Bab 5. Sarapan Bersama

1510 Words
Nadine membuka matanya perlahan. Ia mengerjap beberapa kali sampai akhirnya ia bisa melihat isi kamar yang sama sekali berbeda dengan kamar miliknya. Ia agak terkesiap, menelentangkan dirinya lalu menatap langit-langit kamar seiring ingatannya membuat ia tersadar. "Aku di kamar Pak Niko!" Nadine berdebar keras. Ia menoleh ke sisi ranjang yang kosong dan rapi, tak ada tanda-tanda orang lain tidur di sana. Dan ketika ia menatap ke sofa, sosok Niko masih tidur di sana, meringkuk aneh karena sofa itu tentu tak cukup panjang untuk tubuhnya yang tinggi besar. Nadine menelan saliva. Ia masih tak mempercayai ini, bagaimana mungkin ia bisa tidur sekamar dengan ayah mantan pacarnya. Ia meraba dadanya. Luka hatinya seolah masih basah dan menyakitkan karena baru semalam ia melihat adegan senonoh Charlie dan Yessy. "Ah, udah deh. Lupain aja Charlie," batin Nadine. "Mendingan aku keluar dari kamar ini sebelum Pak Niko bangun. Mama pasti nyariin aku!" Nadine seketika panik. Ia bahkan tak mencuci wajahnya karena ia merasa harus segera kembali ke pondok orang tuanya. Apa yang akan mereka katakan jika tahu ia tidur di kamar Niko? Sungguh gawat! Pikir Nadine. Nadine menuruni ranjang dengan sangat perlahan lalu berindap-indap menuju pintu. Ia berusaha memutar gagang pintu tanpa suara. "Nggak ada orang, ini masih pagi banget," gumam Nadine ketika ia melongokkan kepalanya ke luar kamar. "Aku bisa keluar dengan aman." Nadine kembali melangkah dengan sangat perlahan. Ia harus ke lantai satu lalu mengambil sandalnya yang ada di rak dekat pintu utama. Jadi, ia bergegas menuju anak tangga. "Nak Nadine, kamu mau ke mana?" Tubuh Nadine menegang. Pegangannya di railing tangga mengetat lalu ia menoleh. Ia tersenyum canggung pada Morgan yang berdiri di puncak tangga, menatapnya dengan penasaran. "Kita sarapan bareng," kata Morgan. "Ah, ya. Aku cuma ... ehm, mau olahraga," sahut Nadine. "Pakai baju tidur kayak gitu?" Nadine menunduk, ia menatap dirinya sendiri yang masih mengenakan baju tidur bergambar Hello Kitty. Sungguh memalukan! "Bangunin Niko, kamu juga harus mandi dan ganti baju dulu," ujar Morgan. Kedua kaki Nadine seperti dilem di anak tangga. Ia ingin berlari turun, tetapi tatapan Morgan menuntutnya untuk naik ke kamar Niko lagi, mandi lalu ganti baju. Padahal, ia sama sekali tak memiliki baju ganti di sini. Semua pakaiannya ada di koper di pondok luar. Apa yang akan ia lakukan? "Kamu nggak mau naik?" tanya Morgan lagi. "Ya, Om." Nadine yakin ia telah ketahuan, pria tua ini pasti tak percaya dengan sandiwara pacar-pacaran yang ia lakukan dengan Niko. Ah, kenapa ia begitu ceroboh? Nadine membungkuk hormat pada Morgan sebelum ia menghilang di kamar Niko lagi. Di sana, ia mendapati Niko telah bangun. Pria itu menatapnya kaget. "Aku nyariin kamu, kamu dari mana?" tanya Niko. "Aku ... aku mau balik ke pondok," ujar Nadine. Ia mengusap tengkuknya gusar. "Tapi ... papanya Bapak ada di luar." Niko mendesahkan napas panjang. Pasti begitu, ia tahu ayahnya adalah orang yang gigih. Dan kini, mungkin ayahnya akan mencari informasi lewat para pelayan. Beruntung, semalam ia telah mengirim pesan pada Sulis, kepala pelayannya bahwa ia membawa pacarnya ke rumah ini. "Mendingan kamu mandi, abis sarapan, Papa pasti pergi dari sini. Dia harus kerja juga," kata Niko. Nadine mengangguk, tetapi ia masih bingung. "Aku nggak punya baju ganti." Niko menggigit bibirnya. Itu benar juga. Tak mungkin Nadine memakai pakaiannya, tak mungkin pula ia meminjam pakaian salah satu pelayan di sini. "Mandi dulu, aku carikan baju Sabrina nanti," kata Niko. "Sabrina?" Nadine mengerutkan keningnya. "Adik aku. Nanti aku bawakan ke sini." Nadine mengangguk. Ia segera masuk ke kamar mandi Niko. Ia mengedarkan mata, belum pernah ia mandi di sini, jadi rasanya sangat canggung. "Nggak ada alat mandi cewek," gumam Nadine. Ia meraih saja handuk yang ada di rak lalu dengan sabun dan shampo Niko, ia akhirnya mandi. Sementara itu, Niko baru saja masuk ke kamar yang berbeda dengan yang dipakai ayahnya tidur. Dulu, Sabrina sering menginap di sini. Terutama ketika gadis itu membuat masalah dan tak ingin dimarahi oleh ayah mereka. "Untung masih ada beberapa baju yang dia tinggal." Niko mengambil gaun rumahan dan satu setel pakaian dalam. Ia tak tahu apakah itu pas untuk Nadine atau tidak karena Nadine jauh lebih mungil dibandingkan adiknya. Ia mengintip keluar, memastikan ayahnya tak ada di sekitar situ lalu membawa pakaian Sabrina ke kamar. Ia berharap ayahnya tak akan curiga jika Nadine memakai pakaian Sabrina. "Din, kamu udah selesai mandi?" tanya Niko seraya mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada jawaban. Apakah ia terlalu pelan bertanya? Niko mengetuk lagi. "Nadine?" "Eh, ya!" Terdengar seruan dari dalam. Niko berdebar-debar saat pintu itu dibuka dari dalam. Ia bisa melihat Nadine yang hanya memakai handuk putih di tubuhnya. Handuk itu melingkar sebatas d**a, membuat leher, bahu dan tulang selangkanya terlihat. Niko menelan saliva. Ia juga bisa melihat belahan d**a Nadine saat ini dan itu sungguh merisaukan dirinya. Aroma tubuh Nadine juga adalah godaan yang luar biasa baginya, padahal itu hanya aroma sabun yang biasa ia pakai. Atau mungkin shampo. Rambut Nadine yang basah, lengket ke sisi lehernya membuat Nadine terlihat lebih seksi hingga Niko tak berkedip. "Pak, bajunya ada?" tanya Nadine canggung. "Oh. Ya." Niko segera memalingkan wajahnya. Ia mengulurkan tangan pada Nadine. "Semoga pas." Nadine mengangguk. "Makasih." Ia menerima pakaian bersih itu dari Niko lalu segera membalik badan. Tatapan Niko kembali terarah ke sana. Walaupun hanya sejenak karena Nadine langsung menutup pintu, ia bisa melihat segalanya. Lekuk tubuh indah yang dibalut handuk, dua pasang paha mulus dan kaki telanjang. "Apa yang kamu bayangkan, Nik?" Niko memukulkan kepalan tangannya ke kening. Ia berjalan menuju lemari, mengambil pakaiannya sendiri lalu duduk di tepi ranjang menunggu Nadine selesai. Tak lama, Nadine keluar dengan tangan menggosok rambutnya yang basah. Ia langsung bertemu tatap dengan Niko. "Ehm, udah, Pak." Nadine mengalihkan tatapannya ke meja rias Niko. "Boleh saya pinjam sisir?" "Ya, silakan." Niko berdiri, tetapi ia tak lantas masuk ke kamar mandi. Ia menatap Nadine lagi. "Ehm, ngomong-ngomong, kita harus bicara senatural mungkin di depan Papa. Jangan panggil saya sesopan itu." "Jadi saya harus panggil apa, Pak?" tanya Nadine. "Om, panggil aja gitu." "Om Niko," gumam Nadine. Kenapa ia jadi merasa seperti sugar baby pria-pria konglomerat? "Ya, bakalan aneh kalau kita bicara formal di depan Papa," kata Niko lagi. "Ini cuma buat sandiwara, jadi kamu tenang aja. Para pelayan juga sudah tahu kamu tidur di sini. Mereka juga mengira kita pasangan." Nadine membuang napas panjang. Ternyata ini cukup sulit. "Oke, aku ngerti, Om." Niko tersenyum tipis. Ia lega Nadine mau menurut padanya. "Sampai kapan kita harus begini?" tanya Nadine. Niko juga tak tahu pasti. "Tiga atau enam bulan ke depan. Itu cukup untuk meyakinkan Papa." "Apa selama itu aku harus tinggal di sini? Maksud aku di rumah ini?" tanya Nadine waswas. "Ya, lebih baik kayak gitu. Lebih meyakinkan," sahut Niko. Nadine menelan saliva. Ia memainkan ujung rambutnya yang basah. "Nanti kita bicarakan lagi. Aku harus mandi, abis itu kita sarapan dan kalau Papa udah pergi, kita bisa lega." Nadine mengangguk. Ia sudah sangat ingin turun lalu pulang ke pondok. Ia harus mengatakan apa pada ibunya? Pasti mereka panik mencarinya. Mereka ada di tempat baru dan ia tiba-tiba menghilang dari pondok. Jelas itu tidak akan baik. *** Ketika Nadine turun ke lantai satu bersama Niko, Morgan telah menunggu dan duduk di kursi utama meja makan. Nadine langsung panas-dingin. Ia berharap agar pria tua itu tidak bertanya yang aneh-aneh. Nadine baru saja hendak duduk ketika tiba-tiba ia melihat ibunya datang dengan teko. Prapti langsung melotot. "Nadine ... kamu kenapa di sini?" Sembari menuangkan teh, Prapti berisik. Ia sangat terkejut melihat putrinya memakai pakaian bagus dan duduk bersama Niko juga ayahnya. Yah, mereka telah duduk di sana juga semalam, tetapi pagi ini rasanya berbeda. Prapti sudah mencari Nadine ke sana kemari sejak membuka mata. Ia cemas dan kini ia dikagetkan dengan keberadaan Nadine di meja makan. Niko berdehem, ia menyadari kecanggungan yang sedang terjadi. "Maaf, Bu, bisa kita bicara?" "Ah, ya." Prapti mengangguk. Ia meletakkan teko di sisi meja lalu mengikuti Niko. Kedua matanya masih melirik ke arah Nadine. "Ada apa, Pak? Kenapa putri saya ikut sarapan di sini?" tanya Prapti. "Maaf, Bu," ujar Niko. Ia mencoba menemukan gagasan yang pas untuk menjelaskan pada Prapti. Dan nyatanya, ia memutuskan untuk jujur saja para wanita itu. "Saya minta bantuan Nadine untuk berpura-pura jadi pacar saya di depan Papa." "Apa?" Prapti seketika ternganga. "Saya minta maaf, tapi ini hanya pura-pura," tegas Niko. Prapti membuang napas panjang. Ia sangat cemas jika putrinya terlibat dengan pria kaya seperti Niko. Mengetahui bahwa Charlie adalah anak Niko, itu sudah membuatnya khawatir. Kini, Niko malah mengajak Nadine bersandiwara. Apakah ini akan baik-baik saja? "Saya akan membayar Nadine, tenang saja, Bu," ujar Niko lagi. Prapti mengepalkan tangannya seketika. Ia menoleh ke pintu ruang makan. "Bapak pikir putri saya gadis murahan yang bisa dibeli? Hah?" "Bukan begitu, tapi ...." "Nggak! Nggak! Jangan main-main dengan putri saya!" "Saya nggak berniat main-main! Saya cuma butuh bantuan!" desak Niko. "Saya nggak peduli dengan sandiwara itu. Pokoknya saya nggak mau putri saya dibeli seperti itu!" "Bu, plis. Cuma bentar, saya jamin Nadine baik-baik saja." Prapti mendengkus. Ia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Niko. "Saya nggak tahu orang kaya bisa seenaknya begini. Tapi kalau Nadine sampai kenapa-kenapa, saya nggak akan terima!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD