AZKA's PoV
Tasha kesakitan karena datang tamu bulanan. Bagaimana mungkin aku sebagai suami membiarkannya begitu saja merintih kesakitan di atas kasur? Mukanya bahkan tampak begitu pucat. Tasha menolak ketika aku hendak membantu mengompres bagian perutnya. Namun, aku mengabaiknnya dengan menarik selimut yang digunakannya. Tangannya saja gemetaran begitu, bagaimana bisa dia mengompres perutnya sendiri.
Aku menahan napas ketika Tasha tampak ragu-ragu hendak menarik bajunya ke bagian atas.
"Kak... "
"Gue nggak akan nafsu," sahutku cepat seolah bisa membaca keraguannya. Biar bisa merasa tenang juga.
Aku memejamkan mata sejenak ketika perlahan Tasha mulai meraih bajunya naik ke atas. Ketika membuka mata kembali, aku kembali menahan napas melihat perut putihnya Tasha di depan mataku persis. Aku menghembuskan napas berat.
"Kak Azka jadi mau kompresin?"
"Sabar!” dengusku kesal. Tak tahu kah dia jika saat ini aku sedang perang bathin? Namun, aku tak akan membiarkannya merintih kesakitan lama-lama.
Sekarang, malah tanganku yang agak gemetaran. Aku mencoba untuk tetap tenang. Aku meraih hancuk kecil setelah sebelumnya aku peras, kemudian mulai mengarahkan tanganku ke arah perutnya Tasha. Hingga tak sengaja jemariku menyentuh perut putihnya yang terasa lembut sekali.
Aku mengumpat di dalam hati.
"Kak Azka... "
"Apa lagi?"
"I-itu... a-aku mau kompres sendiri aja."
Aku menoleh menatap wajahnya dan Tasha tampak sedang menggigit bagian bibir bawahnya.
"Nurut sama suami sendiri, sesusah itu? Lo lagi sakit, biar gue yang urus. Gue nggak mau dibilang suami yang enggak bertanggung jawab."
"Tapi, Kak, itu a-aku... kompresnya, bi-sa... "
"Gimana rasanya? Masih sakit banget?" tanyaku sembari mengangkat kembali handuk kecil tersebut dan merendamnya lagi dalam air hangat di baskom.
Tasha menggelengkan kepala, kemudian menggangguk.
"Biar aku sendiri, Kak, soalnya itu a-aku... aku nggak mungkin minta Kak Azka terusin."
"Gini-gini gue juga bisa kompres! Udah biasa hidup mandiri."
"Bukannya aku ngeremehin kamu, Kak."
"Terus apa? Lo maunya Arsyad yang ngompresin? Kecewa karena bukannya Arsyad yang lakuin ini untuk lo?"
"Stop bawa-bawa nama dia lagi." Tasha mencicit pelan. "Aku istri kamu sekarang, Kak. Nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia."
Aku tak menyahut.
"Aku ingin kompres bagian perut ke bawahan dikit," ujar perempuan itu cepat, akan tetapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"I will."
"Tapi— "
"Gue suami lo, Sha. Gue berhak atas tubuh lo."
Tasha terdiam seketika.
Sambil menahan napas lagi, aku menarik pelan ke bawah dikit bagian celana piyama. Lalu, celana dalam yang digunakan istriku itu. Dari pada dia merintih kesakitan lebih lama lagi, aku tak tega melihatnya. Maka, apa pun akan aku lakukan untuknya. Meski harus mengumpat di dalam hati. Jika menunggu mama, maka akan lebih lama lagi. Sedangkan mama kalau belanja bulanan sudah pasti lama sekali.
Aku mengompres pada bagian yang Tasha minta. Cukup lama aku melakukannya. Hingga aku mendengar suara desahan dari perempuan itu. Aku menoleh dan mendapati Tasha yang menggigit bibir bawahnya seolah tengah menggodaku. Tak tahan, aku pun mendekatkan wajahku dan meraih bibir tipisnya itu. Tak disangka, Tasha membalas ciumanku. Aku menciumnya dengan menggebu-gebu. Sementara satu tanganku masih mengompres bagian bawah perutnya, tanganku sebelah lagi mulai membukan kancing piyamanya. Setelah terbuka, aku mulai menyentuh bagian dadanya diikuti ciuman yang turun ke bagian lehernya. Lalu...
"Kak, udah... cukup. Aku merasa perutku lebih baik.”
Aku mengerjap begitu mendengar suara lembut Tasha. Suara itu menyentak kesadaranku yang tengah mengompres dan mendapati kancing piyama Tasha yang masih utuh. Ya... tak terjadi apa pun di antara kami. Itu sekedar bayanganku saja. Astaga... bayanganku sudah traveling ke mana-mana. Andai Tasha tahu isi kepalaku barusan, dia pasti bakalan ilfeel padaku.
Tasha tersenyum. "Terima kasih ya, Kak."
"Hmmm." Aku segera bangkit berdiri. "Tidur... istirahat!" ujarku sambil berlalu membawa baskom berisi handuk kecil itu ke kamar mandi. Sekalian, aku ingin mandi juga.
Merasa cukup lama di kamar mandi, aku keluar menggunakan handuk pada pinggangku. Lupa membawa baju ganti. Saat keluar kamar, Tasha sudah tertidur. Aku segera melangkah menuju lemari untuk mengambil pakaianku.
"Kak Azka... "
Aku menoleh dan mendapati Tasha yang bangkit duduk sembari mengucek matanya.
"Kak Azka habis mandi? Sebentar, biar aku siapin baju Kakak."
"Enggak usah, gue bisa ngurus diri sendiri. Lo istirahat aja, tidur lagi."
"Perutku udah agak mendi— "
"Istirahat, Sha. Nurut sama suami!"
"Iya, Kak."
Aku memakai baju di kamar mandi. Setelah itu, aku meraih ponsel di atas nakas sebelah Tasha yang sudah memejamkan mata kembali. Ada telepon masuk dari teman SMA-ku dulu dan aku ke balkon untuk menjawabnya karena tak ingin tidurnya Tasha terganggu.
"Ya, kenapa?"
"Serius lo udah nikah? Kok nggak ngundang-ngundang?"
"Hmmm."
Dulu waktu menikah dengan Farah, memang tak satu pun temanku yang tahu kecuali keluargaku dan Farah, serta para sahabat orang tuaku serta anak mereka juga termasuk Tasha.
Aku sedang bertanya pada beberapa temanku mengenai info rumah. Sekiranya ada yang hendak dijual dan tak butuh banyak renovasi. Aku bilang jika akan ditinggali bersama istriku yang tentunya membuat para temanku terkejut. Sebenarnya tadi sudah melihat-lihat juga bersama Tasha. Ada 2 rumah yang telah kami kunjungi. Akan tetapi, aku ingin membuat beberapa perbandingan. Nanti terserah Tasha akan pilih yang mana.
"Lo mau cari rumah yang budget berapa? Yang tipe kayak gimana?"
Aku pun menyebutkan rumah yang sesuai dengan budget-ku. Aku akan membeli secara cash nantinya. Tabunganku cukup banyak. Bekerja sejak lulus kuliah S-1 hingga saat ini serta dapat persentase pembagian profit saham di perusahaannya papa, aku mampu membeli rumah secara cash. Untuk kendaraan, aku masih memiliki satu sejak sebelum aku menetap di luar negeri.
"Untuk tipenya, entar gue chat.”
Aku akan memutuskan tipe rumah yang akan kubeli sesuai dengan apa yang disukai Tasha. Pastinya akan atas nama dia juga rumah tersebut. Sebagai suami, aku harus menyediakan tempat tinggal untuk istriku sesuai kemampuanku.
Meski awal pernikahanku dengan Tasha bukan atas kehendak kami berdua, tapi aku tetap akan melakukan tugasku sebagai seorang suami. Tasha adalah tanggung jawabku sekarang.
“Sebelumnya, tolong cariin gue apartemen atau rumah yang bisa disewa dulu deh! Gue mau sewa selama setahun aja.”
“Lah, terus buat apa lo cari rumah?”
“Rumah yang akan gue beli, bakalan renovasi dulu pastinya.”
“Ooh, oke. Entar gue cariin.”
“Dalam 3 hari ini, bisa? Gue mau tempatin dalam minggu ini soalnya.”
“Gue usahain! Tapi kalau enggak ada, mau di apartemen aja nggak?”
“Boleh. Tapi yang bagus dan keamanannya terjaga.”
“Siap! Nanti gue kabarin lo lagi. Lusa paling lambat.”
***
"Tasha mana, Ka? Nggak ikutan makan malam?" tanya mama saat aku baru saja tiba di meja makan.
"Ada di kamar. Biar dia makan di kamar aja, aku yang bawa nasinya ke kamar."
"Loh, kenapa emangnya?"
"Aku minta dia istirahat aja. Tadi pas mama baru pergi keluar, perutnya Tasha nyeri datang bulan."
"Sekarang gimana? Masih sakit? Iya... dia kadang suka kesakitan begitu kalau datang bulan, tapi enggak selalu, sih."y tu
"Katanya udah mendingan. Tetap aja, aku suruh istirahat aja. Umm... ada lauk apa, Ma?"
"Mama beli ikan bakar barusan."
"Kesukaan Tasha?"
"Masih ingat aja kamu."
Bagaimana tidak ingat? Saat kecil dulu, kami begitu dekat. Tasha itu agak susah makannya. Akan tetapi akan makan banyak jika lauknya ikan bakar.
"Mama senang, kamu peduli dengan Tasha. Nggak salah Mama meminta kamu untuk menggantikan posisi adikmu itu."Mama tersenyum sembari meraih sebuah piring kosong untuk diisi nasi. "Almarhumah yang sahabatan beberapa tahun aja, bisa kamu jaga dengan baik, bahkan sampai memenuhi permintaannya—menikahinya. Tasha yang udah kamu kenal dekat dari kecil, Mama yakin kamu nggak hanya sekedar menjaganya aja. Kamu akan mudah jatuh hati dengannya."
Aku hanya merespon ucapan mama dengan sebuah gumaman tak jelas. Mama yang tak pernah tahu tentang apa yang pernah aku rasakan dulu, atau mungkin kembali muncul saat ini? Mungkin juga masih ada—tak pernah benar-benar pergi?
"Mama memang kecewa dengan sikapnya adek kamu itu. Tapi, Mama legah karena ada kamu, Ka. Kamu bukan hanya sekedar mempelai pengganti untuk Tasha. Pertahankan hubungan rumah tangga kalian, apa pun yang akan dihadapi ke depannya."
"Ya, Ma."
Aku mengambil minum dan duduk di kursi sejenak, sebelum kembali ke kamar.
"Proyek di Bali kapan mulainya, Ka? Udah ngobrol sama Papa?"
"Seminggu lagi kata papa tadi."
Papa ada urusan di luar kota, baru berangkat siang tadi. Pagi hari tadi, kami sempat membicarakan perihal perusahaan dan banyak hal lainnya juga.
"Kamu udah bilang sama Tasha?"
"Aku udah bilang kalau ada proyek di Bali, tapi belom bilang kapan ke sananya. Baru dapat kepastian tadi dari papa."
"Tasha akan tetap bekerja?"
"Terserah dia aja, Ma. Aku nggak bakalan larang-larang."
"Nggak apa-apa lah kalau dia tetap mau kerja juga. Lagi juga nanti dia bingung mau ngapain di rumah."
"Iya. Tapi Ma, kami akan segera pindah sebelum aku berangkat ke Bali."
"Loh, kenapa emangnya? Kenapa Tasha nggak di sini aja sama kami? Biar Tasha nggak kesepian kalau kamu lagi di Bali."
Aku menggeleng. Bagaimana jika sewaktu-waktu Arsyad muncul? Rumah ini, tentunya banyak kenangan tentang Tasha dan Arsyad. Aku tak menyukai itu.
"Kenapa emangnya, Ka?" Mama kembali bertanya. "Apa Tasha setuju untuk pindah?"
"Tasha istri aku sekarang. Dia akan mengikuti apa pun kataku."
"Jangan maksain kehendak juga. Mama rasa alangkah baiknya Tasha di sini aja bersama kami."
"Nggak!" sahutku tak akan merubah apa yang telah aku putuskan.
Mama boleh memaksakan kehendaknya memintaku untuk menikahi Tasha. Akan tetapi untuk urusan rumah tanggaku, itu urusanku dengan istriku. Kami berdua yang akan menentukan akan bagaimana ke depannya.
"Aku nggak menetap terus-terusan di Bali, Ma. Aku pasti akan bolak-balik urusan di sini juga. Jadi, Tasha nggak benar-benar aku tinggal sendirian dalam waktu lama. Aku akan mencarikan asisten rumah tangga buat ngerjain semua tugas rumah sekaligus nemenin Tasha juga."
"Ya udah, terserah kamu aja gimana baiknya. Yang penting, jangan lupa libatkan istrimu dalama segala hal."
Aku mengangguk.
"Ya udah, Ma. Minta tolong ambilin nasi untuk Tasha. Aku mau balik ke kamar."
"Mama senang melihat kamu perhatian dan peduli sekali sama Tasha. Benar kata Mama, 'kan? Mudah untuk jatuh cinta sama orang seperti Tasha itu."
Aku memutar bola mataku.
"Perhatian begitu bisa dibilang jatuh cinta kah? Mama ada-ada aja." Aku geleng-geleng kepala.
Aku kembali ke kamar membawa piring berisi nasi serta lauk dan minum juga sekaligus. Terlihat Tasha duduk bersandar di headboard dengan ponsel di tangannya. Perempuan itu langsung menoleh begitu aku memasuki kamar.
“Makan!” titahku sambil meletakkan baki yang aku bawa berisi sepiring nasi dan segelas air putih itu di atas nakas.
“Buat aku semua itu?”
“Ya.”
“Banyak banget, Kak. Aku enggak bakalan bisa habis kalau sebanyak itu.”
“Segitu lo bilang banyak?”
Tasha mengangguk. “Iya, Kak. Aku kalau malam, makannya dikit. Kadang malah enggak makan nasi sama sekali.”
“Pantesan badan lo kurus kecil begitu,” dengusku. “Dah, makan dan habisin! Enggak ada diet-diet.”
“Tapi— “
“Gue suapin!”
Tasha menggeleng cepat. “Aku bisa makan sendiri.”
“Ya udah.”
Aku duduk di pinggir tempat tidur.
“Ke-napa Kak Azka masih di sini?”
“Gue mau mastiin lo habisin makannya. Bentar, gue ambilin minum lagi.” Aku bangkit berdiri hendak mengambil botol minuman jika airnya Tasha habis.
Kembali lagi ke kamar, aku kembali duduk di pinggir tempat tidur dengan ponsel di tanganku.
“Udah habis, Kak,” ujar Tasha beberapa saat kemudian.
“Gitu dong! Enggak usah pakai diet segala. Jelek.” Aku mengambil piring dari tangan Tasha dan meletakkannya di atas baki yang aku taruh di lantai tadi. “Perut lo gimana? Ada timbul rasa nyeri lagi nggak?”
“Udah enggak.”
Aku manggut-manggut, lalu meraih gelas kosong usai diminum oleh Tasha airnya. Aku menuangkan air dari dalam botol ke sana dan ketika hendak meneguk minum tersebut…
“Itu kan gelas bekas aku, Kak!” seru Tasha memegangi pergelangan tanganku.
“Terus, kenapa?”
“Ya itu. Masa bekas aku? Kenapa nggak ambil gelas yang baru ke bawah?”
Aku menepis pelan tangannya dan segera meneguk air putih tersebut. “Gue haus.”
Tasha tak menyahut lagi.
“Gue mau ngomong tentang kerjaan gue.”
“Iya.”
“Minggu depan, gue udah harus ke Bali. Tapi enggak tahu bakalan berapa lama di sana.”
“Ya, Kak. Nanti kasih tahu aku aja.”
“Kita udah harus pindah sebelum itu. Lo keberatan?”
“Terserah Kak Azka aja.”
“Kerjaan lo gimana? Masuk kerja kapan?”
“Aku cuti selama 2 minggu kerja, Kak.”
“Hmm. Ya udah, lo ikut gue ke Bali aja sementara.”
“Oke, Kak.”
Mengajak Tasha ke Bali, bukan berarti untuk honeymoon. Sangat jauh untuk ke arah sana, karena aku tahu dirinya yang pasti masih menyimpan nama Arsyad di hatinya. Tentunya berbeda denganku yang masih meraba-raba hatiku.
“Gue enggak lagi ngajakin lo honeymoon ya, Sha! Jangan mikir aneh-aneh,” ujarku agar Tasha tak salah tangkap akan maksudku. “Gue cuma melaksanakan tugas sebagai suami, jaga istri gue—berada di dekat istri gue selagi ada kesempatan. Nggak mau dibilang suami yang nggak bertanggung jawab kalau ninggalin lo sendirian di sini, sementara lo nggak ngapa-ngapain. Belum masuk kerja.”