Bab 4. Di Kamar Niko

1367 Words
Nadine menoleh ke sekelilingnya, yah, ia berada di kamar Niko dan itu membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Baru kali ini ia berduaan di kamar dengan seorang pria. Dan pria itu sama sekali tidak ia kenal. "Kamu bisa duduk di mana saja," kata Niko yang merasakan kebingungan Nadine. "Oh, ya." Nadine melangkah ke kursi yang ada di depan meja kerja Niko lalu menariknya dan duduk. Ada banyak furnitur di dalam kamar itu. Sofa di tepi ruangan, ranjang ukuran king yang terlihat nyaman, meja rias sampai meja kerja yang penuh dengan tumpukan berkas dan buku. Nadine tak ingin duduk di atas ranjang asing. Jadi dengan canggung ia memilih duduk di kursi kerja Niko. Sebaliknya, Niko kini duduk di tepi ranjang. "Kamu cukup dekat dengan Charlie selama ini?" tanya Niko. Nadine mengangguk. Mereka lebih dari dekat. Mereka pacaran! Yah, sampai malam ini hubungan mereka kandas. "Jadi, kamu merasa nggak enak kalau Charlie tahu kamu pacaran sama papanya?" tanya Niko lagi. "Ya, tentu aja. Tapi ... Bapak kelihatan masih muda. Saya sama Charlie hampir sebaya, dia setahun lebih muda dari saya, 22 tahun, saya 23. Dan papa saya udah hampir kepala lima. Saya cuma agak heran," kata Nadine. Niko menyilangkan kedua kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri dan telapak tangannya terpaut di lutut kanannya. Sudah lama sekali tak ada yang menanyakan itu, dan ia sendiri bingung bagaimana menceritakannya. Bagaimanapun, itu adalah aib baginya. "Kalau nggak mau cerita, ya, udah," kata Nadine seraya berdiri. "Tunggu!" Niko melepaskan lututnya. Ia menatap Nadine penuh makna lalu mengedikkan dagu agar gadis itu kembali duduk. Ia menebak ayahnya masih menguping di pintu, kendati pria itu juga tak akan mendengar apa pun. "Kamu mungkin akan memiliki prasangka buruk sama saya kalau kamu mendengar semuanya, tapi ... yah, saya punya anak waktu umur saya masih 18 tahun," kata Niko. Nadine menggigit bibirnya. Pantas saja Niko masih terlihat muda. Mereka hanya terpaut usia 18 tahun. Dan bukankah itu masih usia remaja? Niko mungkin baru lulus SMA dan itu berarti Niko sudah melakukan hubungan seksual sejak sekolah? Itu agak membuat Nadine tercengang. "Kamu mungkin nggak akan percaya kalau saya katakan saya dulu dipaksa, itu bukan hal yang benar-benar saya inginkan," kata Niko lagi. Ia tak ingin Nadine beranggapan bahwa ia adalah pria yang mengerikan sampai-sampai punya anak di usia belia. "Ehm, oke. Sebenarnya, saya nggak pernah dengar soal Bapak dari Charlie, makanya saya kaget aja," ujar Nadine. "Ya, bisa dibilang kehadiran Charlie bukanlah keinginan saya dulu. Jadi, kami nggak begitu dekat. Bahkan sampai sekarang ... kami nggak kelihatan kayak bapak dan anak, tapi tetap aja, Charlie anak kandung saya," kata Niko. "Kenapa bisa begitu?" tanya Nadine bingung. "Saya kira, Charlie lahir karena gairah remaja yang menggebu-gebu." Niko menelan saliva. "Itu nggak benar. Saya dirayu dan dilecehkan malam itu. Wanita itu mengincar harta keluarga saya makanya nekat berbuat seperti itu. Dia memaksa saya untuk menikahinya karena dia hamil, tapi saya nggak mencintai dia. Dan saya tahu, dia juga tidak mencintai saya. Jadi ... beginilah akhir hubungan saya dengan Charlie." Nadine agak menegang mendengar cerita Niko. Dirayu dan dilecehkan? Apa yang sebenarnya terjadi? Ia tak ingin bertanya secara detail karena ekspresi Niko yang mengeras. Namun, Nadine ingat cerita Charlie. Ia bahkan mengenal sosok ibu Charlie. Renata, wanita itu sangat cantik. Usianya mungkin hampir 50 tahun, lebih tua dibandingkan Niko pastinya. Dan Renata memiliki suami—ayah tiri Charlie. Charlie tak pernah membahas ayah kandungnya, hanya berkata bahwa ayah kandungnya baik, tetapi mereka tidak tinggal serumah. Itu saja. "Kenapa kamu tertarik dengan kisah kelahiran Charlie?" tanya Niko membuyarkan ingatan Nadine. Nadine menggeleng pelan. "Cuma penasaran." Niko mengulum bibirnya. "Oke, Charlie jarang ke sini, dia juga masih kuliah di Amerika." "Nggak, dia udah pulang," sahut Nadine spontan. "Darimana kamu tahu?" Niko menyipitkan matanya. Ia sendiri yang membayar biaya kuliah Charlie dan membelikan tiket anak itu. Ia juga yang memilih apartemen untuk ditinggali Charlie di sana dan membayarnya. Nadine membuang napas panjang. "Karena sebelum saya ke sini, saya udah ketemu sama Charlie. Dia ... sebenarnya dia mantan pacar saya." "Apa?" Niko terkesiap sempurna. "Itu nggak mungkin, pacar Charlie namanya Yessy." Sial, pikir Nadine. Jadi pelakor itu yang justru dikenalkan sebagai pacar oleh Charlie pada ayahnya. "Saya pacaran sama Charlie sejak awal kuliah, saya juga adalah partner Charlie membangun kafe Lova King!" Nadine mulai terbakar amarah karena ia teringat apa saja yang telah ia lakukan bersama Charlie. Mereka sama-sama berjuang, tetapi akhirnya ia dikhianati. Bibir Niko langsung terbuka lebar. Benarkah? Ia tahu Charlie mengelola kafe, tetapi ia tak pernah mengenal Nadine sebelumnya. "Dan malam ini, saya lihat dia sama cewek lain di sana. Yah, namanya Yessy! Tapi Yessy itu cuma selingkuhan Charlie," kata Nadine. "Anak nggak tahu diri!" desis Niko di antara rasa malu dan marahnya. "Jadi, dia udah pulang ke Jakarta?" Nadine mengangguk. "Kami putus, malam ini juga." Niko mendesahkan napas panjang. Kini, ia merasa sangat tak enak pada Nadine—juga pada Charlie. Ia terlanjur meminta Nadine berpura-pura sebagai pacarnya dan ternyata Nadine adalah pacar—mantan—anaknya sendiri. "Saya akan bicara dengan Charlie besok. Kamu mau balikan lagi sama dia?" tanya Niko. Nadine memutar bola mata. Ia tak sebodoh itu. "Nggak mungkin!" serunya. "Dia udah tidur sama Yessy! Saya nggak akan pernah mau balikan sama Charlie!" Niko agak terkejut. Ia tak tahu seperti apa gaya pacaran Charlie selama ini. Ia mempercayakan Charlie pada Renata, kecuali untuk biaya pendidikan dan hidup, ia yang menanggung. "Bagus, kalau kamu nggak mau balikan sama Charlie, kalau gitu aman. Kamu bisa tetap pura-pura jadi pacar saya." Nadine mencebik. Yah, ia harus melakukan ini. Ia akan membuat Charlie sakit hati jika ia memacari ayahnya. Mereka tak akan pernah kembali seperti dulu, tetapi ia yakin itu cukup untuk membalaskan luka di hatinya. "Sebaiknya kamu tidur, kamu bisa tidur di ranjang, saya akan tidur di sofa," kata Niko seraya berdiri. Nadine mengusap tengkuknya dengan gelisah. "Apa saya nggak bisa balik ke pondok aja?" "Besok, ya. Papa pasti masih di luar ngawasin kita," kata Niko. "Saya janji nggak akan apa-apakan kamu." "Ehm, oke. Tapi Mama sama Papa pasti bingung kalau saya nggak ada di sana," ujar Nadine. Ia tak membawa ponselnya. "Besok saya buat alasan." Nadine menatap Niko masuk ke toilet kamar. Ia membuang napas panjang, merasa gila atas semua ini. Karena tak tahu apa yang harus dilakukan, Nadine akhirnya mendekati ranjang. Entah bagaimana, ia merasa sangat mengantuk saat ini. Padahal tadi ia tak bisa tidur. "Saya matikan lampunya, ya," kata Niko ketika ia keluar dari toilet dan telah berganti dengan baju tidur. "Oh, ya." "Santai aja, kamu bisa tidur dengan nyaman di sini," ujar Niko seraya mengambil satu bantal dari atas ranjang. Nadine menelan saliva. Ia membaringkan diri dengan d**a yang sangat gaduh. Ranjang Niko begitu lembut, empuk, juga wangi. Tampaknya ini yang membuat ia lekas mengantuk, atau mungkin karena ini memang sudah sangat malam. Nadine membelakangi sofa, tetapi ia takut juga dianggap tidak sopan. Ia menggeleng. "Aku harus jaga-jaga, gimanapun, ini kamar laki-laki dewasa!" Nadine tetap membelakangi Niko. Sampai akhirnya ia semakin mengantuk dan jatuh tertidur. Berbeda dengan Nadine yang lekas terlelap, Niko tak bisa tidur malam itu. Ia memiringkan tubuhnya dan menatap sosok mungil yang berbaring di atas ranjangnya. Selama ini, ia selalu tidur sendiri, tak berhasrat untuk tidur bersama wanita meskipun ia adalah pria dewasa. Semua itu karena trauma besar yang ia alami ketika masih muda. Semua itu karena Renata—ibu Charlie. Orang-orang menganggapnya pembohong karena ia mengaku sebagai korban pelecehan seksual, padahal ia adalah laki-laki. Ia justru dianggap telah memperkosa guru lesnya sendiri. Dan kini di dalam kamarnya, terbaring gadis muda yang tak lain adalah mantan kekasih anaknya. Kepala Niko berputar, benarkah Charlie telah tidur dengan pacarnya? Apakah gadis ini juga telah ditiduri? "Apa Nadine sama kayak wanita-wanita liar di luar sana?" Niko menggumam. Sebenarnya, ia tak ingin terlibat dengan wanita mana pun. Karena itu ia menolak menikah. Traumanya terlalu besar dan terus menghantui. Ia berniat untuk melajang seumur hidupnya. Kedua mata Niko masih menatap Nadine yang baru saja mengubah posisi berbaringnya. Jika tadi ia hanya bisa melihat punggung Nadine, kini gadis itu miring ke arahnya. Senyum Niko terkembang tipis. Sejak melihat Nadine, ia menyadari bahwa gadis itu sangatlah cantik. Bahkan di bawah gelapnya kamar, ia bisa melihat itu. "Semua yang cantik bisa menyakiti, ingat itu, Nik." Senyum Niko lenyap sebelum ia memejamkan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD