Enam Bulan

1509 Words
Enam bulan bukan waktu singkat, terlebih untuk bekerja di bawah tekanan konstan pria seperti Dante. Tapi Reema bertahan. Bahkan lebih dari itu hingga ia tumbuh. Dari seorang sekretaris baru yang kerap melakukan kesalah kecil, kini ia dapat membaca ritme kerja sang CEO. Hari ini, Reema melangkah cepat di belakang Dante, mengikuti langkah lebar sang atasan yang tampak fokus menuju lokasi proyek besar terbaru perusahaan. Hans sedang ada tugas lain dari Dante, jadi tidak menempeli bos hari ini. Mereka mengenakan helm proyek—putih bersih dengan inisial perusahaan di sisi depan—dan mengenakan rompi berwarna orange, serta sepatu safety seperti para staf lapangan lainnya. Reema sudah tahu agenda hari ini, jadi ia memakai celana panjang. “Pak Dante, tim dari vendor sudah standby di titik dua,” ujar salah satu manajer proyek yang menyambut mereka. Dante mengangguk dingin, matanya menyapu sekitar “kita mulai dari sisi barat. Saya ingin lihat progres pondasi utama. Jangan ada deviasi dari rencana awal.” “Baik, Pak!" Diskusi berjalan cepat dan padat sambil memantau area-area yang dituju. Reema berdiri di sisi belakang, mencatat tiap arahan Dante tanpa perlu disuruh. Ia juga mencatat reaksi diam para insinyur ketika Dante menyisipkan beberapa pertanyaan tajam mengenai beberapa hal. Walau mereka bisa menjelaskan, tampaknya Dante belum puas hingga ada satu hal yang menjadi atensi Dante. Reema ikut menelan ludah. Suasana jadi dingin seketika. Tapi justru saat semua terdiam, ia angkat suara—pelan tapi terdengar. “Maaf, Pak,” ucapnya sambil menatap Dante. “Saya sempat sampaikan, perubahan itu diajukan karena ada perbedaan kondisi lapangan saat penggalian. Tapi memang belum disetujui Bapak, karena Bapak sedang di luar kota dan setelah sibuk hal lainnya. Mungkin bisa ditinjau ulang bersama tim teknis, dan dibandingkan kembali datanya.” Dante memutar kepalanya. Matanya menusuk. Tapi hanya sesaat. Sebab setelah itu, ia mengangguk ringan. “Tunjukkan revisi yang kamu maksud nanti. Sudah dikirim ke saya?!” Reema mengangguk cepat, “sudah, Pak... saya bisa kirim ulang jika terlewat” tanpa senyum. Dalam hati, ia sedikit lega. “Ya, segera!” Setelah pengecekan selesai, Dante dan Reema berjalan menyusuri area proyek yang penuh tiang-tiang baja dan jejak-jejak beton lembap. Sudah tidak didampingi karena Dante menolak diantar. Satu suara logam terjatuh membuat keduanya menoleh. Dante juga sempat menoleh cepat dan tanpa sadar menggoreskan lengan bawahnya ke sisi tajam scaffolding. Lengan baju yang Dante kenakan sampai robek, Reema yakin mengenai kulit Dante juga, dan benar saja. “Pak!” Reema panik tapi tetap tenang. Dante tidak kesakitan, hanya menatap tangannya ada goresan memanjang sekitar tiga ruas jari, merasa lukanya biasa. Reema membuka tasnya cepat, mengeluarkan tisu, plester, dan antiseptik kecil yang selalu dibawanya. “Sebentar, sini... saya bantu.” Dante menatapnya, awalnya ingin menolak. Tapi ia diam. Duduk di salah satu bangku panjang di sana. Reema jongkok di hadapannya, membuka kancing salah satu lengan yang terluka, kemudian menggulungnya dengan rapi. “Tahan ya Pak, akan perih sedikit!” “Saya bukan anak kecil,” jawabnya yang buat Reema mendongak mempertemukan tatapan mata mereka. “Namanya terluka, pasti perih-sakit. Bukan cuman karena yang mengalami anak kecil atau orang tua... Mungkin toleransi menerima rasa sakit Bapak bagus, jadi nggak akan perih...” sambil mengoceh ia terus membersihkan luka dengan gerakan hati-hati tapi tegas. Sesekali meniup pelan agar tidak terlalu perih. Kemudian membuka plester dan menempelkannya dengan penuh perhatian. Tangannya kecil, tapi hangat. Wajahnya serius, tanpa basa-basi manja. “Sudah,” katanya, bangkit berdiri dan mengemasi kembali isi tasnya. Sedikit takjub karena ekspresi Dante sama saja. Dante masih duduk, hanya menatap plester di lengannya. Benda sepele. Tapi terasa... tidak sepele. Ia mendongak, menatap Reema yang kini masih sibuk merapikan tasnya dan berdiri. “Kamu selalu bawa semua itu?” tanyanya datar. “Karena saya kerja sama Pak Dante,” jawab Reema ringan, “saya tahu kadang Bapak kerja terlalu cepat untuk memperhatikan hal kecil. Datang ke lapangan, selalu ada risiko... jadi saya persiapan. Eh benaran dong, padahal saya yang selalu dianggap ceroboh sama bapak tapi yang justru terluka malah Pak Dante sendiri...” Untuk pertama kalinya hari itu, sudut bibir Dante sedikit terangkat. Sangat tipis. Nyaris tak terlihat. Tapi cukup, “kamu punya kesempatan untuk meledek saya, kan?” Reema menatapnya sebentar—heran juga karena ekspresi itu langka—lalu berjalan lebih dulu sambil mengatakan, “apa saya berani melakukannya? Saya hanya bersikap jujur saja kok!” lalu meninggalkan Dante yang kini berdiri pelan sambil menyentuh plester di lengannya sekali lagi. *** Setelah inspeksi proyek selesai, Dante dan Reema kembali ke mobil. Udara panas Jakarta terasa melekat, meski di dalam sedan hitam dengan pendingin maksimal. Sopir mengemudi menuju kawasan bisnis di pusat kota. Di tengah perjalanan, Dante yang biasanya diam tiba-tiba membuka suara. “Kita makan siang dulu.” Reema menoleh cepat. “Baik, Pak. Saya reservasi di tempat biasa?” Dante mengangguk singkat. Kemudian mata Reema membulat saat dapati Dante membuka kancing demi kancing kemeja yang dikenakannya. Tato disalah satu tangan Dante selalu menarik atensi Reema. Tubuh bosnya benar-benar bagus, bukan berarti Reema bisa membiarkan bosnya pamer di hadapannya. “Pak—“ Reema baru mau protes, tapi Dante sudah sedikit membalikkan tubuh dan meraih kemeja hitam lain yang menggantung di belakang. “Tutup mata, atau palingkan saja pandanganmu... saya tidak mungkin pergi makan dengan pakaian robek!” Ya, bekas insiden tadi lengan yang sudah Reema gulung tetap saja tidak nyaman jika tetap digunakan. Reema merasakan pipinya panas, lalu memalingkan wajahnya. Dante dengan santai mengganti pakaiannya, tidak lupa menyemprotkan parfum mahalnya yang menyebar memenuhi mobil hingga memanjakan penciuman Reema. Ia menghela napas dalam, duduknya jadi tegang. Dante kembali duduk tenang. Tak lama, mereka tiba di restoran bergaya kontemporer dengan layanan private room. Tempat yang biasa digunakan Dante untuk rapat atau makan singkat tanpa gangguan. Seorang pelayan datang, memberi daftar menu, tapi Reema sudah lebih dulu berbicara. “Sirloin, medium rare. Tanpa saus lada. Tambahkan baby potato, bukan mashed. Dan saladnya... tolong dressing-nya dipisah,” ucap Reema cepat dan tenang, lalu melirik ke Dante untuk memastikan. Meski sudah jadi resto pilihan Dante, tetap Reema harus memastikan tidak ada kesalahan. Dante tidak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya cukup lama, seakan sedang membaca baris demi baris dari ekspresi Reema. Dante hanya memilih minumannya. Beberapa saat kemudian, Dante diam sejenak. Lalu menurunkan pandangan ke menu di tangannya. Tapi tak membukanya karena sudah diwakili Reema. Dia memang ingin makan itu. Pelayan mengulang kembali pesanannya, kemudian menatap Reema dan Dante bergantian sambil mengatakan “ada lagi?” “Sudah, itu saja...” Pelayan resto siap menjauh tetapi Dante menghentikan, “tunggu...” Kemudian ia menatap, Reema “kamu makan apa?” Reema terkesiap, “saya...? Tidak pesan, Pak. Saya bawa bekal sendiri... dari rumah.” “Bekal?” Dante mengangkat alis. “Kamu pikir saya akan duduk makan dan membiarkan kamu hanya menonton?” Reema buru-buru menggeleng. “Tidak, Pak. Ini sudah biasa. Saya tidak apa-apa.” “Pesan.” Kali ini suaranya datar tapi tegas. “Dan jangan duga saya akan membiarkan staf saya makan dari kotak plastik di resto seperti ini.” “Oh bukan begitu, Pak... saya akan makan nanti dikantor. Saya meninggalkan bekal dikantor.” Dante memberi tatapan yang buat Reema akhirnya menyerah. Ia memesan warm salad dengan salmon dan lemon dressing, makanan ringan yang masih terasa cukup formal. Ketika pelayan berlalu, mereka duduk dalam diam sebentar. Dante menatap sekeliling, lalu kembali memandangi Reema. “Jangan terlalu mengirit sampai pelit sama diri sendiri,” katanya pelan cukup heran dapati sekretarisnya bawa bekal. Bukan hanya itu, penampilan Reema sangat sederhana. Tidak ada perhiasan selain anting, dan jam tangan biasa. Tas Reema juga hanya itu-itu saja, sepatu pun. Sudah enam bulan, Dante pikir akan ada perubahan gayanya tanpa ia tahu kebutuhan Reema bukan hanya untuk mementingkan penampilannya. “Gaji kamu bukan UMR dan perusahaan membayarmu layak untuk jam lemburmu.” Reema tersenyum kecil. Dalam hatinya ada sesuatu yang menghangat, bukan karena ucapan itu datang dari bosnya melainkan karena cara Dante melihat dan memperhatikan, dengan cara yang... unik dan tidak biasa. Bicara mengirit, Reema memang akan berpikir ulang makan di resto bintang lima ini jika bukan karena dibayari sang bos. Uang yang bisa ia pakai untuk makan bertiga dua sampai tiga hari, sayang hanya untuk sekali makan. Ia tidak menampik, pekerjaannya sekarang membuat hidupnya dan keluarga mulai membaik walau tidak banyak menyisihkan, mengingat hutang orang tuanya masih banyak. Saat makanan datang, Dante mencicipi potongan pertama dagingnya, lalu mengangguk perlahan. Matanya terarah ke Reema lagi, kali ini lebih lama, “tepat tingkat kematangannya.” Reema tersenyum ringan. “Saya tahu Bapak tidak suka terlalu matang.” Dante menaruh pisau dan garpu sebentar. “Reema,” katanya, menatap langsung ke matanya, “banyak belajar ya kamu... mencatat apa pun mengenai saya?” Reema tersenyum samar. “Saya rasa... saya mulai terbiasa setelah enam bulan ini. Lagi pula kalau kerja saya bagus, Pak Dante aman... saya juga yang akan tenang. Maksudnya, tidak sampai buat Pak Dante marah atau kecewa...” “Baguslah kalau kamu paham itu!” Untuk pertama kalinya sejak mereka duduk, Dante benar-benar tersenyum. Tipis. Tapi nyata. Lalu ia melanjutkan makannya, sementara Reema diam-diam merasa seperti baru saja memenangkan ujian kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD