AZKA's PoV
Setelah menimang-nimang dan mengobrol banyak dengan papa, aku telah mengajukan surat pengunduran dari pekerjaanku di luar negeri sana sebelum kembali ke tanah air. Jadi, kepulanganku bukan hanya untuk menghadari acara Arsyad saja. Awalnya mungkin iya, aku mau tak mau harus pulang karena adikku yang akan menikah. Namun setelah itu, tepatnya sebulan sebelum ini, papa menghubungiku dan meminta agar aku bekerja di Indonesia saja. Ada proyek besar papa dengan investor di daerah Ubud, Bali. Papa meminta aku sebagai in-charge pada proyek proyek tersebut. Papa belum bisa mempercayai Arsyad untuk menangani sebuah proyek besar katanya. Lagi pula, Arsyad lebih cakap di bidang keuangan. Tak salah jika dia dipercayai menjadi menjadi manajer keuangan pada perusahaan utama keluarga besar kami, Tama Group. Siapa sangka kalau akhirnya ada hal lain tak terduga saat kepulanganku. Sesuatu yang terjadi begitu saja, yang membuatku merasa seperti mimpi.
Orang tuaku menyarankan agar aku dan Tasha tinggal sementara di rumah ini. Karena aku akan sering bolak-balik ke Bali, sedangkan Tasha masih bekerja di bagian finance di firma hukum milik opanya. Versi orang tuaku itu kira-kira 2 atau 3 tahunan sampai proyek kami selesai. Tapi setelah aku pikir-pikir, aku tak akan selama itu tinggal di rumah orang tuaku. Aku akan mempercepat kepindahan kami—sesegera mungkin tinggal di apartemen atau rumah sewa. Sebagai seorang suami, aku punya hak untuk membawa istriku ke mana saja, bukan? Aku pasti akan membeli rumah, tapi pasti akan ada renovasi terlebih dahulu. Maka, opsi sementara adalah tinggal di apartemen atau menyewa sebuah rumah.
Usai makan malam, aku langsung menuju kamarku. Menghindari banyak obrolan, sementara pikiranku masih kacau. Masih belum bisa mencerna dengan jernih.
Tiba di kamar, aku ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci muka. Setelahnya, aku meraih sebuah selimut dan bantal dari tempat tidur, lalu merebahkan diri di sofa. Berada di ranjang yang sama dengan Tasha? Aku rasa belum waktunya. Aku buru-buru memejamkan mata saat mendengar bunyi pintu akan dibuka. Tak lama, aku merasakan tepukan pelan pada bahuku. Tasha lah pelakunya.
Tasha meminta untuk tidur di ranjang yang sama dengannya. Katanya, nanti aku tak nyaman jika tidur di sofa. Jujur, aku memang merasa tak nyaman dari kemarin. Bukan karena kurang istirahat dan tidur di tempat sempit, itu tak menjadi masalah denganku. Tak nyaman adalah ketika berada di kamar yang sama dengan Tasha.
Tak pernah sebelumnya aku berada di ranjang yang sama dengan perempuan mana pun, kecuali jika sedang mengobrol ringan saja bersama Fema atau mamaku. Berada di ranjang yang sama dengan Tasha? Bagaimana jika malamnya halangan bantal guling di antara kami terlepas dan aku secara tak sadar memeluknya? Aku tak mau Tasha merasa tak nyaman. Dan juga, aku pun tak yakin dengan diriku sendiri. Dulu itu aku…
Aku menggelengkan kepala cepat. Bahkan setelah sekian tahun tak pernah bertemu lagi, ada sesuatu yang tidak benar-benar hilang.
“We need to talk, Kak.”
Aku kira Tasha akan segera pergi dari dekatku ketika aku sudah memejamkan mata dan mengeluarkan kata-kata sinis, ternyata tidak. Dia kembali bersuara.
“Barusan udah ngomong, bukan?” Aku menjawab dengan mata terpejam. “Gue ngantuk, pengen tidur.”
“Kak Azka kemarin memintaku untuk menikah sama Kakak. Kak Azka tahu nggak arti pernikahan itu apa?” Tak ada nada tinggi yang terdengar. Dari dulu hingga saat ini, dia selalu bertutur kata lembut. Penyabar juga orangnya, kalau kata papaku sifatnya Tasha itu menurun dari kedua orang tuanya.
Aku tak menjawab.
“Menikah sama aku karena permintaan dari mamanya kamu, Kak?”
“Ya. Lo juga pastinya, ‘kan?” Mataku kembali terbuka. “Sama.”
“Tapi aku nggak pernah anggap pernikahan kita ini main-main. Aku udah bilang sama kamu kemarin, bukan?”
“Kan gue juga udah nyahut kemarin. Siapa juga yang mau main-main?”
“Tapi, sikap yang Kak Azka tunjukkan— “
“Dari dulu gue emang begini, sulit diubah.”
“Nggak… dulu banget Kak Azka nggak se-asing gini sama aku.” Terdengar helaan napas dari perempuan itu. “Kita udah menjadi suami istri sekarang, Kak. Gimana pun awalnya, tapi aku ingin berumah tangga sebagaimana mestinya.”
“Sebagaimana mestinya?” Aku tertawa sinis, menoleh padanya. “Kalau dalam hubungan berumah tangga itu, harusnya istri layanin suami kayak yang lo bilang tadi. Memang benar apa yang lo bilang itu. Tapi harusnya nggak cuma itu aja, Sha. Layanin suami di ranjang juga lah! Kasih haknya suami.”
“A-aku… “
Aku mengangkat tanganku, tak ingin mendengar jawaban darinya yang sudah bisa aku tebak.
“Gue tahu, lo pasti masih cinta sama adek gue.” Aku kembali memejamkan mata.
Tak ada jawaban dari Tasha.
Aku tertawa di dalam hati. Begitu lah resikonya menikahi seseorang yang hatinya masih berada pada masa lalu. Di mana masa lalunya adalah seseorang yang mempunyai hubungan darah denganku.
Tak terdengar lagi suara dari Tasha.
Aku tahu, pasti tak akan semudah itu bagi Tasha menyerahkan diri seutuhnya kepadaku yang berstatus sebagai suaminya sendiri. Aku pun tak akan memaksa.
***
Menjelang tengah malam, aku tak kunjung bisa tidur dengan posisi yang sudah berganti. Aku mendudukkan, lalu menoleh ke arah Tasha. Perempuan itu sudah memejamkan matanya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 22:45. Aku bangkit berdiri, tiba-tiba kepikiran sesuatu. Aku keluar kamar, menuju sebuah kamar di lantai yang sama dengan kamarku. Kamarnya Arsyad. Sejak tiba di rumah dan tahu jika adikku itu kabur, kenapa aku tak mengunjungi kamarnya? Siapa tahu ada petunjuk sesuatu tentang penyebab menghilangnya lelaki itu.
Meski sekarang rasanya tak berguna lagi karena aku telah menggantikan posisinya, aku tetap saja penasaran. Meraih gagang pintu, kamar itu rupanya tidak dikunci. Ah, aku lupa, mama pasti punya kunci cadangan untuk setiap kamar di rumah ini. Pastinya kamar juga dibersihkan meski tidak ada penghuninya. Dan bisa jadi juga Arsyad pergi begitu saja, tanpa orang rumah curiga jika lelaki itu akan kabur.
Memasuki kamarnya Arsyad, aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Lalu, pandanganku tertuju kepada sebuah figura di atas nakas sebelah tempat tidur. Aku mendekat dan meraih figura itu. Terdapat fotonya Arsyad dan Tasha saling bergenggaman di dalam figura tersebut. Dari tatapan matanya Arsyad pada Tasha di foto, terlihat sekali jika dia begitu mencintai perempuan itu. Tasha… perempuan itu memang semudah itu untuk dicintai. Yang membuat aku masih bertanya-tanya, kenapa Arsyad kabur meninggalkan perempuan yang dicintainya itu?
Aku menoleh ke arah pintu saat seperti sedang merasakan kehadiran orang lain di kamar ini. Dan benar, ada Tasha yang sedang melangkah masuk ke kamar.
“Kak Azka, barusan ada— “
“Lo ngapain ke sini?” Aku berjalan ke arah Tasha di mana sekarang perempuan itu menghentikan langkah kakinya. Apa dia sedang rindu kepada Arsyad, makanya ingin mengunjungi kamar ini? “Kangen sama adek gue malam-malam? Enggak bisa tidur karena ingat dia terus, makanya datang ke sini?”
Tasha menggelengkan kepalanya.
“Aku mau masih ini, Kak. Barusan ada telepon masuk, aku kebangun. Berkali-kali soalnya. Aku pikir, ini bisa jadi telepon penting.” Tasha mengangkat ponsel di tangannya.
“Alasan.” Aku meraih ponselku itu dari tangannya.
“Aku enggak bohong. Kak Azka lihat sendiri aja di sana, ada beberapa panggilan tak terjawab. Aku mau angkat, tapi takut salah dan nanti kamunya marah.”
“Hmmm.” Aku mengibaskan tanganku. “Ya udah, balik ke kamar lagi sana!”
“Iya.” Tasha berbalik badan, kemudian kembali menghadap padaku lagi. “Aku enggak lagi kangen sama siapa-siapa saat ini. Aku barusan benar-benar lagi nyari keberadaan suamiku. Aku udah cek ke balkon kamar, ke toilet, ke lantai bawah juga sebelumnya. Sampai aku balik lagi ke atas dan ngeliat kamar di ujung kebuka, ada cahaya lampu dari dalam.”
Mencari keberadaan suamiku, katanya? Kenapa saat mendengar itu membuatku merasa ada gelenyar aneh dalam perutku?
Aku berdehem.
“Ya udah. Aku balik duluan ke kamar ya, Kak? Kak Azka jangan tidur larut, enggak bagus untuk tubuh.”
“Ya.”
Aku duduk di pinggir tempat tidurnya Arsyad setelah Tasha keluar dari kamar. Aku memeriksa ponselku. Benar, ada beberapa panggilan tak terjawab dari seseorang. Aku menyewa seorang detektif usai mengobrol dengan orang tuaku kala itu. Temanku yang merekomendasikan detektif tersebut. Aku yang wkatu itu masih berharap akan menemukan Arsyad hingga hari pernikahan tiba. Namun, tak kunjung mendapatkan kabar kabar baik.
Tasha tak akan tahu jika yang barusan menghubungiku adalah seorang detektif yang aku sewa. Aku menamai kontak detektif di ponselku dengan nama ‘Det’. Aku sampai lupa jika kemarin smaa sekali tak ada kabar dari detektif itu. Karena gugupnya sebelum acara akad dimulai hingga Tasha yang menggamit lenganku saat jalan menuju pelaminan saat resepsi, aku mendadak blank.
Layar ponselku menyala, nomor detektif itu kembali menghubungiku. Aku langsung menggeser tanda hijau pada layar ponselku.
“Ya, kenapa?”
“Pak, maaf saya baru hubungi Bapak. Saya belum menemukan keberadaan adiknya Bapak, tapi saya punya sebuah petunjuk— “
“Nggak usah cari dia lagi. Saya akan transfer kamu malam ini, kirimkan nomor rekening kamu.”
“Tapi, Pak. Apa Bapak benar-benar nggak ingin mengetahui keberadaan adik Bapak sendiri?”
“Nggak perlu lagi. Saya nggak butuh info apa-apa lagi.”
Aku telah menikahi Tasha, buat apa aku mencari keberadaan Arsyad lagi? Aku memang penasaran dengan alasannya menghilang. Akan tetapi saat ini, aku sungguh tak ingin dia muncul kembali di dalam pernikahanku dan Tasha.
Arsyad pergi dan tak kembali hingga hari di mana seharusnya dia lah yang menikah dengan Tasha. Yang berarti, dia membatalkan sepihak rencana pernikahannya dengan pujaan hati. Aku tak salah jika pada akhirnya aku lah yang menikahi Tasha. Sulit bagiku untuk menolak keinginan orang tuaku juga.