Rival Sadajiwa

1619 Words
[Dante, Mami ngajak aku nih buat menemuimu setelah menjemput Vian. Ngajak lunch di salah satu fine dining resto milik Tante Melisia. Masih dalam usaha biar setuju anak gadisnya, Emerald sedia dijodohkan sama kamu] Terima kasih untuk saudari kembarnya, Amora Delica Sadajiwa yang telah memberitahunya lebih dulu sehingga Dante bisa menyiasati untuk menghindar selain memang sudah ada agenda undangan penting hari ini. Sejak usianya memasuki kepala tiga, lalu kembarannya Delica melangkahinya untuk menikah lebih dulu bahkan kini sudah punya seorang putra bernama Aarav Favian Marlon yang berusia enam tahun, Mami makin gencar mencarikan pasangan untuknya, yang ideal sesuai kriteria menantu Sadajiwa. Dante bahkan belum ada minat untuk menikah. Karena itu juga, ia membebaskan Delica dulu mendahului untuk menikah tanpa perlu memberi syarat pelangkah yang menurutnya tidak penting tetapi Mami tetap meminta Delica memberikannya. Dante yakin Mami sungguh datang. Sudut bibirnya sedikit tertarik, bukan karena membayangkan Mami akan kesal dapati ia menghindar melainkan ekspresi bingung sekretaris barunya saat ia memberitahu jika kemungkinan Mami akan datang. “Siapa namanya?” ulang Dante yang tadi kurang jelas saat Ibra menceritakan usahanya tengah mendekati seorang wanita. Reema... dia bilang nama itu tadi? Batinnya. Terdengar seperti mirip dengan nama sama persis perempuan yang tadi membuatnya agak kesal karena ceroboh. Ya, sekretaris barunya terkadang cekatan dan mau berusaha, cerdas juga, ia tahu tapi tetap saja ada sisi yang membuat Dante kesal jika ada kesalahan dan tambah ceroboh. “Jemma Fateena Kaamla-Maawirya, putri bungsu keluarga Maawirya. Dia punya bisnis EO yang lagi naik sekarang.” Pantas terdengar mirip nama depannya, Dante tidak salahkan? Dante menatap Ibra yang berdiri bersamanya, Hans sedang konfirmasi kedatangan mereka. “Bukannya sepupumu menikah dengan putri Maawirya juga?” “Ya, aku melihatnya pertama kali di pernikahan Rifky dan Darby—kakak dari Jemma ini.” Selain hubungan profesional karena Ibra menempati bagian cukup penting di perusahaannya. Ibra juga teman sejak lamanya yang terbilang cukup dekat dengannya. Ibra terus menceritakan pendekatannya, “agak sulit, kadang sikapnya dingin dan tampak enggannya. She's the one, tipeku sekali.” “Tipemu kalau dia sebaliknya melihatmu bukan tipenya?” Ibra melirik Dante kesal, “jangan mematahkan semangatku begitu, Dante! Keluarganya welcome padaku...” “Yang kamu incar dan akan nikahi putrinya...” “Cerita padamu percuma!” decaknya. “Sudah tahu begitu, kamu masih bicarakan denganku...” jawabnya santai dengan ekspresi datar. Tidak lama Hans berjalan mendekat, kemudian memberitahu “Pak Sky Xabiru Lais, mengkonfirmasi kedatangannya Pak...” Wajah Dante seketika berubah dingin, Ibra yang bersamanya juga menambahkan “namanya baru disebut, orangnya sudah datang menyedot atensi para wartawan itu. Lihatlah!” Mata Dante menyorot pada keramaian wartawan pada tamu yang dimaksud, belum mendekat saat seseorang menyapa mereka... “Mas Eka!” Sapa Ibra, bukan hanya dia, Dante juga mengenalinya. Ekagra Ferran Maawirya, putra sulung keluarga Maawirya. Kakak dari wanita yang sedang didekati oleh Ibra. Mereka salaman, semula tenang sampai Ibra tampak terkejut dapati seseorang yang datang mendampingi Sky Xabiru Lais. Dante tidak peduli karena tidak mengenal, selain matanya hanya terpusat pada sosok rival-nya. Terutama setelah Sadajiwa kalah tender dqri Lais untuk beberapa projek besar di Ibu kota baru. Damn! b******k! Dia kembali memaki saat mengingatnya, satu kekalahan telak yang membuat saham Sadajiwa sempat turun. Bahkan kehilangan beberapa target klien besarnya. Matanya tidak berpaling, justru semakin tertantang untuk membalas sorot mata tajam dan dingin itu hingga berhenti di hadapannya. Dante sudah siap membuka mulut, tapi Sky Xabiru Lais justru melewatinya dan pilih menyalami Ekagra Ferran Maawirya. Dante pilih mengabaikannya juga, dan pergi dari sana diikuti Hans. Ibra menyusul dengan kebingungan tersendiri. Beberapa waktu mereka sudah duduk di tempat yang tersedia sesuai nama masing-masing, matanya tertuju pada Sky yang mejanya tidak jauh dari mereka. “Kalau saja tidak ada persaingan, Fayra—adik dari Sky itu selain cantik, juga jadi pilihan tepat untuk bisa menjadi bagian kerabat Lais...” bisik Ibra. Dante menoleh, mengenal adik Sky itu. Beberapa temannya, bahkan berupaya untuk mendekatinya walau penjagaannya sangat ketat. “Dia sudah menikah dan tidak tinggal di Jakarta lagi,” Dante mendengar kabar itu, untuk keluarga tersorot seperti Lais... beritanya gampang tersebar karena itu mereka sangat menjaga privasi. “Ya, aku hanya berkata andai—“ “Aku benci kata ‘andai’, hanya menandakan rasa tidak puas terhadap kehidupan yang dijalani saat ini...” katanya dan meraih gelas lalu meminumnya. Ibra yang mengenal sikapnya tidak tersinggung, sementara Hans lebih banyak diam. Hanya bicara hal penting. Ibra kembali bicara, “jadi laki-laki itu, adik dari Sea... istri Sky. Sial, aku baru tahu!” “Apa dia penting, sampai kamu terus membicarakannya?” semakin menunjukkan rasa kesal. Ibra berhenti membahasnya. Tepat saat itu ponselnya bergetar, beberapa kali dari Mami, Delica lalu berikutnya Reema. Dante terfokus pada pesan wanita itu yang mengabari keberadaan Mami dan kembarannya. Mami yang akan kesal mendapatinya tidak ada di sana, pasti akan melampiaskan pada Reema. Terutama Reema tidak tahu tepat keberadaannya, agenda ini khusus dan tidak tercatat dalam agenda yang Reema pegang. Dante sudah ingin membalasnya, tapi berakhir ia hanya baca lalu mengabaikan. *** Oke, baiklah! Reema akhirnya tahu asal dari mana sikap dingin, galak, arogan dan dominan Pak Dante. Tentu pasti dari maminya. Dia sudah bertemu beberapa kali dengan papinya, terbilang ramah walau Reema bersikap sewajarnya dan menjaga jarak setelah diingatkan Hans dan dapati sikap sinis Dante. Lalu, Delica... saudari kembar Dante yang cantik semampai masih seperti gadis meski sudah memiliki satu anak, bersikap ramah yang malah menarik Mami untuk segera pergi. Jika tidak, Reema yakin Mami dari bosnya akan melampiaskan kesalnya pada Reema yang hanya bisa menunduk. Menerima saja. Setelah mengantarkan kedua wanita itu dengan anak tampan berusia sekitar enam tahun yang tampak mengantuk itu, Reema bisa menarik napas panjang tetapi terlanjur hilang laparnya. Dia pandangi kotak bekalnya, tetap membuka dan berusaha makan sebelum Dante kembali. Untuk menghadapinya, Reema butuh energi. Sambil makan, ia melirik ponselnya. “Cuman dibaca, ya jelas! Mana mungkin dia mau balas!” gumamnya. Reema akhirnya tidak memikirkan, terpenting sudah memberitahu. Setelah makan siangnya dihabiskan, perutnya kenyang, Reema tetap dibalik mejanya menyelesaikan pekerjaan. Waktu merayap pelan sore menuju malam, Reema masih duduk di balik meja kerjanya. Layar laptop menampilkan dokumen revisi terakhir yang baru saja ia kirim via email. Tangannya sesekali mengusap pelipis, dan jus siang tadi yang hampir habis masih berdiri setia di sudut meja. Bos Dante belum kembali. Tanpa memberi kepastian kapan akan kembali. Tapi sebagai sekretaris, Reema tahu aturan tak tertulis untuk tetap tunggu sampai atasannya bilang selesai dan bisa pulang. Ia tidak mengeluh, menjeda beranjak dari mejanya saat tepat jam enam. Lalu kembali menunggu, hanya menarik napas panjang beberapa kali sambil menatap jam digital di meja. Ia mulai lapar, jadi pilih makan roti yang tersisa dari rapat pagi. Kembali ia mengerjakan pekerjaan lain, hingga pukul delapan. Kantor sudah sepi. Lantai dua puluh tiga sunyi seperti museum—hanya lampu meja kerja yang menjadi satu-satunya sumber cahaya hangat di tengah ruangan luas itu. Reema menyandarkan punggung. Bahunya lelah. Kepalanya berat. Matanya mulai terasa perih karena seharian menatap layar. Dan tanpa sadar ia mulai menguap-nguap lalu tertidur. Bukan telungkup di meja seperti adegan drama, tapi masih duduk tegak, kepala bersandar ringan di sandaran kursi, napasnya tenang dan wajahnya tampak jauh lebih lembut daripada biasanya. Rambutnya sudah tak seketat tadi pagi, ada beberapa helaian yang jatuh di pelipis, ikut tertidur bersamanya. Beberapa menit kemudian, pintu lift terbuka. Langkah kaki Dante terdengar tenang saat melangkah. Ketika ia hampir bersuara untuk bertanya laporan, justru matanya lebih dulu menangkap sosok Reema. Satu alisnya naik, dia berhenti melangkah dan terdiam. Sorot matanya menyapu pemandangan perempuan itu—yang biasanya penuh kontrol, sigap dan hati-hati—kini tampak rapuh dalam keheningan. Tak menyadari waktu. Tak menyadari dunia. “Ck, tidur! Harusnya dia pulang saja!” lirihnya. Perempuan itu tetap di sana, menungguinya… bahkan sampai tertidur. Dante mendekat pelan. Langkahnya nyaris tanpa suara. Ia berhenti di dekat meja Reema, berdiri beberapa detik, hanya memandangi. Ia memerhatikan bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur. Damai. Terlalu damai untuk dunia sekeras ini. "Bagaimana bisa ada yang tidur nyenyak posisi begitu?!" decak Dante tidak percaya, ia saja tidak akan bisa. Dante menghela napas pelan, ia tetap perlu membangunkannya. Namun baru saja mulutnya terbuka, dering ponsel milik Reema mengejutkannya hingga sigap bangun. Seketika Reema menegakkan punggung dan sempat-sempatnya merentangkan tangan sambil menggerakkan kepalanya lalu ia menguap lebar barulah matanya terbuka dan mendapati kehadiran Dante seketika membuatnya langsung mematung. “Jadi begini ya, kalau saya tidak ada di ruangan... kamu bebas bisa tidur?” “Pak—“ Reema terlalu cepat berdiri sampai lututnya terbentur laci meja lalu ia mengaduh, “aduh!” Dante meringis pelan juga, yakin itu sakit. Ia tetap mengatakan, “kamu bisa pulang!” Reema mengusap-ngusap lututnya, hanya sesaat lalu matanya memandangi punggung bosnya yang sudah melangkah dan masuk ruangan. “Pak Bos, sebentar!” Reema ingat perlu melaporkan beberapa hal penting, jadi ia berusaha mengejar sambil membawa Tab berisi agenda sang Bos yang sudah diperbarui. Remma membuka pintu, berjalan cepat tepat melihat Dante melempar jasnya lalu melepas dasi dan beberapa kancing atas kemejanya. Jemma mematung dapati Dante menyingkap ujung lengan kemeja panjangnya. Matanya tertuju bukan pada arloji harga fantasi melainkan bagian tangan kanannya terdapat tato. “Kamu tidak mau pulang—“ Dante mengangkat tangannya, tetapi kemudian matanya justru tertarik tertunduk mendapati sepasang kaki mulus dan putih meski tanpa cat kutek itu tanpa alas. Reema melupakan sesuatu! Remma terkesiap, kemudian tertunduk dan matanya membulat “astaga, lupa pakai sepatu!” Lalu terburu-buru ia berbalik, Dante melongo dapati tingkah tersebut. Apalagi beberapa detik kemudian Reema kembali sambil protes, “Pak Dante sih, jadi saja saya sampai lupa pakai sepatu!” Dante tetap memasang wajah datar, saat merespons bingung “salah saya? Kamu yang ceroboh, malah menyalahkan orang lain!" Reema menggigit bibir bawahnya, kemudian tersenyum. Dante menghela napas dalam, "cepat katakan, ada hal penting apa?! Kamu sudah mau pulang, kan?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD