Selasa (13.58), 13 April 2021
------------------------
Carissa duduk sambil menahan kesal melihat betapa bahagia keluarga besarnya di atas penderitaan dirinya. Mereka sama sekali tak tampak bersalah telah melemparkan dirinya ke dalam mulut buaya tua m***m macam Fachmi.
Setelah ciuman pertamanya diambil secara paksa, Carissa berusaha untuk mengabaikan keberadaan Fachmi. Sulit memang. Apalagi si tua m***m itu selalu mencari alasan untuk menyentuh dirinya. Terutama saat malam hari, ketika mereka berdua sudah di atas ranjang dan bersiap tidur. Manusia es itu tidak akan melewatkan kesempatan untuk memeluknya. Membuat Carissa susah tidur karena gerah dan tidak nyaman dengan kedekatan tubuh mereka yang dipaksakan.
Hufft!
Yah, setidaknya Carissa bersyukur karena Fachmi belum meminta haknya sebagai suami. Tapi yang menyebalkan, Fachmi selalu menggunakan hal itu untuk mengancam Carissa agar menuruti keinginannya.
Dan setelah semua hal yang membuatnya sakit kepala itu, kini Carissa harus menghadapi neraka yang sebenarnya. Neraka yang diciptakan Fachmi dan keluarganya untuk mengurung Carissa. Entah dirinya bisa selamat atau tidak, hanya waktu yang bisa menjawabnya.
“Duh, pengantin baru diam aja. Sudah tidak sabar ingin kami pergi, ya?” Jessie yang baru saja mengambil minuman, duduk di samping Carissa yang sedang berkutat dengan pikirannya sendiri.
“Jangan ganggu, Jess,” Carissa berkata kesal.
“Ckckck, pasti kau sedang mengingat momen bulan madu kalian.” Jessie tersenyum lebar. “Bagaimana? Fachmi benar-benar hot, kan?”
“Aku akan melemparmu dari balkon kalau kau tidak berhenti.” Carissa melotot.
“Kau tidak akan melakukan itu. Rasa sayangmu padaku terlalu besar,” Jessie terkikik. “Apa yang menimpamu adalah pelajaran berharga untukku. Jangan terlalu benci pada seseorang karena bisa saja di masa depan, orang itu akan menjadi pasangan kita.”
“Jessie!” pekik Carissa. “Kau sudah janji untuk tidak menertawakanku.”
Jessie berusaha menahan tawanya. “Aku tidak tertawa.”
“Kau menyebalkan!” Carissa berdiri lalu keluar dari ruang makan sambil menghentakkan kaki.
“Carissa, jangan merajuk. Aku benar-benar tidak tertawa.”
Carissa mengabaikan ocehan Jessie dan terus berjalan ke ruang tengah di mana keluarganya tengah berkumpul sambil berbincang hangat.
“Carissa sayang, kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali di dapur?”
Carissa menoleh ke arah Mama Fachmi yang baru saja bertanya. Seulas senyum dia paksakan tampak di bibirnya. “Tadi Carissa masih di kamar mandi, Tan.”
“Mama.” Rena mengoreksi.
“Eh, iya. Mama.” Carissa nyengir.
“Kalau sudah, sekarang duduk di sini.” Rena menepuk sofa di antara dirinya dan Ratna yang tengah duduk.
Dengan cepat Carissa mengamati tempat itu. Napas lega ia embuskan saat tidak melihat para lelaki di sana. “Di mana yang lain?” tanya Carissa basa-basi seraya duduk di antara Rena dan Ratna.
“Entahlah. Katanya ingin berkumpul sebelum benar-benar melepas Fachmi dalam rumah tangga.” Ratna angkat bahu.
“Aku tidak berani bertanya. Apa yang mereka lakukan pasti selalu membuat sakit kepala,” celetuk Destia yang duduk di sofa tunggal.
“Seperti saat pesta lajang Farrel.” Carissa terkikik geli mangingat hal itu.
“Jangan ingatkan aku. Itu sangat memalukan.” Kanza yang duduk di sofa tunggal seberang Destia hanya bisa meringis ngeri. “Semoga anakku tidak mewarisi kelakuan konyol papanya.”
Yang lain tertawa mendengar harapan Kanza.
“Jangan khawatir. Dia akan mewarisi sifat lembut Tante Jessie,” celetuk Jessie yang baru bergabung di ruang tengah itu.
“Lembut?” terdengar nada mengejek dalam suara Ratna.
“Yah, Mama.” Jessie merengut.
“Carissa,” panggil Destia lembut. “Mama harap kau mulai belajar masak. Untuk besok, masih ada makanan yang Mama tinggalkan. Tapi selanjutnya?”
Tidak cukup hanya mengurungku di sini, huh? Apa aku juga harus jadi pembantu?
Pertanyaan itu hanya berputar dalam benak Carissa. Dia masih sangat menyayangi dan menghormati Mamanya.
Melihat jemari Carissa yang mengepal di pangkuan, Destia sadar bahwa dirinya telah salah bicara. Dia mengutuki diri sendiri karena terlalu buru-buru. Carissa pasti sudah merasa tertekan karena statusnya yang berubah menjadi istri di usia remaja. Dan sekarang Destia malah mendesaknya untuk segera menunaikan kewajiban seorang istri. Padahal sebenarnya itu adalah alasan Destia agar bisa lebih lama menghabiskan waktu bersama Carissa meski putrinya itu sudah memiliki keluarga sendiri.
“Tapi belajar masak tidak perlu buru-buru,” Destia segera menambahkan. “Kalau kau sedang ingin dan ada waktu, kau bisa mengunjungi Mama.”
Carissa hanya mengangguk pelan.
Ingin? Sepertinya dirinya tidak akan pernah ingin memasak. Apalagi untuk si tua m***m Fachmi. Lagipula kenapa baru sekarang lelaki itu akan merepotkan Carissa dengan urusan memasak. Dulunya sebelum menikah, sepertinya Fachmi sama sekali tidak repot harus makan apa.
“Soal pakaian,” tiba-tiba Rena berkata. “Kami sudah menatanya di kamar utama. Barang-barangmu juga.”
“Kapan kalian melakukannya?” tanya Carissa penasaran. Dia baru tiba tadi pagi di apartemen Fachmi setelah menginap dua hari di hotel tempat mereka menikah. Jadi dia belum sempat menanyakan barang-barangnya di rumah orang tuanya.
“Saat kalian masih di hotel,” jelas Rena. Sebenarnya dia menawarkan perjalanan bulan madu ke luar negeri. Namun Fachmi langsung menolak, bahkan sebelum rencana itu dibicarakan dengan Carissa. Menurut Fachmi, rencana itu akan membuat Carissa makin merasa terbebani. “Dan mengenai hadiah pernikahan, kami menyimpannya di kamar yang lebih kecil. Kau bisa membukanya kapan saja.”
“Seharusnya kalian langsung membukanya sendiri. Hadiahnya sangat banyak.” Carissa meringis, ingat tumpukan kado untuk dirinya dan Fachmi.
“Tidak bisa, Sayang.” Ratna menepuk lembut punggung tangan Carissa. “Itu hadiahmu dan Fachmi. Jadi kalian yang harus membukanya sendiri.”
“Oh, baiklah.”
“Coba tebak!” mendadak Jessie berseru. “Apa hadiah dariku?”
Carissa berdecak malas. “Pasti lingerie, kan?” dia yakin tebakannya benar mengingat betapa antusiasnya Jessie agar Carissa segera menyerahkan diri pada Fachmi.
“Salah!”
“Sungguh? Aku kaget kau tidak memberi hadiah memalukan semcam itu.”
“Jadi kau mau lingerie? Seharusnya kau mengatakan itu sebelum pernikahan, Carissa.”
Carissa melotot dengan wajah memerah.
Jessie tertawa senang. “Jadi, kau tidak bisa menebak?”
“Tidak tertarik!”
“Padahal aku memberi hadiah yang sangat indah dan dipesan khusus untukmu. Sangat pas kau gunakan ketika bersama Fachmi.”
Kening Carissa berkerut melihat raut serius Jessie. Dia tidak tampak sedang menjahilinya. Apa hadiahnya benar-benar bagus dan bisa digunakan?
“Kalau begitu, hadiahmu yang akan kubuka pertama kali.”
Wajah Jessie berbinar. “Kau memang harus melakukan-nya.”
***
Akhirnya Fachmi bisa menghembuskan napas lega begitu keluarga besarnya meninggalkan gedung apartemennya. Kemudian dia berbalik, kembali masuk untuk beristirahat siang.
Tadi dia sedikit waswas saat Om Freddy mengajak mereka keluar untuk berkumpul antar lelaki sebelum Fachmi tenggelam dalam rutinitas rumah tangga. Dia sudah khawatir apa yang direncanakan Om konyolnya itu adalah sesuatu yang memalukan. Tapi ternyata tidak. Mereka berenam hanya pergi bermain basket di lapangan umum dekat gedung apartemen Fachmi.
Dulu mereka berenam sering melakukannya. Terutama saat dirinya dan Farrel masih SMA. Hampir tiap akhir pekan mereka berkumpul untuk bermain. Dan seperti biasa, anggota tim mereka tidak pernah berubah. Selalu Papa vs Anak. Dan pemenangnya pun tidak pernah berubah, selalu tim Anak. Tapi anehnya, bermain bersama seperti itu selalu terasa menyenangkan.
Klek.
Suasana sepi menyambut Fachmi begitu membuka pintu. Padahal ada Carissa di dalam sana. Entah apa yang tengah dilakukan gadis itu. Tadi saat Fachmi dan yang lainnya kembali ke gedung apartemennya setelah bermain basket, para wanita sudah menunggu di lapangan parkir. Namun Carissa tidak ada di antara mereka.
Fachmi memperhatikan sekitar lalu memutuskan mencari ke kamar utama tanpa memanggil Carissa. Tiba di sana, ruangan itu juga kosong. Saat hendak mencari di dapur, Fachmi harus melewati kamar yang lebih kecil yang dulu ditempati Kanza. Langkahnya langsung berhenti saat mendengar suara-suara dari dalam.
Penasaran, Fachmi membuka pintu. Bersamaan dengan itu, Carissa memekik pelan sambil mengangkat tinggi-tinggi untuk memperhatikan lebih seksama hadiah dari Jessie yang baru saja dibukanya.
“Kau mau pamer?” Fachmi melotot dengan pandangan terus tertuju pada celana dalam dan bra bertali yang diangkat Carissa tinggi-tinggi.
Carissa yang semula membelakangi pintu langsung menoleh. Buru-buru dia menyembunyikan dua benda transparan itu di belakang punggung dengan wajah bersemu merah.
“Ini—ini hadiah dari Jessie. Aku hanya sedang membuka-buka hadiah.”
Fachmi menelan ludah, berusaha melegakan tenggorokannya yang tadi tercekat setelah melihat benda berbahaya itu di tangan Carissa. “Dasar Jessie.”
“Yah, dia memang seperti itu.” Carissa angkat bahu, berusaha bersikap setenang mungkin padahal dia merasa sangat malu dan gugup. “Harusnya aku sudah menebaknya dan tidak perlu membuka hadiahnya.”
“Tidak baik menolak pemberian. Lagipula pakaian dalam itu tidak terlalu buruk. Mungkin kapan-kapan kau bisa memakainya di depanku.” Suara Fachmi berubah serak saat mengatakan kalimat terakhirnya. Mendadak otaknya memunculkan gambar-gambar yang membangkitkan gairah dengan Carissa sebagai pemeran utama.
Carissa melotot. “Kau bermimpi terlalu tinggi, Om.”
“Om?”
“Kau memang cukup tua untuk jadi Om-ku. Jadi jangan pernah berpikiran aneh-aneh.”
Fachmi melipat tangan di depan d**a dengan tatapan kesal. “Apa aku perlu meminta hakku sekarang agar kau mengerti di mana posisimu?”
“Selalu mengancamku dengan hal itu.” Carissa menghentakkan kaki seraya melempar bra dan celana dalam di tangannya ke ranjang. “Terserah kau sajalah. Aku tidak peduli.”
Carissa hendak melewati Fachmi yang masih berdiri di ambang pintu namun Fachmi malah memegang erat lengannya. “Mau ke mana?”
“Pergi. Ke mana saja. Yang jauh darimu.”
“Kau harus bersikap yang sopan, Carissa. Aku suamimu.”
“Aku tidak menganggapmu suamiku!” Carissa melotot.
“Kali ini ucapanmu sudah kelewatan,” geram Fachmi.
“Lalu apa yang mau kau lakukan? Mengancam lagi?”
Fachmi tidak mengatakan apapun dan malah berbalik sambil menarik Carissa agar mengikutinya. Gadis itu terbelalak saat menyadari tempat yang dituju Fachmi adalah kamar utama. Apakah kali ini Fachmi tidak sekedar mengancam? Dia akan benar-benar meminta haknya?
Perasaan takut mulai menjalari hati Carissa. Dia ingin berteriak, meronta, lalu melarikan diri. Tapi dia tidak sepengecut itu. Biar Fachmi sadar bahwa dirinya tidak lagi mudah diancam. Dia tidak takut pada apa yang akan Fachmi lakukan.
KLEK.
Pintu kamar terbuka dan Fachmi terus menariknya. Kali ini tujuannya adalah kamar mandi. Carissa semakin terbelalak dan sempat menarik tangannya. Namun cengkeraman Fachmi di lengannya terlalu kuat untuk dilawan Carissa.
“Kau mau apa?” akhirnya Carissa sanggup melontarkan pertanyaan itu begitu Fachmi menariknya masuk ke bilik shower.
“Mau apa lagi? Tentu saja mandi. Dan kau harus membantuku.” Suara Fachmi serak.
“Kau bercanda, kan?” cicit Carissa.
“Apa aku terlihat seperti bercanda?” Fachmi mendorong Carissa hingga punggung gadis itu menempel di dinding kamar mandi. Lalu tanpa peringatan, dia menyalakan shower yang langsung membasahi mereka berdua.
“Fachmi, aku—” Carissa terdiam saat Fachmi menelanjangi dirinya sendiri di depan Carissa. Carissa berusaha bersikap berani dengan menahan matanya untuk tetap membalas tatapan Fachmi di bawah guyuran air.
“Lebih baik kau lepas pakaianmu.”
“Tidak!” Carissa menyilangkan kedua lengan di depan d**a. Dia harus berani agar Fachmi berhenti mengancamnya dengan hal ini. Dia tidak boleh takut. Bukankah beberapa temannya sudah pernah melakukannya dengan pacar mereka? Tidak ada yang mengeluh, kecuali mereka yang hamil di luar nikah dan harus berhadapan dengan masalah besar. Jadi, kenapa dirinya harus takut?
“Terserah.” Fachmi angkat bahu.
Carissa sedikit kaget karena Fachmi tidak mendesaknya. Lelaki itu dengan santai mematikan shower lalu menyerahkan botol shampoo ke tangan Carissa. Kemudian dia berlutut untuk memudahkan Carissa mencuci rambutnya.
Carissa menggigit bibir. Lebih cepat lebih baik. Dengan tangan gemetar, dia menuangkan shampoo ke tangannya lalu mulai mencuci rambut Fachmi yang sudah basah.
Rambut Fachmi terasa sangat tebal sekaligus halus. Terasa lembut dengan busa yang kini memenuhinya. Jantung Carissa berdegup kencang dan wajahnya terasa sangat panas padahal tubuhnya basah kuyup.
Ini terlalu dekat.
Sangat intim.
Membuat Carissa susah bernapas.
Tidak sanggup bertahan lebih lama, akhirnya Carissa menyerah dan memilih melarikan diri keluar dari kamar mandi dengan air menetes-netes dari tubuhnya dan tangan penuh busa shampoo.
--------------------
♥ Aya Emily ♥