Delapan

1851 Words
Selasa (13.59), 13 April 2021 --------------------- Carissa menghangatkan makanan yang dibuatkan sang Mama untuk hidangan makan malam. Tentu saja makanan itu hanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak tertarik menghidangkan makan malam untuk si tua m***m itu seperti wanita bodoh. Basah, lembut, dan sangat panas! Mendadak wajah Carissa memerah saat dia ingat adegan di kamar mandi tadi siang. Astaga, itu memalukan! Fachmi benar-benar si tua m***m. Dia bahkan tidak merasa bersalah nyaris mengotori otak polos Carissa yang masih suci. Yah, tidak benar-benar suci karena teman-temannya suka bercerita tentang hal itu. Tapi tetap saja, baru tadi Carissa berada dalam situasi yang sebenarnya. Dan itu semua gara-gara si tua m***m Fachmi. Menu malam ini capcay kental buatan sang Mama. Salah satu makanan favorit Carissa. Mamanya juga ingat betul menambahkan lebih banyak daging dan brokoli seperti yang Carissa sukai. Dengan hati senang, Carissa membawa semangkuk capcay dan segelas teh hangat ke meja makan. Tapi baru sesuap yang dia telan, suasana hatinya berubah buruk saat mendengar langkah kaki mendekat. Siapa lagi kalau bukan Om m***m Fachmi Aditama Effendi? Lagi-lagi memori tadi siang mendadak menguasai benak Carissa, membuat merasa malu dan tidak berani menatap wajah Fachmi. Setelah melarikan diri dari kamar mandi, Carissa terus mengurung diri di kamar tamu. Fachmi sempat membujuknya keluar kamar dan berjanji tidak akan berbuat aneh lagi. Tapi Carissa belum bisa mengenyahkan bayangan panas di kamar mandi hingga dia memilih terus bersembunyi. Baru saat malam tiba dan perut Carissa mulai protes minta diisi, terpaksa dia keluar sambil mengendap-endap. Beruntung Fachmi tengah asyik menonton tv. Kesempatan itu Carissa gunakan untuk segera mengganti pakaian lalu bergegas ke dapur. Tapi ternyata Carissa tidak bisa bersembunyi lebih lama. Mau tidak mau, kali ini dia harus menghadapi Fachmi. Kreeekk. Suara kursi ditarik lalu Fachmi duduk di seberang meja, tempat Carissa tengah menunduk menatap makanan di mangkuknya dengan hati gelisah. “Kau hanya menyiapkan satu porsi?” Pertanyaan Fachmi membuat Carissa menegang sejenak. Tapi lalu dia mengembuskan napas lega karena Fachmi tidak mengungkit kejadian tadi siang yang masih membuatnya memerah hanya dengan mengingatnya. Memberanikan diri, Carissa mengangkat wajah lalu membalas tatapan Fachmi. “Masih banyak di lemari pendingin,” ujarnya ketus. “Oh, begitu.” Carissa sudah menyiapkan kata-kata tajam untuk berjaga-jaga jika Fachmi memaksanya melaksanakan kewajiban sebagai istri. Namun dia tertegun melihat Fachmi hanya angkat bahu. “Tidak makan malam tidak akan membuatku mati. Kau lanjutkan saja. Aku akan menemanimu. Aku terbiasa makan sendirian dan rasanya tidak enak. Membuat makanan yang kunikmati terasa hambar. Jadi aku tidak akan membiarkanmu sendirian.” Ucapan Fachmi membuat Carissa terpaku dan jadi semakin gelisah. Dia sungguh tidak bisa membedakan apakah ucapan Fachmi barusan adalah sindiran atau bukan karena raut wajah lelaki itu tampak dingin seperti biasa. Tapi yang jelas, kalimat itu mencubit hati Carissa dan membuatnya merasa menjadi orang yang jahat. “Kenapa harus menyiksa dirimu sendiri padahal kau bisa memanaskan makan malammu sendiri?” Tak diduga, Fachmi tersenyum lembut. “Aku tidak sedang menyiksa diri sendiri, Carissa. Jadi jangan khawatirkan aku. Kau makan saja.” “Aku sama sekali tidak khawatir!” seru Carissa kesal. “Ya, aku tahu,” sahut Fachmi pelan seraya mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu membuka salah satu aplikasi game. Carissa menggigit bibir. Lalu dia menghela napas dan  bertekad tidak akan memedulikan Fachmi. Terserah saja si tua m***m itu mau berbuat apa. Toh bukan Carissa yang akan kelaparan karena tidak makan malam. Sesendok brokoli dan wortel masuk ke mulut Carissa. Dia mengunyah pelan lalu melirik Fachmi yang masih fokus ke layar ponsel. Dia makin tak enak hati. Akhirnya dengan kesal Carissa berdiri lalu berjalan sambil mengentakkan kaki menuju lemari pendingin. “Kau mau makan apa?” tanya Carissa ketus tanpa menoleh menatap Fachmi. Fachmi menahan senyum saat menatap punggung Carissa. “Sama seperti yang kau makan. Tapi tambahkan potongan udang. Sepertinya Mama meninggalkan udang yang sudah bersih dan siap dimasak.” Carissa menoleh ke arah Fachmi yang kini sudah kembali menunduk menatap layar ponsel. “Tadi kau bilang tidak mau makan malam.” Fachmi mendongak, membalas tatapan Carissa dengan senyum lembut. “Aku tidak akan menolak makanan yang disiapkan istriku.” Carissa mendengus lalu mulai menghangatkan makan malam untuk Fachmi. Tanpa bisa dicegah, jantungnya mulai bertalu-talu karena mendapat senyuman itu. “Jangan tersenyum lagi. Kau tidak cocok dengan senyum itu.” “Benarkah?” hanya itu tanggapan Fachmi. Padahal dia masih ingin menggoda Carissa. Dan juga memaksa gadis itu memanggilnya suamiku seperti yang sudah mereka sepakati di kamar hotel. Tapi sepertinya sudah cukup untuk saat ini. Ya, Fachmi sudah bertekad untuk meluluhkan hati Carissa dengan lembut dan pelan. Dia belajar dari kesalahan tadi siang. Perbuatannya yang mengancam dan memaksa Carissa bukan berakhir baik tapi malah membuat gadis itu mengurung diri dalam kamar tamu. Dan ternyata berhasil. Saat ini gadis itu bersedia menyiapkan makan malam untuknya tanpa paksa meski dengan gerutu yang tiada henti. “Ini!” dengan kasar Carissa meletakkan semangkuk capcay dengan tambahan udang untuk Fachmi. “Terima kasih, Istriku,” Fachmi tersenyum manis. “Sudah kubilang tidak perlu tersenyum seperti itu,” ketus Carissa. Fachmi berusaha menampilkan tampang bersalah. “Ah, tapi bagaimana ini? Aku tidak bisa menahan diri.” “Sebelumnya bisa. Di kantor kau juga tidak pernah tersenyum.” “Entahlah. Mungkin karena di hadapan istriku, berduaan denganmu, aku jadi ingin terus tersenyum.” Fachmi berusaha untuk tidak menyeringai lebar melihat tampang kesal Carissa. Fachmi memang suka membuat orang lain kesal dengan ekspresi wajahnya. Karena itu dia selalu mempertahankan raut datar dan dinginnya, hingga lawan bicaranya terintimidasi atau kesal dan gelisah karena tidak bisa membaca perasaan Fachmi. Tapi Carissa, rupanya merasa lebih nyaman dengan raut datar dan dingin Fachmi. Sebaliknya, dia jadi gelisah jika Fachmi tersenyum terutama senyum lembut yang jarang dia tampilkan. Karena itu, Fachmi semakin rajin tersenyum saat berduaan dengan Carissa hanya untuk sekedar mengganggu gadis itu. Carissa duduk kembali di seberang Fachmi. Desah kesalnya terdengar keras melihat makanan di hadapannya sudah dingin. Bukannya dia penggila makanan hangat. Tapi malam ini Carissa ingin makan malam yang hangat. “Sayang—” “Tidak perlu gombal begitu!” sergah Carissa kesal. Fachmi mengabaikan larangan Carissa. “Sayang, kau tidak alergi udang, kan?” “Tidak!” “Kalau begitu makan yang ini saja.” Fachmi memindahkan mangkuknya ke depan Carissa lalu mengambil mangkuk Carissa, membuat gadis itu kebingungan. “Kau makan yang itu saja. Masih hangat. Biar yang ini untukku.” Tanpa menunggu tanggapan Carissa, Fachmi segera makan dengan lahap. Carissa terdiam menatap mangkuk di hadapannya yang masih mengepulkan asap. Dua detik kemudian dia beralih menatap Fachmi dengan sorot curiga. “Sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan, Om?” Fachmi mendesah. “Apa sangat sulit berkata ‘suamiku’?” “Itu sangat menjijikkan.” “Kalau begitu, panggil Mas saja.” “Kau mengalihkan perhatian, Om.” Fachmi menatap Carissa lembut. “Tidak ada maksud apapun, Carissa. Aku menyadari caraku salah sejak kau mengurung diri di kamar tamu.” Fachmi memilih jujur. “Mulai saat ini, aku tidak akan mengancammu lagi. Aku akan berusaha jadi suami yang baik. Dan kuharap kau juga begitu.” “Hanya dalam mimpimu, Om!” seru Carissa lalu mengabaikan Fachmi dan mulai menikmati makan malamnya. Grrr! Rasanya Fachmi ingin mencium gadis itu untuk memberinya hukuman. Hukuman yang pasti ampuh membuat Carissa menurut selama beberapa saat dan juga menyenangkan untuknya. Tapi Fachmi harus menahan diri. Terpaksa Fachmi hanya mengabaikan seruan terakhir Carissa dan memilih menikmati makan malam pertama yang dibuatkan istrinya. Ah, salah. Makan malam buatan Mama mertuanya yang dihidangkan dengan penuh cinta oleh sang istri. Ugh! *** “Aku memang akan berusaha untuk tidak mengancam lagi, Carissa. Tapi bukan berarti kau jadi bebas bersikap seenaknya.” Carissa merengut. “Memangnya salahku apa?” “Kenapa kau tidur di sini?” Fachmi masih bersedekap saat memandang Carissa yang tengah berbaring di ranjang kamar tamu. “Aku tidak nyaman tidur bersamamu, Om. Seharusnya kau menghargai keputusanku.” “Kau ingin aku menghargai keputusanmu?” Mata Fachmi menyipit. “Pantas saja orang tuamu sampai tidak sanggup menghadapimu. Keputusanmu selalu ingin dihargai tapi kau sama sekali tidak mau menghargai keputusan orang lain.” DEG. Hati Carissa serasa dicubit saat Fachmi mengungkit tentang orang tuanya. Apa dirinya memang seperti itu? “Aku tidak memintamu untuk melayaniku sebagai istri, baik di ranjang maupun di dapur meski aku ingin. Aku juga tidak menyuruhmu mengerjakan apapun di sini. Kau bebas seperti ratu. Jadi, tidak bisakah satu saja permintaanku kau turuti?” Mendadak nyali Carissa menciut. Dia takut melihat kilat marah dalam sorot mata Fachmi. “Sudahlah, lupakan.” Fachmi menghela napas. “Tidak seharusnya aku marah-marah karena nasibku sedang sial sudah menikah tapi tidak punya istri.” Mendadak Fachmi berbalik menuju pintu tapi lalu berhenti begitu tangan besarnya menyentuh daun pintu. Tanpa menoleh dia berkata, “Kalau kau memang menghargaiku sebagai lelaki yang telah mengikat janji suci denganmu, kembalilah ke sampingku. Tapi jika tidak, aku menyerah Carissa.” Carissa tertegun dengan mata mengarah pada punggung Fachmi yang menghilang dibalik pintu. Menyerah? Kenapa kata itu terasa mengganggunya? Seharusnya dia senang karena itu berarti Fachmi akan mengabaikan dirinya. Tapi—kenapa Carissa merasa menjadi orang yang sangat jahat? Keputusanmu selalu ingin dihargai tapi kau sama sekali tidak mau menghargai keputusan orang lain. Argh! Kalau kau memang menghargaiku sebagai lelaki yang telah mengikat janji suci denganmu, kembalilah ke sampingku. Tapi jika tidak, aku menyerah Carissa. Baiklah, Om. Untuk yang satu ini, aku akan menurutimu, gerutu Carissa dalam hati seraya turun dari ranjang. Di kamar utama, lampu sudah dipadamkan. Hanya cahaya dari luar yang membuat suasana tidak gelap gulita. Tampak Fachmi sudah berbaring telentang di satu sisi ranjang, membiarkan sisi yang lain kosong seolah memang menunggu kedatangan Carissa. Ragu, Carissa mendekati sisi yang kosong itu lalu tanpa kata menyelinap di balik selimut. Dia berbaring membelakangi Fachmi, menunggu dengan waswas apakah Fachmi akan memeluknya seperti biasa? Bukannya dia berharap dipeluk. Carissa hanya mempersiapkan jantungnya jika hal itu benar-benar terjadi. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Apa Fachmi masih marah? Tapi kan Carissa sudah menuruti kemauannya. Ah, terserahlah. Yang penting dirinya sudah berusaha— “Argh!” Carissa memekik kaget saat tiba-tiba lengan Fachmi melingkari pinggangnya lalu menarik Carissa mendekat. “Kau berisik sekali,” gerutu Fachmi. “Om bikin aku kaget.” “Om?” Entah mengapa, Carissa ingin tertawa mendengar nada merajuk Fachmi. Padahal tadi kan mereka bisa dibilang, ehm—bertengkar? “Panggil Mas saja. Aku tidak akan mengeluh lagi.” “Om, aku mengantuk. Selamat malam.” Terdengar hela napas kesal dan itu membuat Carissa semakin ingin tertawa. Untung saja dia berbaring membelakangi Fachmi. Lama tidak ada sahutan, lalu terasa kecupan lembut di puncak kepala Carissa. “Selamat malam, Istriku. Dan terima kasih.” Kalimat itu tulus Fachmi ucapkan. Pasti sulit bagi Carissa untuk menyerah dan sukarela tidur di samping Fachmi. Sebenarnya Fachmi mengerti. Carissa masih terlalu muda tapi sudah terjebak dalam pernikahan. Tidak heran jika gadis itu terus-menerus membantah dan merasa enggan. Tapi Fachmi juga tidak bisa membiarkan Carissa bebas melakukan apapun yang dia inginkan. Ada kalanya gadis itu harus sedikit mengurangi sifat keras kepala dan mengerti tanggung jawabnya. Bukankah memang itu tujuan Fachmi menikahi Carissa? Mengajari gadis itu untuk bisa bersikap toleran terhadap orang lain. ------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD