Dante tertawa sinis, kemudian ia menatap papinya lagi, “aku menduga jika keputusanmu ini, memaksa Nolan kembali... caramu untuk merayu wanitamu itu agar mau kembali ke Jakarta juga?”
“Dante...“
“Aku hanya ingin mengingatkan, jika sampai membuat Mami kembali terluka dengan keputusanmu bersama wanita itu lagi... Papi akan melihat sisi lain yang belum pernah aku tunjukkan. Aku bukan anak-anak lagi, yang hanya diam saat melihatmu lebih memanjakan anak dari wanita lain itu!” Katanya dengan tegas, penuh ancaman dan sorot mata dalam yang menyimpan luka.
“Kamu begitu peduli pada Mami, tapi selalu membuatnya pusing memikirkanmu.”
Dante tahu arah pembicaraan tersebut, mengenai perempuan-perempuan yang Mami upayakan untuk dekat dengannya.
“Delica sudah memberikan Favian, cucu untuk kalian. Jangan berharap banyak padaku.”
“Meski kami sudah mendapatkan Favian dari Delica, dia akan meneruskan bisnis keluarga suami adikmu. Aku dan mamimu ingin melihatmu juga menikah, lalu memberikan kami cucu.”
“Minta saja pada Nolan. Dia anak penurut dan kesayanganmu, dia pasti akan memenuhi itu. Dia dan aku sama-sama anak laki-laki di keluarga ini. Biar aku mengurus Sadajiwa, dan dia bagian memberimu penerus keluarga Sadajiwa.”
“Dante.” Tegurnya.
“Aku tidak berminat pada hubungan begitu, apalagi memiliki anak. Minta Mami berhenti memilihkan calon istriku.” Tegas ia sampaikan.
“Jawaban ini hanya akan menyakiti hati mamimu jika mendengarnya. Hargai usahanya, perempuan yang Mami pilihkan, sudah pasti dari latar yang jelas. Perempuan dari keluarga baik-baik yang kami yakini akan cocok denganmu.” Nadav mengatakan itu karena dapat keluhan sang istri yang mengatakan Dante selalu menggagalkan usahanya sebelum coba mengenal pilihannya.
Dante meninggalkan ruangan ayahnya, tangannya mengepal dengan leher yang terasa tercekik hingga sulit bernapas, ia segera melonggarkan dasinya.
Dari segala yang ia miliki sebagai putra sulung Sadajiwa, yang mungkin diirikan banyak orang... ada bagian luka yang ia benci bila harus menghadapinya. Luka yang ia pendam sendiri, tanpa bisa membagi dengan siapa pun. Luka yang banyak bertanggung jawab terhadap karakternya sekarang.
Dia meraih ponsel, menelepon Hans... “Selesaikan pekerjaan hari ini dengan cepat, aku ingin pulang cepat dan bersenang-senang.”
Dia menemukan alasan untuk kembali berpesta, kemudian mungkin menemukan perempuan menarik untuk bersamanya malam ini. Seperti kehidupannya seperti biasa yang ia lewatkan selama berbulan-bulan ini.
Sementara di tempat lain, Reema tengah memejamkan mata sambil bersandar di kursi tunggu hingga nama ayahnya dipanggil barulah ia bangun dan mengambil obat. Apoteker di sana menjelaskan takaran-takaran konsumsi obatnya. Reema mencatat cepat diingatannya, ada tulisan juga di setiap tempat obatnya.
"Terima kasih..." ucapnya lalu berjalan ke ruang rawat ayahnya.
Hari Jumat ini sengaja ia mengambil cuti, semalam ayahnya sempat drop membuatnya tidak tidur sama sekali. Memaksa masuk hanya akan membuatnya kena semprot marahnya sang bos karena tak yakin bisa fokus.
“Ka!” seruan itu membuatnya menoleh, dapati Adnan sudah datang. Tidak sendiri, melainkan bersama Utari Wulan, salah satu teman baik Reema.
Sudut bibir Reema tertarik membentuk senyum lebar hingga menunjukkan giginya.
“Ka Uta minta ikut, jenguk Bapak.” Beritahu Adnan. Utari tersenyum, gadis itu mendekat.
Reema mengangguk, memeluk singkat dan cipika-cipiki “baru sempat datang, bagaimana keadaan Om? Adnan bilang, semalam sempat drop?”
“Iya, batuk darah terus lemas... sekarang sudah membaik, naik-turun. Makanya ini belum dibolehin pulang.” Reema memberi penjelasan kemudian menatap adiknya, “Ad, bawa ini... temani Bapak dulu ya. Kakak sama Utari mau ngobrol dulu, nanti menyusul kamu.”
“Oke, Ka...” Adnan mengambil kantung berisi obat-obatan dan berlalu.
Keduanya terdiam menatap punggung Adnan yang menjauh, Reema barulah menatap sang sahabat dan menghela napas dalam. Seperti melepas topeng baik-baik saja, Utari melihat itu upaya Reema selalu saat di hadapan adiknya.
“Duduk di sana deh, biar enak ngobrolnya.” Ajak Reema sambil mereka melangkah menuju tempat duduk. Ada beberapa orang, tetapi mereka asing dan tidak akan memedulikan satu sama lainnya.
“Uta...” Reema meraih tangan sahabatnya, “ada loker enggak di tempat kerjamu?!”
Utari mengerutkan keningnya, terkejut sekaligus bingung dengan permintaan sahabatnya. “Kamu dipecat? Memang ada apa dengan pekerjaanmu?”
Beberapa bulan ini Reema bekerja jadi sekretaris CEO di perusahaan konstruksi besar. Ditodong pertanyaan begitu jelas menimbulkan tanya dalam hati temannya.
Reema menghela napas dalam, ada beban berat yang ia dapatkan belakangan ini juga semalam. Sesuatu yang belum bisa ia pikul sendiri, “nggak bukan, aku masih kerja di sana... Cuman aku butuh tambahan pemasukan. Tempat kerjamu malam, aku mungkin bisa cari tambahan di sana.”
Utari menatap temannya lekat, “maksudnya pagi sampai sore yang terkadang lembur sampe malam itu, kamu tetap kerja di kantor yang sekarang. Tapi, malamnya berpikir mau cari kerja lagi di tempatku?”
“Iya,”
“Kerjaanmu bukannya butuh fokus banget, seperti ceritamu kalau bosmu itu galak?”
Reema terdiam, memang benar tapi sesuatu mendesaknya. Ia butuh uang yang bahkan terasa mustahil didapatkan bila pun terus bekerja bertahun-tahun.
“Re, butuh uang banget?”
Reema mengangguk.
“Kamu yakin, Re... Pikirkan lagi. Tempat kerjaku bagian dari dunia malam, stigma negatif sudah jadi bagian dari tempat kerjaku. Kamu nggak cocok di sana, Re.”
“Tapi, ada kerjaan? Diposisiku yang benar-benar butuh uang, kayaknya sudah enggak memikirkan soal itu, Uta... Aku benar-benar butuh. Ada limit kartu kesehatan dari pemerintah ini, sedangkan Bapak butuh pengobatan terus menerus, bahkan aku mau kasih pengobatan yang terbaik. Ditambah... ada beberapa hutang yang harus aku lunasi. Aku udah enggak tahu lagi harus gimana dan ke mana, bisa dapat uang ratusan juga sekarang. Jual ginjal, atau jual diri... itu yang paling mungkin—“
“Ssssth! Kamu ngomong apa sih, Re? Sudah cukup teman kamu ini saja yang sudah terlanjur begitu, kamu enggak. Jangan ikut-ikutan!” Uta menolak keras. Kepalanya menggeleng pelan.
Reema menatap temannya, kemudian meraih tangan Utari lebih erat.
“Kalau aku ada, aku sudah pasti kasih kamu pinjam, Re.”
Keduanya terdiam lama, Utari menatap Reema lekat. Wajah dan fisik Reema jelas memungkinkan bekerja sepertinya, di tempat hiburan malam atau bahkan jadi wanita penghibur. Tapi, Utari berteman dengan Reema bukan untuk menjerumuskannya.
“Sabtu-Minggu saja deh, kalau enggak Senin sampai Jumat. Kata kamu, kalau akhir pekan selalu rame.”
“Re, Om sama Adnan bakal musuhin aku kalau sampai aku iyain kamu kali ini!”
Ketika Reema diam, Utari pikir temannya menyerah tetapi Reema malah tertunduk kemudian bahunya terguncang dan menangis.
“Please, Uta... aku butuh banget!” Reema tidak menyerah sama sekali.
Utari mendekat, merangkul sambil mengusap punggung temannya, “Re—“
“Bapak sama Adnan enggak perlu tahu aku dapat uang dari mana, dengan cara apa... Kalau enggak gini, aku ikut malam ini... lihat langsung keadaan tempat kerjamu. Kalau aku baik-baik saja, kamu bisa pertimbangkan buat ajak aku kerja. Ya, Uta... Please!” Reema menatap dengan tatapan memohon, tangannya juga ia tangkupkan di hadapan temannya. Nadanya pun benar-benar putus asa.
“Ini sulit dipercaya, aku mendengarnya dari kamu yang bahkan enggak pernah menginjakkan kakinya di tempat begitu! Kamu sadarkan, Re... apa yang kamu inginkan ini?”
Reema mengangguk dengan kesadaran penuh.
***
Étoile Noire... Kelab itu berbeda dari kelab lain, katanya tidak sembarang bisa masuk ke sana. Untuk yang kantong pas-pasan, bukan tempat tujuan. Akses masuknya saja ketat. Hanya dari kalangan-kalangan tertentu yang jadi tamunya, eksklusif. Di sana bagai dunia yang berbeda dari kehidupan Reema yang sehari-hari bekerja formal dan berpenampilan rapi sebagai sekretaris.
“Re, kamu tahu tempat aku kerja nggak sembarangan. Ini dunia yang beda banget, dan aku sebenarnya nggak pengen kamu masuk ke sana.” Utari mengingatkan sekali lagi. Sebenarnya ia masih sangat ragu, berharap Reema mengubah keputusannya.
Justru sebaliknya, Reema tetap yakin dengan pilihannya. “Aku nggak minta kerja tetap. Aku cuma... mau lihat. Mungkin ada peluang. Posisi yang pas buatku. Mungkin aku bisa bantu-bantu di belakang. Cuci gelas kek, bawa-bawa apa kek. Aku butuh uang, Tar…” sambil bercanda. Ia tidak punya kemampuan meracik minuman seperti Utari. Melihat tekad sahabatnya, Utari akhirnya menyerah.
Ia meminjamkan dress hitam simpel tapi elegan, memoles wajah Reema sekadarnya, lalu menyelipkan akses masuk khusus melalui pintu staf. Mereka masuk lewat lorong khusus yang langsung menuju area lounge VIP.
Musik menghentak, lampu temaram memantul dari dinding kaca. Aroma alkohol, parfum mahal, dan cerutu tipis bercampur di udara. Para tamu berpakaian mencolok dan Reema akhirnya tahu jika kelab di sana memang tempat artis, sosialita, dan pebisnis muda yang mudah menghamburkan uang.
Reema terpaku, masih mencari rasa nyaman.
Utari menggandengnya sambil berbisik, “Ikut aja dulu. Aku shift di bar VIP, kadang kalau ada panggilan, kita ke private room.”
Utari mengenalkannya ke beberapa staf yang bertemu. Reema memandangi cara temannya bekerja sambil mengamati sekitar. Beberapa saat kemudian, manajer meminta Utari memberi servis khusus ke salah satu ruangan private room VVIP.
“Aku tunggu di sini saja, Uta...”
Utari malah mengajaknya, “kesempatan, siapa tahu ada yang tertarik sama kamu... Orang-orang berduit itu, bisa jadi jalan keluar dari kesulitanmu.”
Reema terdiam, mengernyitkan kening. Tetapi kemudian Reema tetap ikut membuntuti. Di depan pintu ruangan, suara tawa dan denting gelas terdengar jelas. Terdengar dalam ruangan, memang ada pesta tersendiri.
“Ramai sekali...” bisik Reema. Saat pintu dibuka, yang Reema pikirkan memang itu party khusus. Dia terdiam menatap beberapa perempuan penghibur dengan pakaian super minim tengah menari ditiang-tiang yang tersedia.
Remma hampir mundur, sekujur tubuhnya merinding sendiri mendapati keadaan di sana. Walau bertekad, hati kecilnya mempertanyakan keputusannya hingga menginjakkan kaki di tempat yang sangat bukan dirinya tersebut. Kemudian ia menarik napas dalam, mulai goyah dan ingin mundur saja.
Mata Reema kemudian mencari, niatnya ingin melihat Utari bekerja. Tapi ia malah langsung membeku dengan jantung yang berdetak kuat.
Dalam penerangan ruangan itu. Ia yakin tidak salah lihat. Di antara beberapa pria bersama wanita di sana, mata Reema terpaku pada satu sosok. Bosnya. Duduk santai di sofa tengah ruangan. Kemeja lengan digulung, jam tangan mahal melingkar di pergelangan. Di kanan dan kirinya, dua perempuan bergaun mencolok bersandar manja padanya. Dante sedang menyesap segelas Macallan Rare Cask sambil mendengar tawa temannya yang entah bicara apa.
Bos Dante! Astaga! Batin Reema. Sungguh ia tidak tahu kehidupan malam yang liar ini jadi bagian dari kehidupan bosnya.
Berhenti memikirkan itu, Re! Bagaimana jika dia melihatmu?! Batinnya lagi. Sementara hari ini, Reema sadar ia memilih cuti. Bukan menemukan pekerjaan tambahan, bisa-bisa ia kehilangan pekerjaan. Ya, sekiranya itu pikiran rasional Reema sesaat. Hampir hanya saja lebih dulu mata mereka bertemu. Dante sampai terdiam dan menurunkan gelasnya.
“Mati aku! Dia melihatku!” gumam Reema dan bergerak mundur walau rasanya sudah tertangkap basah dan tidak ada kesempatan untuk bisa menghindar.
Apa hari ini, benar-benar hari sialnya? Ya, walau rasanya memang lebih sering dapat masalah akhir-akhir ini.