tangan Nara!” sahut Rizal seperti sudah capek menghadapi kemarahan istrinya yang akhir-akhir ini makin berisik. “Bagianmu bahkan tidak seberapa, bego! Kita mau hidup dengan apa, kalau hartamu saja bahkan hanya cukup buat beli gubuk reot! Dulu aku mau kamu nikahi, karena tidak perlu lagi hidup susah. Kamu sendiri yang bilang setelah istri sialanmu itu mati, semua warisannya akan jadi milikmu! Kenapa sekarang malah semua akan diambil alih oleh anak bangsatmu itu, haa?! Regan dan Icha juga anakmu. Mereka berhak atas saham dan seluruh warisan itu!” teriak Karina makin meledak-ledak. Nara tersenyum miris. Tidak habis pikir, bagaimana bisa ada manusia serakah yang sampai tidak tahu malu seperti mereka ini. Karina selalu ngotot minta pembagian sama rata untuk kedua anaknya. Otaknya terlalu tololl sampai tidak bisa mikir, kalau harta yang dia ributkan bukan milik pria brengsekk yang menikahinya itu. “Aku sudah beberapa kali mencoba bicara dengan Anwar. Menawarkan imbalan setimpal, asal dia mau kompromi merubah isi surat wasiat itu. Tapi, sampai sekarang dia tetap menolak. Kemarin bahkan aku tawarkan tanah Soraya yang tak jauh dari kantor Xabiru, tapi sampai sekarang dia belum memberi kepastian!” Deg Jantung Nara berdebar menggila. Tidak menyangka papanya sanggup berbuat sejahat itu, berusaha merampas apa yang seharusnya jadi miliknya. Sampai-sampai berniat menyerahkan tanah yang harganya puluhan milliar, untuk menyuap pengacara mamanya. Air matanya meleleh. Terhuyung hingga nyaris tersungkur. Benarkah pria itu papa kandungnya? Kenapa selama ini begitu dingin perlakuannya? Sekarang bahkan sampai hati mau berbuat sekotor ini merampas haknya. “Kenapa kamu tidak tanya saja langsung, si Anwar mau minta bagian berapa?! Waktu kita tidak banyak. Jangan berbelit-belit menyelesaikan soal surat wasiat itu! Kita sudah mau ditendang keluar dari sini. Memangnya mau kamu tidur di bawah jembatan, ha?!” bentak Karina. “Iya, besok aku temui dia lagi!” sahut papa Nara. “Kalau tidak mempan, jalan satu-satunya kita lenyapkan pewarisnya!” “Regan …” tegur Rizal keras. “Hanya itu cara yang tersisa, Pa! Kalau Nara mati, semua akan jadi hak Papa!” seru Regan enteng. Langit seolah runtuh menimpa Nara. Kakinya sampai gemetar lemas, hingga dia menyadar dinding supaya tidak luruh. Binatang! Nara tidak menyangka demi warisan, mereka sampai punya pikiran membunuhnya. “Aku setuju dengan Regan. Bocah sialan itu memang tidak seharusnya jadi bagian dari keluarga kita! Sekarang kita hanya punya dua pilihan, membunuhnya atau kita yang akan ditendang keluar dari rumah ini dan hidup melarat! Kalau kamu tidak tega, biar kami yang bereskan!” timpal Karina. Nara tidak kuat lagi mendengarnya. Dengan kaki gemetar dan air mata jatuh berderaian, dia melangkah terseok pergi dari sana sebelum mereka menyadari keberadaannya.Setelah keluar dari dari pintu gerbang, dia luruh jatuh bersimpuh di tanah. Menggigil oleh rasa sakit dan amarah. Matanya menatap sekeliling. Tidak tahu lagi harus kemana, saat rumah justru jadi tempat paling mengerikan baginya. Merogoh ponselnya, dengan tangan gemetar hebat dia mencoba menghubungi pria itu. “Na ….” Elang bahkan langsung mengangkat telepon. Tapi, dia seketika panik mendengar suara tangis Nara. “Kamu nangis?! Kenapa? Nara ….” serunya blingsatan karena tangis Nara makin menjadi. “Tolong aku, Lang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD