Bab 7. Ketemu Mantan

1594 Words
"Ih, Mama! Sumpah, kami nggak kayak gitu," protes Nadine. "Mama cuma mau kamu hati-hati," ujar Prapti. Ia menunjuk ke luar. "Kamu harusnya tahu kalau kita sama dia tuh udah kayak langit dan bumi! Nggak baik berhubungan sama orang konglomerat. Mama takut kalau kita dihina-hina." Jono membuang napas panjang. Ia mengangguk pelan. "Mama kamu benar. Kamu kenapa nggak mikir dua kali, Din? Astaga." "Soalnya ... semalam spontan banget." Nadine berasa bersalah sekali dengan mereka berdua. "Tapi aku bisa jaga diri." "Kamu bukan gadis murahan yang bisa dibayar, Din!" sergah Prapti. Nadine meneguk saliva. Ia merasa malu sekarang. Ia menunduk dengan ekspresi bersalah. "Kamu bukannya pacaran sama Charlie? Kenapa kamu malah harus terlibat hubungan aneh sama bapaknya?" tanya Jono. Nadine menatap ayah dan ibunya bergantian. "Sebenarnya ... aku putus." "Beneran?" tanya Jono. Prapti menyimak. Ia menunggu Nadine bercerita karena tadi Niko sudah mengatakan soal itu. "Ehm, tadi malam ... sebelum aku pulang, aku liat Charlie sama cewek lain. Mereka di kamar ... mereka baru mesra-mesraan di kamar yang biasanya aku pakai tidur. Di kafe," kata Nadine. Hatinya masih terluka jika ingat apa yang terjadi semalam. Jono dan Prapti bertukar tatap. "Kamu ... kamu diselingkuhi?" Nadine mengangguk pada ibunya. "Karena itu, aku mau bantuin Pak Niko. Aku mau balas rasa sakit hati aku sama Charlie." Prapti menutup bibirnya dengan telapak tangan. Walaupun itu ide yang bagus, tetap saja sebagai seorang ibu ia cemas. "Nggak lama, Ma. Aku janji nggak bakal aneh-aneh sama Pak Niko," kata Nadine meyakinkan. "Tunggu!" sergah Jono. "Kamu baru aja diselingkuhi?" Nadine mengangguk lesu. "Ini cuma kesepakatan sebentar, Pa. Aku mau balas rasa sakit aku ke Charlie dan Pak Niko butuh pacar palsu biar dia nggak jadi dijodohkan. Pak Niko udah baik sama kita juga, aku nggak bisa nolak." Jono dan Prapti kembali bertatapan. Mereka masih sama-sama cemas. Jono meletakkan tangannya di bahu Nadine. "Papa tahu kamu sakit hati sama Charlie, tapi keluarga Pak Niko bukan sembarang keluarga. Papa mau kamu hati-hati," ujar Jono. Nadine mengangguk. Pilihan apa yang ia punya? Ia bernapas lega karena ayahnya langsung keluar dari pondok. Ia terduduk di sofa bed yang ada di ruang tamu dengan ibunya yang masih berkacak pinggang. "Pokoknya, mau sandiwara apa nggak, kamu harus hati-hati. Apalagi kalau kalian tidur sekamar, Mama nggak kamu kamu diapa-apain kalau kalian nggak ada status yang jelas!" gertak Prapti. "Maa! Aku nggak gitu, serius!" gerutu Nadine dengan wajah memerah. "Mama cuma khawatir sama kamu," tukas Prapti. Wanita itu merapikan rambutnya lalu membuang napas panjang. "Mama harus kembali bekerja. Kamu di sini aja." *** Niko berdiri cukup lama di dekat mobilnya. Ini hari pertama Jono bekerja, tetapi pria itu tak kunjung kelihatan. Ia bisa menebak, setelah obrolannya dengan ibu Nadine, pasti Jono wanita itu juga perlu bicara dengan suaminya. "Maaf, Pak. Saya telat dikit," kata Jono yang baru saja berlari ke arah mobil Niko. Niko mengangguk pelan. Ia masuk ke mobil disusul oleh Jono. Ia bisa merasakan tatapan liar Jono ketika mereka hanya berdua saja di mobil. "Saya yakin Bapak udah dengar semuanya dari Bu Prapti ... atau mungkin dari Nadine," kata Niko membuka obrolan. "Ya," jawab Jono seraya menoleh sedikit. Ia mencengkeram setir mobil dengan erat. "Kami memang miskin, Pak, kami juga sedang kesusahan, tapi seharusnya Bapak nggak memanfaatkan itu untuk menjadikan Nadine pacar palsu Bapak." "Ehm ... sebenarnya saya nggak bermaksud begitu," tukas Niko. Ia mengusap tengkuknya. "Saya yang butuh bantuan Nadine dan kebetulan Nadine ada di dekat saya semalam, jadi ... semuanya terjadi begitu saja. Saya nggak berniat memanfaatkan Nadine karena keadaan kalian. Saya tidak berbohong." "Tapi Bapak mau bayar putri saya. Apa putri saya terlihat murahan?" "Tolong jangan tersinggung, Pak," sahut Niko. Sebenarnya ia maklum jika Jono tersinggung, semua orang tua pasti akan merasa seperti itu. "Saya berjanji tidak akan menyakiti Nadine." "Saya akan minta tanggung jawab kalau sesuatu sampai terjadi dengan putri saya!" "Ya, saya mengerti, Pak." Niko menatap ke luar mobil. Ia melonggarkan dasinya sedikit karena mendadak ia merasa sesak. Kenapa ia harus begini? Repot sekali berurusan dengan wanita. Makanya, ia sangat malas menjalin hubungan selama ini. Lebih baik melajang, tidak menambah beban pikirannya. Niko teringat pada Charlie karena obrolan ini. Ia merogoh ponselnya lalu mencari kontak Charlie. Ia menekan tombol panggil, tetapi nomor anaknya itu tidak aktif sama sekali. "Ah, anak kurang ajar, kenapa susah banget dihubungi?" *** Petang itu, Charlie membelokkan mobilnya ke rumah besar Niko. Sudah agak lama ia tidak mendatangi rumah ayah biologisnya itu. Ia dan Niko memang tidak dekat. Mereka jarang bertemu, jarang bicara dan terkadang tidak terlihat seperti ayah dan anak. Namun, karena Niko kaya-raya, ibunya terus mendesak ia untuk mendekatkan diri dengan sang ayah. Ibunya sangat ingin Charlie bisa menjadi bagian dari keluarga Niko. Syukur-syukur jika Niko bisa dijadikan pewaris keluarga itu. Niko dan Renata tidak pernah menikah, tetapi sejak Renata mengaku hamil, keluarga Niko yang membiayai kebutuhan hidup Charlie. Dan ketika Niko sudah mulai bekerja, ia juga terus memberikan uang untuk Charlie. Sesekali, ia juga bertemu dengan Charlie. Itu membuat Charlie tak merasakan kasih sayang seorang ayah dengan layak. Hampir bisa dibilang, ia membenci ayahnya. Ia benci dilahirkan dari hubungan aneh Niko dan Renata. "Tuan Muda!" sapa Sulis, kepala pelayan rumah itu saat Charlie masuk. "Ehm, mana Papa? Belum pulang?" tanya Charlie. Ia berjalan menuju ruang makan lantas mencomot anggur yang ada di atas meja. "Belum, Tuan. Sepertinya sebentar lagi," jawab Sulis. Yah, Niko sedang mampir ke supermarket untuk membeli peralatan mandi Nadine, juga beberapa pakaian baru. Charlie mengangguk. Ia tahu ayahnya sibuk. "Kakek ke sini?" "Katanya nanti mau ke sini, mau makan malam di sini, Tuan," ujar Sulis. Charlie menjulurkan kepalanya, ia bisa melihat pelayan-pelayan yang sibuk di dapur. Kedua matanya tak berkedip saat ia menemukan sosok Prapti di sana. Ia kemudian menggeleng, tak mungkin itu ibu Nadine, kan? "Apa ada pelayan baru di sini?" tanya Charlie. "Ya, ada beberapa yang baru, Tuan. Anda mau minum apa? Biar saya buatkan?" tanya Sulis. "Nanti aja, aku mau liat anjing-anjing Papa," kata Charlie. Ia kembali mencomot anggur lalu keluar sambil mengunyah buah berwarna ungu itu. Charlie keluar dari pintu belakang, tanpa menyadari tatapan Prapti tajam yang tertuju padanya. Ia membawa bola yang biasa dipakai oleh para anjing bermain. Begitu ia melihat mereka, ia langsung mendekat dan bertepuk tangan. Bruno menyalak, seolah mengenali Charlie. Bio dan Bruce bangun dari tidur mereka sementara Bingo yang terkecil berhenti mengejar ekornya sendiri. Keempatnya adalah anjing jenis German Shepherd. Charlie masih tidak mengerti kenapa ayahnya memelihara anjing seperti itu, padahal ada banyak jenis anjing yang menggemaskan. "Bingo! Catch this!" Charlie melemparkan bola itu. Si kecil Bingo langsung mengejar bola, lalu kembali ke arah Charlie. Charlie tertawa senang. Ia berjongkok untuk mengusap-usap anjing itu. Ia membiarkan anjing lain mendekat dan ia juga membelai bulu mereka. "Kalian udah tambah besar ternyata," ucapnya sambil memeluk anjing itu satu persatu. Charlie baru saja hendak bermain dengan bola lagi ketika tiba-tiba ia melihat seorang gadis keluar dari salah satu pondok ayahnya. Ia menyipitkan matanya. Bruno menyalak keras secara tiba-tiba hingga gadis itu terlonjak kaget. Charlie tadinya tidak yakin bahwa gadis itu adalah Nadine, tetapi sekarang, ia langsung tahu bahwa itu memang Nadine. "Nadine ... kenapa dia di sini?" tanya Charlie pada dirinya sendiri. Charlie berhenti membelai para anjing, ia berjalan ke arah Nadine yang berusaha menjauh dari posisi para anjing. Yah, ia tahu anjing itu tidak menyerangnya, tetapi ia masih trauma jika dikejar lagi. "Hei! Kamu ngapain di sini?" tanya Charlie pada Nadine. Nadine hanya mendengkus. Anjing Niko ada empat, tetapi melihat Charlie ada di antara mereka membuatnya merasa anjing itu sudah bertambah satu. "Jawab aku!" seru Charlie seraya menarik lengan Nadine. "Apa-apaan sih kamu?" Nadine memutar pergelangan tangannya yang ditarik oleh Charlie. Sialnya, Charlie mencengkeram tangan itu dengan erat. "Lepasin!" "Kenapa kamu bisa di sini?" tanya Charlie lagi. Nadine menyeringai. "Bukan urusan kamu!" "Ah! Mama kamu kerja jadi pembokat di sini makanya kamu juga ikut numpang tinggal di sini, ya?" tanya Charlie. Nadine mengerutkan keningnya. Entah apa yang merasuki Charlie, ia ingat dulu Charlie tak pernah menghinanya. Namun, entah bagaimana kini ia merasa Charlie begitu sombong. Apakah itu karena mereka ada di rumah Niko dan Charlie merasa dirinya adalah tuan muda di sini? "Ya, aku tinggal di sini. Kamu tahu kenapa?" Nadine balik bertanya pada Charlie. Ia menarik tangannya lebih kuat hingga terlepas. "Kenapa?" Charlie tertawa mencemooh. "Udah jelas kenapa, aku liat mama kamu masak di dapur." Nadine mencibir seketika. "Itu benar, tapi alasan aku tinggal di sini tuh karena sekarang aku pacaran sama papa kamu." "Apa?" Awalnya Charlie ternganga, tetapi kemudian ia tertawa keras. "Ya ampun, Din! Kamu jangan konyol! Kamu ngaku-ngaku?" "Nggak, aku beneran." "Aku yakin kamu cuma bercanda. Kamu mau balas aku gara-gara yang semalam?" tanya Charlie yang masih tak bisa menghentikan tawanya. "Aku nggak bohong!" seru Nadine. "Aku bakal nikah sama papa kamu!" "Ngawur kamu!" Charlie berhenti tertawa. Ia jelas tak bisa membayangkan Nadine akan menikah dengan ayahnya. "Kenapa? Kita udah putus, papa kamu juga lajang. Terserah kami mau nikah atau pacaran," ujar Nadine. Wajah Charlie agak memucat. Jika benar Nadine menikah dengan Niko, apa ia akan jadi anak tiri Nadine. Itu sama sekali tidak masuk akal. "Kamu nggak bohong?" Nadine mengangkat bahunya. "Tanya aja sama Om Niko nanti kalau dia udah pulang." Charlie mengepalkan tangannya. Ia tak menyukai ini. Mendadak ia dirundung amarah. Ia menoleh ke para anjing. "Aku nggak akan mau punya ibu tiri yang seumuran sama aku," desis Charlie. Ia menjentikkan jarinya dan para anjing bersikap waspada kecuali Bingo yang masih kecil. "Kamu mau ngapain?" tanya Nadine waswas. Ia mundur dua langkah. "Bio! Bruce! Kejar cewek ini!" titah Charlie. Nadine terkesiap. Ia membalik badan dengan cepat ketika dua anjing besar—lebih besar dibandingkan Bruno—berlari ke arahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD