Bunyi ponsel mengusik tidurku. Aku terbangun dan melihat ponselnya Kak Azka yang berada di atas nakas dekat tempat tidur yang berdering. Sedangkan tak telihat lelaki itu tidur di sofa. Ke mana dia?
Sejak di hotel usai acara pernikahan kami, aku perhatikan jika Kak Azka tak selalu memegangi ponselnya. Benda pipih miliknya itu hampir selalu terletak di dekat ponselku juga jika sedang tak digunakannya. Apa dia tidak takut privasinya aku ketahui dengan meletakkan ponsel sembarangan? Aku pernah tak sengaja menyentuh layar ponselnya saat mengambil ponselku, dan layarnya sama sekali tak terkunci.
Jujur, aku tidak tahu bagaimana persisnya kehidupan Kak Azka di luar negeri sana. Apa dia memiliki kekasih atau seseorang yang disukainya? Atau... dia masih belum move on dari mantan istrinya yang meninggal beberapa tahun lalu? Sungguh, Kak Azka itu sulit ditebak. Padahal, dulu saat sebelum beranjak remaja, Kak Azka itu adalah pribadi yang hangat.
Tertera nama 'Det' pada layar ponselnya Kak Azka yang menyala. Aku awalnya mau membiarkan saja, akan tetapi ponsel tersebut terus-terusan berdering. Bisa jadi itu adalah telepon penting? Misal dari rekan kerja atau seseorang yang spesial bagi Kak Azka di luar negeri. Pasalnya, sudah hampir jam 11 malam di sini. Jika yang menghubungi berada di Amerika, sangat lah mungkin karena masih jam 11 kurang di sana, siang.
Aku meraih ponsel tersebut sambil memanggil Kak Azka. Aku tak berani mengangkatnya begitu saja, takutnya Kak Azka marah. Aku hendak mencari ke arah balkon, dipastikan Kak Azka tidak ada di sana karena terkunci dari dalam. Di kamar mandi pun tak ada setelah aku buka pintunya. Aku keluar kamar dan mencari ke lantai bawah. Di bawah gelap, tak ada tanda keberadaan Kak Azka. Aku kembali naik ke atas dan berada di ujung tangga teratas aku mendapati cahaya lampu dari arah kamar yang paling ujung. Aku melangkah mendekat dan ternyata Kak Azka berada di dalam sana.
Berniat memberikan ponselnya karena mengira ada telepon penting yang harus segera dijawab, Kak Azka malah menyangka jika kedatanganku ke sini karena merindukan adiknya, Arsyad. Astaga... aku sama sekali tak berpikiran ke arah sana. Meski aku tak menampik jika masih mencintai dan belum bisa melupakan adiknya itu, tapi aku tak akan mencoba mengingatnya lagi. Aku akan berusaha melupakan. Karena bagaimana pun, aku telah menikah dan tak pantas rasanya jika terus-terusan menyimpan perasaan kepada mantan kekasihku itu. Menikah bagiku hanya sekali seumur hidup, tentunya aku akan belajar mencintai seseorang yang telah menjadi suamiku saat ini. Yang tak lain adalah Kak Azka.
Walau awalnya mungkin hubunganku dengan Kak Azka karena keinginanan Tante Maudy dan Om Fero, tetapi aku telah memutuskan untuk menerima. Jika sudah mengambil keputusan, aku akan menjalankan dengan sungguh-sungguh. Apa lagi hubungan pernikahan, yang tak bisa dianggap main-main. Meski Kak Azka rasanya belum bisa sepenuhnya menerima pernikahan ini juga, aku akan tetap sabar menghadapinya.
Usai berbicara dengan Kak Azka, aku kembali ke kamar kami. Benar-benar tak berniat sedikit pun mengenang Kak Arsyad di sana. Bahkan, aku baru pertama kali malam ini masuk ke sana. Dan tak berminat berlama-lama di dalam kamar milik orang yang telah melukai hatiku. Pergi begitu saja tanpa pamit, hati siapa yang tidak sakit ditinggalkan?
Aku tak kunjung bisa tidur lagi hingga Kak Azka memasuki kamar beberapa saat kemudian. Dia langsung merebahkan diri di sofa. Aku memiringkan tubuhku menghadap ke arahnya.
"Kak Azka, udah mau tidur?" tanyaku. Aku ingin mengobrol dengannya. Aku harus memulai pelan-pelan jika Kak Azka kesulitan untuk mulai duluan. Untuk hubungan kami ke depannya. Tinggal di atap yang sama sebagai suami istri, tidak mungkin rumah tangga kami akan dingin terus, bukan?
"Kenapa?" Lelaki itu menyahut di tengah minim cahaya kamar karena aku sudah mengganti lampu utama dengan lampu tidur.
"Mau ngobrol sebentar, boleh?"
"Hmmm."
"Mau nggak?"
"Bawel," dengus lelaki itu. "Ngobrolin apa?"
"Tentang kita... " Aku menghela napas sejenak. "Kita sama-sama tahu bahwa awal hubungan kita ini, bukan karena cinta. Bisa kah kita membuatnya menjadi lebih mudah meski bukan berawal dari sesuatu yang indah?"
"To the point aja."
"Mari kita sama-sama belajar, Kak. Menjalani hubungan rumah tangga sebagaimana mestinya. A-aku... aku akan belajar juga untuk mencintai Kak Azka. Dan aku harap, Kak Azka juga begitu." Rasa yang aku miliki terhadap Kak Azka dulu sepertinya sudah menghilang. Aku mencintai Arsyad, suka dengan bagaimana lelaki itu memperlakukanku. Arsyad begitu manis terhadapku, perhatian, romantis. Jauh berbeda tentunya dari pada Kak Azka. Aku dulu juga tak mengerti kenapa menyukai Kak Azka yang jelas-jelas bersikap dingin terhadapku. Sikap dinginnya yang tak pernah aku ketahui apa penyebabnya.
"Yakin lo bilang begitu?" tanya Kak terdengar sinis. "Bukannya lo sangat mencintai adik gue? Iya, ‘kan???”
Kak Azka malah balik bertanya.
"Aku akan belajar melupakan Arsyad," ujarku mencicit pelan.
Tiba-tiba, bayangan ucapan Arsyad saat terakhir kali kami bertemu berputar kembali. Aku menggelengkan kepala cepat. Dia yang meninggalkanku, bukan? Apa pun alasannya, seharusnya dia bilang padaku.
Kak Azka tak menyahut.
"Gimana dengan Kak Azka sendiri? Apa Kak Azka saat memutuskan ingin menikahi aku, sedang enggak menjalin hubungan dengan siapa pun? Punya pacar atau seseorang yang Kak Azka sukai?"
"Nggak ada."
Aku manggut-manggut. Mungkin Kak Azka belum sepenuhnya bisa melupakan Farah, makanya belum mencari pengganti mantan istrinya itu. Aku paham. Mungkin saat ini juga susah baginya untuk memulai denganku.
"Ya udah. Aku harap kita sama-sama bisa belajar."
Kak Azka menyahut dengan sebuah deheman.
Aku tersenyum. Sampai sekarang masih menerka-nerka penyebabnya dingin dan ketusnya sikap Kak Azka padaku. Sudah lama dirinya bersikap seperti itu. Jauh sebelum dirinya memiliki kekasih dan menikah. Berkali-kali aku mencoba mengingat hal-hal yang pernah aku lakukan, rasanya aku tak pernah mengeluarkan kata atau sikap tak bersahabat. Jadi, apa salahku sebenarnya?
Dulu, aku pernah bertanya kepadanya saat masih SMA. Namun, aku tak mendapatkan jawaban apa pun.
"Nggak salah apa-apa."
"Kenapa Kak Azka menjauh—semakin menjauh?"
"Nggak kenapa-napa."
Aku tak pernah bertanya lagi setelahnya. Sampai mendengar kabar jika dia berpacaran dengan sahabatnya. Dan setahun kemudian, orang tuanya bilang jika Kak Azka akan menikahi kekasihnya yang terbaring di rumah sakit karena sakit yang cukup parah.
"Kak Azka.... "
"Apa lagi?"
"Mama Maudy bilang kita akan tinggal di sini untuk sementara. Emm... kalau boleh tahu, sampai kapan kira-kira?"
"Lo senang tinggal di sini emangnya?"
"Ya, senang-senang aja. Karena Mama Maudy— "
"Karena bisa mengenang kebersaman dengan Arsyad di rumah ini, 'kan?"
"Kak, bukannya begitu. Aku tadi udah bilang— "
"Kita akan segera pindah, secepatnya."
"Ya udah, aku ngikut Kak Azka aja."
"Gue udah mulai cari rumah, tadi tanya-tanya teman gue.”
"Oke."
"Kita akan tinggal di apartemen atau rumah sewa sementara. Gue akan beli rumah, tapi nanti pastinya akan direnovasi dulu.”
Aku mengangguk. Bagaimana pun, aku akan mengikuti suamiku. Namun, apa kami akan LDR? Kak Azka kan kerja di luar negeri. Apa dia tidak ingin membawaku ke sana? Aku bisa meninggalkan pekerjaanku jika memang diminta ikut olehnya. Meski belum cinta, tapi aku adalah telah menjadi seorang istri sekarang.
"Kerjaan Kak Azka gimana? Kapan Kak Azka balik ke luar negeri?"
"Lo pengen gue cepat-cepat pergi dari sini? Masih berharap Arsyad kembali dan mengulang kisah kalian?"
Astaga. Aku mana ada berpikiran seperti itu. Masih mencintai Arsyad, bukan berarti aku ingin memainkan sebuah pernikahan. Prinsipku sama seperti mama. Jika sudah menentukan suatu pilihan, aku akan serius menjalani pilihanku itu.
"Aku cuma nanya, Kak," jawabku mendesah. "Kenapa Kak Azka bawa-bawa nama Kak Arsyad terus?"
"Gue udah resign."
"Hah?"
"Jangan geer! Gue resign bukan karena menikah sama elo. Tapi jauh sebelum ada permintaan dari mama. Papa minta gue bantu handle proyek di sini."
"Ooh... oke."
"Kenapa? Lo kayak nggak senang dengarnya?"
"Jangan nethink terus, ah!" seruku dengan bibir mengerucut. "Bisa mikir positif aja nggak tentang aku? Jujur, aku nggak menampik jika masih mencintai Kak Arsyad. Tapi aku udah bilang sama Kakak, aku akan berusaha buat lupain dia. Aku serius dengan pernikahan ini."
"Nggak meyakinkan."
Aku menghela napas. Sepertinya aku harus memiliki banyak stock sabar menghadapi lelaki satu ini.
"Dah tidur. Besok ikut gue lihat-lihat rumah."
"Apa Kak Azka nanti akan stay di Bali?" Memang katanya sudah resign, tapi dia memiliki proyek di Bali.
"Kenapa, sih? Bawel amat kayak pengen mastiin sesuatu. Jangan-jangan benar, lo masih ngarep bisa ketemu Arsyad lagi nanti."
"Kan, mulai lagi... "
“Gue nggak selalu di Bali, akan banyak di sini juga.”
“Gitu dong jawabnya! Nggak usah bawa-bawa nama Kak Arsyad terus.”
“Hmmm.”
“Lo boleh ikut kalau gue lagi ke sana. Dah ah, gue mau tidur. Jangan berisik tanya-tanya lagi!”
***
Aku menoleh sekilas ketika pintu kamar terbuka dan Kak Azka masuk. Lelaki itu menoleh ke arahku dan menghentikan langkah kakinya di samping tempat tidur.
"Lo pucat. Kenapa? Bilang sama gue, yang mana yang sakit? Apa sakit banget rasanya?" tanya Kak Azka beruntun.
"Perutku, Kak." Aku meringis sambil tetap memegangi bagian perutku dari luar baju. Aku baru datang bulan dan ini terasa sakit. Sudah lama aku tak merasakan sakit seperti ini. Aku tak selalu kesakitan setiap kali datang bulan, terkadang saja. "Perutku sa-kit banget."
Sudah beberapa kali aku mencari posisi yang nyaman, akan tetapi perutku masih sakit. Aku sudah tidur meringkuk, memiringkan badan sambil memeluk bantal guling dan lainnya. Tetap saja masih sakit rasanya. Untung saja tidak bocor saat aku keluar melihat-lihat rumah bersama Kak Azka beberapa jam lalu.
"Kita ke dokter sekarang! Gue gendong kalau lo nggak kuat jalan."
Aku menggeleng lemah. "Aku sakit perut yang nggak butuh bantuan dokter, Kak."
"Lo jangan keras kepala! Nurut sama suami. Lo itu lagi sakit, ayo gue gendong!"
"Kak, aku cuma lagi datang tamu bulanan.” Aku mencicit lemah. “Enggak perlu ke dokter.”
“Terus gue harus apa? Gimana caranya supaya lo nggak kesakitan? Wait… gue telepon Fema dulu tanya-tanya.”
Aku menggelengkan kepala. “Nggak perlu, Kak. Ummm… ada Mama nggak? Atau bisa minta tolong panggilin si Mbak?”
“Mama pergi keluar barusan sama Mang Udin. Si Mbak juga, dua-duanya ikut sama Mama. Belanja bulanan. Gue harus gimana ini? Apa lo mau dibeliin minuman pereda nyeri itu? Dulu gue lihat Kak Fema pernah minum, tapi gue nggak ingat apa namanya. Lo biasanya minum merek apa?”
“Nggak pernah minum apa-apa.” Aku mulai berkeringat dingin.
“Terus gimana???” tanyanya terdengar frustasi. “Setiap datang bulan kayak gini?”
Aku menggelengkan. “Kadang aja. A-ku… aku boleh minta tolong sesuatu?”
“Apa?”
“Tolong siapin handuk kecil pakai air anget. A-aku… aku biasanya dibantu kompres. Sama mama atau mbak di rumah.”
Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Bagaimana ini? Aku tak bisa melakukannya sendiri sebelumnya. Jika rasa sakit itu datang, ada mama atau mbak di rumah yang membantu mengompresku. Sedangkan aku gemetaran keringat dingin, tak bisa melakukannya sendiri. Tapi kali ini, sepertinya aku akan melakukannya sendiri meski gemetaran begini. Harus. Tak mungkin aku meminta bantuan Kak Azka untuk mengompres bagian perutku, bukan?
Kak Azka segera beranjak dari dekatku. Sambil memegangi perutku, aku memperhatikan gerak-geriknya. Dia menuju lemari, sepertinya sedang mencari handuk kecil. Benar, dia meraih sebuah handuk kecil dari dalam lemari sana.
“Air angetnya ini gimana? Air anget matang mendidih dimasak atau bisa air anget di dalam kamar mandi aja?” tanya Kak Azka menghentikan langkah kakinya sejenak.
“Yang mana aja, boleh.”
“Oke.”
Kak Azka kembali beberapa saat kemudian. Lelaki itu duduk di pinggir tempat tidur.
“Bagian mana yang harus gue kompres?”
“Sini… biar aku aja sendiri.”
“Bagian.mana?” ulang lelaki itu dengan menekankan kata-katanya.
“Pe-rutku. Ta-pi… biar aku aja.” Aku mengulurkan tangan hendak meraih handuk kecil di dalam wadah berisi air yang berada di atas pahanya Kak Azka, akan tetapi lelaki itu menepis pelan tanganku.
“Gue yang akan kompres.”
Aku melotot sembari menahan denyutan nyeri yang luar biasa sakitnya.
“Kenapa? Tangan lo gemeteran gitu, gimana mau kompres sendiri?”
“Nanti, nunggu mama aja— “
“Lo itu istri gue sekarang! Apa salah jika gue membantu istri sendiri yang sedang kesakitan? Dah, tidur terlentang sana yang benar! Buka selimutnya, baju lo juga… angkat.”
Tidak salah, tapi…
“A-ku… “
“Takut, hmm?” Kak Azka terkekeh, lalu menarik selimut yang aku gunakan. “Lo lagi datang bulan begini, gimana gue mau macam-macamin lo? Lagi juga, badan kecil mungil datar begitu, gue nggak yakin bakalan nafsu.”