BAB 1 Berbeda Jenis Tapi Sama-Sama Jahil

1947 Words
 “Papa, kenapa rumahnya nggak di kasih pagar aja, sih?” rengek Matcha, gadis cilik berusia lima tahun itu pada seorang lelaki muda di dekatnya yang saat ini tengah memompa sepeda kecil miliknya. Mata gadis cilik itu sesekali menoleh ke rumah sebelah, tepatnya pada seorang anak lelaki kecil seusianya yang sesekali mengintip dari teras sambil menjulurkan lidah, mengejek. “Memangnya kenapa harus di kasih pagar, Sayang?” tanya Teddy, papa si gadis cilik dengan senyum tipis. Lelaki muda itu tahu, putrinya sedang merasa sangat kesal gara–gara acara bersepedanya di minggu pagi ini harus tertunda karena ban sepeda kempes. Penyebabnya apa, dengan sangat jelas papa si gadis itu tahu. Karena kejadian ini bukan sekali atau dua kali ini terjadi. Begitu juga dengan rengekan manja yang meminta rumahnya supaya di kasih pagar. Eentah itu sudah yang keberapa kali dia dengar. “Biar Nara nggak usil–usil lagi masuk kesini buat kempesin sepeda Chacha, Pa,“ ucap gadis cilik yang lebih suka di panggil dengan nama “Chacha” karena lebih mudah pengucapannya. Nada bicara Matcha terdengar sangat sebal, apalagi begitu melihat lelaki kecil sebayanya yang bernama Nara itu sudah keluar duluan dengan bersepeda ria sambil tak lupa kembali menjulurkan lidah mengejek ke arahnya. Si Papa hanya tertawa geli sambil mengacak rambut cepak putri mungilnya itu. Berbeda dengan apa yang sering di lakukan oleh Nara, maka berbeda pula dengan balasan sadis yang di lakukan Matcha untuk membalas keusilan Nara. Di hari minggu yang benar–benar cerah, jarum jam menunjuk angka lima sore. Matcha sudah mandi dan berdandan manis sekali. Gadis cilik itu saat ini tengah berdiri di halaman rumahnya sambil menikmati sebatang permen warna merah berbentuk jari kaki yang dahulu memiliki iklan keren di TV dengan jingle familiar di pendengaran berbunyi “Hot-hot pop bikin gaya makin ngepop!” Tiba–tiba terdengar suara Nara yang baru datang bersama Om Adi –Papa Nara-. Kelihatannya mereka baru pulang dari bermain layang–layang di lapangan komplek perumahan, karena nampak Nara menenteng benda mainan tersebut lengkap dengan benangnya. “Cepat mandi, Nak,” teriak Tante Anisa -Mama Nara- dari dalam rumah. Entah karena mendengar teriakan mama atau karena rasa haus yang Nara rasakan setelah beberapa jam berpanas–panasan di lapangan main layangan, dengan asal taruh bocah lelaki kecil itu meletakkan layang–layang beserta benangnya di teras rumah. Kemudian segera menyusul papa yang sudah masuk rumah duluan. Melihat itu, Matcha tersenyum miring dengan sadis. Dengan langkah tenang dia berjalan menuju ke arah rumah Nara, tepatnya ke arah layang–layang yang tergeletak tak bertuan. Beberapa detik kemudian tangannya sudah berulah manis. Breeettt … Breeettt ... Breeettt … layangan itu sukses tak berbentuk lagi. Matcha menyobeknya hingga tertinggal kerangkanya saja. Kemudian gadis cilik itu kembali ke rumahnya dan masuk dengan tenang, menuju ruang keluarga lalu menikmati kudapan sore yang sudah di hidangkan oleh mama tercinta. Tenang tanpa dosa, itulah sikap yang terlihat pada sosok Matcha saat ini. Dengan santai dia mengajak papa yang sudah duduk duluan di ruang keluarga itu bercanda ria seolah beberapa menit lalu dia tidak melakukan apapun yang akan menjadi sumber tangisan teman sebelah rumahnya. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Belum nampak atau terdengar reaksi apapun dari rumah sebelah, dan tepat tiga puluh menit kemudian … “CHACHAAAAAA ………. ” Teriakan panjang itu terdengar melengking dengan keras sampai ke ruang keluarga rumah Matcha. Papa dan Mama Matcha segera berhenti dari aktifitas apapun yang mereka lakukan saat ini. Tatapan mereka lurus ke arah putri semata wayangnya yang tengah santai mengunyah kue. “Astaga, Chacha. Apalagi yang kamu lakukan pada Nara?” tanya papa dengan nada tegasnya, membuat gadis cilik itu segera menunduk, menyembunyikan wajahnya dan pura–pura merasa bersalah. “Chacha???” Julie, Sang Mama ikutan bersuara begitu melihat putrinya tak segera menjawab. “Chacha hanya merobek layang–layang Nara,” jawab gadis cilik itu dengan suara lirih tanpa berani mendongak menatap wajah kedua orang tuanya. “Astaga … ” ucap papa sambil menangkupkan kedua tangannya di kepala sendiri, dan dengan segera menarik pelan tangan Matcha supaya turun dari kursi tempat duduknya saat ini. Selanjutnya dengan sangat tidak sabar dan dengan langkah cepat menarik putrinya segera keluar rumah menuju rumah Nara. “Kamu ini kenapa sih, Cha? kenapa usil banget? Kamu harus minta maaf sama Nara!” omel papa sepanjang langkah menuju rumah Nara. Mama yang khawatir terjadi apa–apa dengan putrinya segera tergopoh–gopoh mengikut di belakang mereka. Di teras rumah sebelah, Matcha dan kedua orang tuanya melihat Om Adi sedang jongkok di depan Nara, sibuk menenangkan bocah cilik yang lagi menangis. Mama Anisa berada di sisinya sambil memegang layang–layang yang tinggal kerangka. “Mas Adi, saya minta maaf, Chacha memang nakal,” ucap Papa Matcha dengan wajah menyesalnya. Papa Nara hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Tuh khan, Pa, memang Chacha yang sobek layang–layang Nara,” Nara berkata dalam isak tangisnya. “Chacha, segera minta maaf pada Nara!” hardik Papa dengan suara tegasnya. “Tapi, Nara nggak pernah minta maaf sama Chacha kalau dia habis kempesin ban sepeda Chacha,” suara menggemaskan dari bocah itu membuat keempat orang dewasa di dekat mereka menarik nafas panjang berusaha sabar menghadapi kelakuan putra-putri mereka.  ***** Lima Tahun kemudian. Matcha turun dari mobil antar jemput sekolahnya sambil menangis. Di belakangnya Nara menyusul berjalan dengan sikap cuek tanpa dosa. Mobil antar jemput sekolah memang menaik turunkan mereka hanya sampai di pintu portal dekat pos satpam cluster rumah mereka. Demi melihat Matcha yang turun mobil sambil menangis, Pak Satpam segera menegur mereka. “Neng Chacha kenapa menangis atuh, Neng? Sakit kah?” Pak Asep yang asli orang Bandung itu menyapa mereka dengan logat sundanya yang medok. “Neng Chacha mah emang tukang mewek atuh, Pak, dikit–dikit dia nangis,” Nara yang akhirnya menjawab sapaan Pak Asep dengan mengikuti logat medok ala sunda itu dengan keusilannya. Dengan spontan Matcha melemparkan botol minum Tu****ware yang sejak tadi dia pegang ke arah Nara dengan kekuatan penuh. Plethak. Botol itu tepat mengenai dahi Nara yang membuat bocah lelaki sepuluh tahun itu meringis kesakitan. “Aduh … sakit ya, Jang?” Pak Asep segera mendekat ke arah Nara dan ikut mengelus dahi benjol bocah itu. Wajah Nara mengernyit dan memerah menahan rasa sakit di dahi benjolnya. “Lihat baju Chacha nih, Pak,” tunjuk Matcha pada baju putihnya yang penuh dengan noda warna biru. “Eleh … eleh … itu kena apa atuh, Neng?” tanya Pak Asep keheranan. “Ditumpahin cat air sama Si Nara, Pak. Chacha takut di marahin Mama. Khan bajunya nggak bisa di pakai lagi.” Matcha yang sebelumnya sudah sempat berhenti menangis kembali menangis lagi  begitu teringat amarah mama nanti sore ketika dia akan merengek meminta beli seragam baru lagi. “Ya udah, aduh Neng Chacha jangan nangis lagi, ini nih biar lega lemparin lagi aja Si Ujang pake botol ini lagi, Neng,” entah sadar atau tidak, Pak Asep memberi usul pada Matcha sambil mengulurkan botol Tu****ware-nya yang tadi dia lemparkan pada Nara. Nara yang tidak mau kena celaka kedua kalinya segera melesat berlari meninggalkan dua orang di pos satpam itu. “Makanya Jang, jangan usil–usil terus atuh,” teriak Pak Asep sambil mengelus–elus pundak Matcha berusaha menenangkan gadis sepuluh tahun berseragam putih merah itu supaya tidak lagi menangis.   ***** Tiga Tahun kemudian. Pak Hasan, guru prakarya di kelas 8-C itu baru saja selesai membagi kelompok untuk tugas baru membuat sebuah lukisan di atas kain kanvas. Tema lukisannya adalah persahabatan. Masing–masing kelompok berisi dua orang, di bagi sesuai urutan absen. “Baik, bapak harap tugas kalian bisa terkumpul pada hari senin minggu depan. Bekerjasamalah yang baik sehingga kalian bisa mendapatkan nilai yang baik,” pesan Pak Hasan sebelum menutup pelajarannya hari ini. Tiba–tiba salah seorang siswinya mengacungkan jari telunjuknya, padahal sang guru sama sekali tidak mengatakan ada sesi  tanya jawab. “Ada apa lagi, Matcha?” tanya Pak Hasan yang sangat mengenali satu siswinya dari salah satu kelas di SMP tempat beliau mengajar saat ini. “Kenapa pelajaran melukis harus di kerjakan berkelompok, Pak? Khan nanti idenya jadi nggak asyik?” Pak Hasan menghela nafas menyabarkan hatinya. Kebetulan ini adalah tahun kedua bapak guru ini menjadi guru pengajar prakarya di kelas siswi yang baru memprotesnya barusan. Jadi dengan jiwa kebapakannya, Pak Hasan yang sudah sangat mengenal karakter siswinya itu berusaha sabar dan menjelaskan mengenai tugas yang beliau berikan barusan. “Tugas kelompok ini bertujuan melatih kalian supaya bisa belajar berdiskusi menentukan ide, belajar kreatif dalam sebuah tim dan belajar bersosialisasi,“ perjelas Pak Hasan dengan sangat–sangat penuh kesabaran. “Tapi, kenapa Bapak selalu memberi saya teman satu kelompok dengan dia?” protes Matcha masih berlanjut, kali ini tatapannya beralih ke bangku Nara, cowok yang sejak tadi berlagak cuek dan sok cool. Mendengar protes Matcha barusan, hampir seisi kelas menahan tawa, mereka tahu sekali kelakuan dua temannya ini. “Itu karena, meskipun selalu Bapak kasih kesempatan buat kalian untuk menjadi teman satu kelompok, sampai sekarang kalian juga tetap tidak pernah akur.“  Sontak tawa seisi kelas yang tertahan semenjak tadi menggema bersamaan menimbulkan keributan. “Bapak selalu tidak adil!“ protes itu masih berlanjut juga. “Sesi protes di tutup. Dan Matcha, terimalah nasib kamu, karena Bapak juga tahu kamu tidak pandai melukis tetapi Nara jago melukis. Jadi, kamu patut mensyukuri pilihan Bapak, terima kasih dan selamat siang.“ Tawa seisi kelas masih memenuhi ruangan mengikuti kepergian Pak Hasan yang berjalan santai keluar kelas tanpa memperdulikan gadis yang masih memberengut sebal di bangkunya. Matcha kembali menoleh sebal ke arah Nara yang sejak tadi tidak mengeluarkan suaranya. Namun kali ini cowok itu menatapnya dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan, kode untuk berucap “Peace”. “Ke kantin yuk, Cha, emangnya elo nggak lapar mulai tadi emosi–emosi sendiri tanpa lawan gitu?” ajak Rena teman sebangkunya. “Sebel gue sama Pak Hasan, selalu aja jadiin Si Kunyil itu teman sekelompok gue,“ sungut Matcha sambil mengikuti Rena yang bersiap keluar kelas. Rena dan Matcha berjalan ke arah pintu kelas, namun begitu melewati tepat depan papan tulis, sebuah penghapus mampir manis di baju putihnya yang otomatis meninggalkan bekas warna hitam.  Karena kebetulan, papan tulis mereka hari ini penuh tulisan dengan spidol warna hitam. Sudah jelas pelakunya siapa, karena beberapa menit yang lalu dengan gaya sok rajinnya Nara menjadi sukarelawan menghapus papan. “Dasar Kunyillll … ” jerit Matcha yang sudah memegang penghapus yang terjatuh setelah mengenai baju putihnya dan meninggalkan cap berbentuk kotak berwarna hitam. Dengan gemasnya dia berlari cepat ke arah Nara yang bersiap menghindar. Tapi apes, Matcha berhasil menarik seragam cowok itu dan dengan sukacita membuat cap hitam di baju seragam Nara pada beberapa bagian. “Hey Machoooo … dasar jorok ah, kotor dong baju gue,” Nara ikutan menjerit namun tak bisa mengelak dari gerakan gemas Matcha yang penuh nafsu amarah. “Salah sendiri, siapa yang duluan usil, dasar Si Kunyil jorok.“ Rena yang tidak tahan melihat pergulatan sengit bersenjata penghapus papan itu segera merampas penghapus dari tangan Matcha, kemudian segera menarik gadis itu keluar kelas. Tinggallah Nara meringis memandangi baju putihnya yang sudah tak berwarna putih bersih lagi karena banyak lukisan batik kotak-kotak hasil karya Matcha. “Dasar cewek macho nyebelin, terus gue harus gimana dong dengan baju putih seperti ini?  Setelah ini pelajaran PKN yang wajib rapi lagi, aduh … “ dumel Nara meluapkan kekesalannya seorang diri. Tak berapa lama, dia melirik ke kantong bajunya, dan bibirnya tersenyum bahagia menemukan jatah uang saku untuk satu minggu ke depan ternyata masih utuh belum tersentuh. Tadaaa … dia langsung melesat menuju koperasi siswa yang merupakan toko serba ada, di sana pasti menjual baju seragam putih juga.   *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD