Menghilang Sejenak

1412 Words
ARSYAD's PoV "Ada apa?" tanyaku pada seseorang yang baru saja memasuki ruanganku. Aku adalah seorang manajer finance di Tama Group, perusahaan keluarga. Lebih tepatnya milik dari suami dari tanteku, Om Revan. Tante Mitha yang merupakan kakak kandung dari papaku menikah dengan CEO kaya raya. Dan salah satu perusahaannya dikelola oleh papa sejak beliau lulus kuliah hingga saat ini. "Sa-ya... " Satu alisku terangkat melihat orang itu yang tampak takut-takut. "Kenapa? Ada kendala dengan kerjaan kamu?" Dia menggeleng cepat. "Lalu?" Dia mengulurkan 3 benda di tangannya kepadaku. Seketika perasaanku mendadak tak enak. Teringat pada kejadian t***l satu setengah bulan lalu pada acara gathering perusahaan ini. Sesuatu yang terjadwal di luar kendaliku, tak pernah aku terpikir olehku sebelumnya. Gathering yang menjadi sebuah malapetaka bagiku. Rahangku mengeras melihat benda yang sekarang sudah berada di tanganku itu. "Bukannya waktu itu saya udah suruh kamu untuk— " "Maaf." Suara itu mencicit pelan. "Saya baru ingat keesokan harinya. Maaf, bukan bermaksud menyulitkan Bapak. Tapi saya harus memberi tahu tentang kebenaran ini." Maaf? Aku atau orang ini yang seharusnya meminta maaf? Atau kami berdua memang sama-sama salah? "Saya bingung, tapi saya nggak tahu harus gimana." Aku mengusap wajahku kasar. "Nanti kita akan bicarakan lagi." Pastinya, aku perlu waktu untuk berpikir. Setelah kepergian orang itu, aku berteriak frustasi hingga meja kerjaku berantakan. Untung hanya aku yang ada di dalam ruangan ini. Kenapa semua ini harus terjadi? Bagaimana aku menjelaskannya kepada Tasha? Tasha adalah tunanganku. Meski awalnya hubungan kami dijodohkan karena ide mama awalnya, aku menjalaninya dengan tulus. Aku sedang tak memiliki kekasih saat itu, aku rasa tidak ada salahnya jika aku mencoba dekat dengan seseorang yang telah aku kenal sejak kecil. Tasha itu cantik mungil, lembut, penyabar dan banyak kelebihan lain dimilikinya yang tak bisa aku jabarkan satu-satu saking banyaknya. Aku rasa, akan mudah bagiku untuk jatuh cinta kepada perempuan yang merupakan anak tunggal dari sahabat orang tuaku itu. Dan benar, semua mengalir begitu saja di mana aku sudah jatuh hati padanya. Semakin hari, perasaan yang kumiliki untuknya semakin besar. Mama yang memang ingin sekali Tasha menjadi menantunya, begitu senang saat aku bilang jika akan segera melamar Tasha. Tak perlu menunggu lama-lama. Aku memijit kepalaku, pusing. Bayangan Tasha menari-nari di benakku. Tidak... aku tak siap rasanya jika harus melepaskan Tasha. Bahkan ketika tahu dia yang dulu sempat menyukai Kak Azka, aku tak membiarkan rasa yang pernah dimilikinya itu tumbuh kembali. Jangan sampai Kak Azka tahu juga. Pasalnya, siapa yang tak mau dengan perempuan seperti Tasha? Meski Kak Azka sikapnya dingin begitu, aku tak yakin dia tak akan terpengaruh jika tahu Tasha pernah menyukainya. Bagaimana kalau dia diam-diam berniat merebut Tasha-ku? Kak Azka itu tak bisa ketebak meski aku memiliki hubungan darah dengannya. Selama ini dia selalu mendukung apa pun tentangku, apa yang aku lakukan termasuk mengenai hubunganku dengan Tasha. Tapi, tetap aku harus waspada dengan sikapnya yang tak terbaca itu. Tidak... Tasha hanya tercipta untukku, bukan untuk Kak Azka atau lelaki lainnya. *** Empat hari lagi aku akan menikah dengan Tasha. Tetapi, ada sesuatu yang membuatku tak bisa melanjutkannya. Aku harus pergi. Setidaknya untuk sementara waktu? Namun, tak sanggup rasanya untuk mengucapkan apa yang telah aku alami kepada Tasha. Aku tak ingin membuatnya kecewa dan berujung membenciku. Membayangkannya saja, aku tidak sanggup. Maka, aku berniat untuk pergi begitu saja. Aku akan kembali… suatu saat nanti. Pasti. Aku akan kembali mengejarnya—melanjutkan pernikahan kami yang tertunda. Hanya Tasha yang aku inginkan dalam hidupku. Dengannya, aku ingin menua bersama. Aku memukul dashboard mobilku, kesal. Aku tertawa miris. Seharusnya tinggal menunggu beberapa hari lagi saja aku akan hidup bersama selamanya dengan Tasha. Kami menikah, jalan-jalan ke banyak tempat wisata yang belum pernah dikunjungi, dan tentunya memiliki anak yang lucu-lucu. Tasha yang mengusap-usap kepalaku dengan lembut, akan bisa aku rasakan setiap harinya. Kata-katanya yang selalu bisa menenangkan. Bangun pagi melihat wajah mungilnya berada di sisiku. Namun, semua anganku terpaksa harus ditunda karena kebodohanku yang tak disengaja. Meraih ponselku, aku menghubungi Tasha. Saat ini aku berada di depan rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 22:30, tapi aku harus bertemu dengannya… sebelum pergi sejenak dari hidupnya—menyakitinya. Teleponku diangkat dengan suara orang mengantuk. “Aku ganggu kamu banget ya, Sayang? Tapi, aku nggak bisa nahan kangen ini.” Terdengar kekehan pelan dari Tasha. “Beberapa hari lagi juga ketemu. Sabar ya kamu!” “Duh, enggak bisa kayaknya.” “Ubah video call, mau?” “Tetap nggak bisa obatin rindu ini kalau nggak ketemu langsung.” Tawa renyah Tasha membuat hatiku semakin sakit mendengarnya. Andai dia tahu kalau beberapa hari lagi tak akan terjadi pernikahan di antara kami… “Sayang, please…. “ “Enggak, ya!” sahut Tasha di sela tawanya. “Aku udah di bawah sekarang, depan rumah kamu.” Aku keluar mobil dan menatap ke atas ke arah kamarnya Tasha berada. Tasha tak menyahut. Tapi aku lihat dirinya membuka gorden kamar dan aku melambaikan tangan kepadanya. “Nah, udah lihat aku kan? Udah terobati kan kangennya?” Tasha menjulurkan lidahnya. “Enggak. Malah tambah semakin menggebu-gebu rindunya.” “Yang sabar calon imamku!” “Enggak… aku enggak mau sabar kali ini.” Tasha tertawa lagi. “Sebentar doang tapi, ya?” “Yess!” “Ya udah, aku matiin teleponnya.” Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya sebelum dirinya beranjak dari arah jendela kamar. “Untung aja orang rumah udah pada tidur loh!” ujar Tasha saat membuka pagar rumahnya. “Kalau enggak, bisa diceramahin aku.” "Love you... love you," ujarku memeluk Tasha erat dan memberi kecupan bertubi-tubi di kepalanya. Tasha membalas pelukanku. “Too.” “Too apa ini, Sayang?” tanyaku menghirup rakus aromanya yang selalu memabukkan. “Balas yang jelas, yang lengkap.” “Love you too, Calon Suami.” Aku tersenyum. “Sayang kamu banget, Sha. Banget… banget.” “Aku tahu.” “Kamu juga, ‘kan? Sayang banget aku juga, ‘kan?” tanyaku memastikan lagi jika perasaan yang kami miliki sama besarnya. Ya… Tasha pasti mencintaiku sama besarnya dengan rasa yang kumiliki, bukan? “Iya. Sama, Kak. Aku sayang kamu juga… banget.” Aku legah mendengarnya. Saat aku pergi nanti, harusnya Tasha tidak akan begitu saja melupakanku, bukan? Aku pasti akan kembali lagi untuknya. Memang beberapa saat lagi akan membuatnya kecewa, tapi aku janji akan menebusnya nanti. Aku mengurai pelukan kami, tapi tanganku masih setia bertengger pada pinggangnya. “Sha, apa pun yang terjadi nanti, kamu janji akan tetap sayang sama aku, ‘kan?” Tasha menatapku dengan mata menyipit. “Kenapa tiba-tiba bilang gini deh?” “Nggak kenapa-napa, Sayang. Kamu kan cantik, sifat dan sikanya kamu juga bikin siapa pun bisa suka sama kamu. Mudah bagi banyak orang untuk menyukai perempuan seperti kamu.” “Tapi kan aku enggak mudah jatuh cinta. Lagi juga, udah jadi suami istri nanti, apa yang kamu takutin, Kak? Saat itu nanti, I’m already yours. Cuma milik kamu seorang.” “Aku berlebihan, ya?” tanyaku diikuti kekehan setelahnya. “Jangan khawatir, Kak. Cobaan berumah tangga nanti pasti ada-ada aja, tapi kita pasti bisa melewati itu. Aku yakin.” Bukan itu masalah sebenarnya, Sha. Aku yakin sama kamu jika kita menikah nanti, tapi saat-saat ini… “Ya udah, Kak, aku masuk dulu takut mama atau papa kebangun.” Aku mengangguk. Meski dalam hati rasanya berat melepaskan genggaman tangan kami. “Kak?” Aku kembali meraih Tasha ke dalam pelukanku. “Sebentar aja, Sayang.” Aku melepaskan pelukan kami beberapa saat kemudian, namun masih menahannya untuk tetap di sini. Aku memiringkan kepala hendak menciumnya, akan tetapi Tasha menghalangi dengan tangannya. “Sabar, ya? Beberapa hari lagi, baru boleh cium-cium.” Aku tersenyum tipis. Aku memang sudah pernah berciuman dengan kekasihku sebelum Tasha. Akan tetapi, aku tak pernah melakukannya dengan Tasha. Tasha belum pernah berpacaran sebelumnya. Aku salut dengannya yang bisa menjaga diri dengan baik. Aku pun membatasi diri, tak pernah menyosor mencium bibirnya selama kami berpacaran. Paling hanya mencium keningnya. Tanganku terulur mengusap rambutnya Tasha. “Lanjutin istirahatnya, ya! Maaf udah gangguin tidurnya kamu.” Setelah Tasha memasuki rumah, aku baru memasuki mobilku. Cukup lama aku memandang ke arah rumahnya sebelum beranjak pergi dari sana. Aku mencopot kartu pada ponsel dan membuangnya. See you when I see you, Sayang… Maaf karena akan melukai kamu. Aku pasti akan kembali untuk kita… nanti. Malam ini aku pergi setelah menaruh mobilku di parkiran depan kantor. Aku pergi menggunakan taksi. Pergi menyelesaikan hal yang harus aku selesaikan untuk sementara waktu. Kepergian yang tak pernah terpikir olehku sebelumnya. Aku menggumamkan kata maaf berkali-kali menatap foto prewed berdua dengan Tasha pada ponselku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD