“Tidak pernah ada cinta yang lain, selama ini aku hanya mencintaimu Mas Gara.” Ucapan tersebut hanya tinggal di dalam bibirnya tanpa bisa terlontar dari bibir Andini. Kedua kakinya hampir tidak kuat lagi berdiri. Hatinya benar-benar hancur mendengar tuduhan dari pria yang selalu menjadi harapan satu-satunya akan membuatnya bahagia. Andini masih terdiam sambil memegangi ambang pintu ruangan kerja Anggara.
“Nggak punya mulut kamu? Mau aku bawa buktinya!” Bentak Anggara padanya. Pria itu membuka laci meja kerjanya. Dia hampir mengeluarkan berkas DNA yang dia simpan di sana.
“Aku akan pulang ke rumah Papa untuk sementara waktu. Aku kira malam ini akan jadi malam sempurna.. hari ini adalah ulang tahun perkawinan kita, tapi Mas jahat! Mas Gara jahat! Mas lupa, Mas Gara malah sama Ayu.. hiks, hiks, hiks.” Andini tidak sanggup menahan air matanya lagi. Wanita itu menangis terisak-isak di ambang pintu ruangan kerja Anggara. Jemarinya meremas kuat ambang pintu, hatinya hancur dan sakit.
Anggara meremas berkas yang sudah dia genggam di dalam laci. “Sraak! Braak!” Pria itu kembali menutup laci meja kerjanya dengan kasar lalu menatap tajam ke arah Andini. “Tega kamu Ndin! Yang jahat itu kamu! Kenapa kamu maksa nikah sama aku? Kamu tahu aku pria seperti apa? Kamu juga tahu aku itu nggak sudi nikahin kamu! Tapi kamu mengandalkan Papamu untuk menghancurkan masa depanku! Kamu tahu aku bukan dari keluarga kaya sepertimu! Aku meniti karir ini dari nol, Ndin! Dari noooool! Aku hidup dengan beasiswa di Surabaya! Jika otakku ini nggak fungsi mana mungkin aku terpilih menjadi pelajar terbaik! Tapi kamu! Kamu memiliki orang tua kaya raya! Apa-apa kamu andalkan duiiit! Duit! Duit!” Teriaknya pada Andini.
Anggara berjalan lebar menuju ke arah pintu, ditabraknya Andini sampai wanita itu jatuh terguling dan terduduk di lantai. Andini langsung menahan langkah kaki Anggara dengan memeluk kaki kanan pria tersebut.
“Mas, Mas Gara! Mas, mau ke mana!? Jangan tinggalin aku! Aku nggak mau!” Ucapnya sambil menangis.
“Fine, jangan pulang ke rumah kedua orangtuamu! Tetap tinggal di rumah! Aku malas lihat kamu belum mandi, aku mau cari udara sebentar di luar.” Serunya seraya menarik kakinya dengan kasar. Lalu merogoh rokoknya dari dalam saku bajunya. Anggara menyulutnya sambil berjalan dengan langkah lebar menuju ke arah beranda rumah.
Andita baru pulang, gadis itu baru turun dari motornya. Andita melihat kakaknya sedang membawa kunci mobilnya menuju ke arah garasi di samping rumah tempat dia memarkir motornya barusan.
“Mas Gara? Sudah hampir pukul sembilan loh, Mas mau pergi?” Tanya Andita pada kakaknya.
“Sudah sana masuk, nggak usah ikut campur!” Gerutu Anggara dengan nada ketus.
Andita hanya menepi memberikan jalan untuk dilalui mobil Anggara sambil meremas tali tas pada kedua bahunya. Gadis itu tidak berani berkomentar lagi. Andita hanya menatap Anggara yang kini sudah berlalu pergi keluar dari dalam halaman bersama mobilnya.
“Kenapa sih Mas Gara? Ada saja masalah.” Andita menggelengkan kepalanya sambil berjalan masuk ke dalam. Sampai di dalam dia mendapati Andini sedang duduk bersimpuh di ambang pintu ruangan kerja Anggara.
Andita bingung sekali antara masuk ke dalam kamarnya, atau menghampiri Andini di sana. “Haduh, gimana ini? Aku ndak enak sama Mbak Dini. Apa Mbak Dini tahu kalau Mas Gara sama Ayu punya hubungan?” Andita bingung sekali tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya dia pergi menghampiri Keisya dan Firdan.
“Kak Dita!” Seru dua anak itu begitu melihat Andita berjalan menuju ke arah mereka berdua. Padahal Andita sangat lelah sekali, dia baru pulang dari kampus lalu mengerjakan tugas kelompok bersama beberapa temannya. Dan sekarang dia harus menemani dua keponakannya tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu.
“Kalian sudah selesai makan malamnya?” Tanyanya seraya mengusap puncak kepala dua anak tersebut. Keduanya mengangguk lalu turun dari kursi meja makan.
“Kak Dita temani Firdan sama Kei, ya? Mama sama Papa bertengkar lagi, Kei nggak berani nyari Mama di sana..” Keisya menunjuk ke arah koridor menuju ruangan kerja Anggara.
“Iya, ayo ke kamar. Kakak temani kalian, okay? Tapi harus cepat bobok ya? Kakak masih harus kerjain tugas.” Ucapnya sambil menatap dua anak tersebut.
“Iya, Kei akan cepat bobok.” Janji Keisya pada Dita.
“Firdan?” Dita menegur anak laki-laki tersebut sambil menggandengnya menuju ke kamar menyusul Keisya sang kakak.
Usai menidurkan kedua keponakannya, Dita keluar dari dalam kamar tersebut menuju ke arah kamarnya sendiri.
Di sisi lain.. Anggara terus berputar-putar keliling kota. Setelah beberapa putaran dia tanpa sadar menghentikan mobilnya tepat di depan kediaman megah Ayu Kinanti. Anggara sejak awal tahu kalau Ayu berasal dari keluarga terpandang. Hanya saja kedua orangtuanya gadis tersebut sudah sangat mempercayainya dalam mengurus Ayu. Karena selama ini Ayu dan Dita bagai saudara sendiri.
“Ayu, sedang apa dia sekarang? Formulir yang aku kasih sudah dikasih sama kedua orangtuanya apa belum ya?” Anggara menggigit kuku ibu jarinya seraya menurunkan kaca jendela mobilnya. Pria itu sejak tadi menatap kediaman dua lantai milik kedua orangtuanya Ayu.
Anggara segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku bajunya. Tanpa pikir dua kali dia segera menghubungi Ayu Kinanti.
Ayu baru saja mencuci muka di dalam kamar mandi, gadis itu berdiri sejenak di depan cermin dalam kamarnya menatap wajahnya di sana. Dalam benaknya masih menari-nari bayangan Anggara yang tengah melampiaskan hasratnya bersama dengannya di dalam kamar pribadi dalam kediaman pria tersebut. Ayu masih ingat seperti apa Anggara memperlakukannya.
“Seharusnya aku marah sama Mas Gara, kenapa aku selalu menurut dan tidak pernah berhasil berontak? Kenapa aku begitu lemah? Apa karena aku sudah buta dan apa karena ini adalah cinta pertamaku?” Ayu Kinanti menggelengkan kepalanya berulangkali. Tak lama kemudian ponselnya berdering nyaring. Ayu langsung berjalan menuju ke arah ranjangnya.
“Mas Gara, astaga!” Gumamnya seraya mengambil ponsel tersebut. Ayu ragu, dia ingin menerima panggilan tersebut tapi dia juga merasa cemas jika itu bukan Anggara dan malah Andini!
Karena tidak menerima panggilannya, Anggara segera mengirimkan pesan pada Ayu Kinanti.
“Yu, aku ada di luar rumahmu. Aku tunggu kamu di depan rumah tepi jalan. Kamu ke sini ya? buruan! Kalau nggak datang aku yang akan mengetuk pintu rumahmu. Nggak apa-apa kalau kamu nggak keberatan aku berkunjung malam buta begini.” Ucap pria itu panjang lebar melalui pesan pada ponselnya.
Ayu terlanjur memakai gaun tidur dengan tali di pinggang, dia merasa malas dan tidak keburu untuk berganti baju. Diam-diam Ayu terpaksa menyelinap keluar melewati pintu samping. Bi Darmi, pelayan rumahnya kebetulan baru saja keluar dari dalam kamar mandi belakang. Wanita paruh baya itu melihat Ayu mengendap-endap keluar melewati pintu samping.
“Neng Ayu? Sudah malam mau ke mana? Nanti Nyonya sama Tuan marah lo.” Bi Darmi mencoba mengingatkannya.
“Bentar doang kok Bi, jangan bilang Bapak, Ibu, ya? Mau beli pulsa, penting!” Ucapnya sambil tersenyum manis lalu berjalan keluar dari dalam ruangan santai tersebut.
Ada rasa sesal di dalam hatinya tatkala sudah berjalan beberapa langkah melewati halaman luas depan kediaman kedua orangtuanya.
“Maafkan Ayu Pak, Bu, Ayu terlanjur jatuh cinta sama Mas Gara. Ayu sendiri bingung kenapa Ayu jadi nekat dekat sama suami orang begini.. maafkan Ayu..” Ayu Kinanti meremas gaun tidur tipis pada kedua sisi tubuhnya. Gadis itu terus berjalan dengan langkah lebar dan pelan menuju ke arah mobil Anggara.
Melihat Ayu Kinanti datang, Anggara langsung membukakan pintu mobil di samping kemudi. “Masuk, Yu..” Ucapnya sambil mengukir senyum manis pada bibirnya.
Ayu ragu-ragu masuk ke dalam mobil Anggara. Gadis itu menelan ludahnya beberapa kali, dalam hatinya merasa tidak tenang.
“Mas, kita mau ke mana?” Tanyanya pada Anggara. Wajah Ayu Kinanti mulai terlihat panik. Pikirnya Anggara akan mengajaknya bicara di sana, dia tidak tahu kalau Anggara berniat membawanya pergi malam-malam begini.
Anggara dengan santainya memakaikan sabuk pengaman pada pinggang Ayu. “Sssttttt.. diam dan duduk tenang.” Anggara menutup bibir Ayu menggunakan jari telunjuknya, berikutnya Anggara menepikan helaian rambut Ayu Kinanti ke belakang telinga. Sorot mata tajam dari kedua mata Anggara membuat nyali Ayu menciut, perlahan Ayu Kinanti menganggukkan kepalanya lagi-lagi dia tunduk dan patuh atas perintah pria beristri itu.