BAB.18

2094 Words
Aku melambaikan tangan pada mas Angga lalu masuk ke dalam rumah dengan senyuman lebar. Kami baru saja berkencan, walaupun sempat terjadi sebuah insiden yang kurang mengenakkan. Aku meninggalkannya dan pergi dengan Alfa. Meski pada akhirnya aku kembali, aku sudah nyaris membuat kencan pertamaku gagal. Aku merebahkan tubuhku ke kasur setelah selesai mencuci muka, ganti baju dan meminum segelas air putih. Entah kenapa lelah, mungkin karena ini sudah jam sembilan malam. Pintu kamarku terbuka dan nongollah adikku satu-satunya, Elvira. Adikku yang kutuan itu masuk dan langsung nyelonong duduk di kasurku. "Kak," panggilnya. "Kenapa?" tanyaku. "Disuruh Mama makan malam," jawab Elvira. Aku menggelengkan kepalaku lalu menepuk-nepuk perutku dua kali. "Kakak sudah makan, kenyang!" tolakku. "Makan apa?" tanya Elvira. "Sepaket ayam, nasi dan minumnya," jawabku. "Ditambah dengan es krim super gede dan enak dengan taburan buah-buahan yang menggiurkan.” Elvira manyun. "Asem! Aku nggak dikasih," dengus Elvira kesal. "Makanya cari gebetan," ejekku. Elvira menepuk lenganku ringan. "Elvira bukan kakak ya! Elvira ini mau fokus belajar dan jadi dokter! Elvira pasti bakal lebih kaya dari kakak. Jangan ngemis Elvira lho kalau kakak miskin nanti!" kata Elvira setengah mengancam. "Tega amat doain kakak miskin!" ujarku tidak terima. Elvira terkekeh. "Ingat! Apapun yang terjadi, jangan minta uang pada Elvira!" kata Elvira tegas. Aku hanya memiringkan badanku, membelakanginya. "Males gila! Aku nggak bakalan minta, palingan minjem!" sahutku. Elvira mendecih. "Nggak bakalan aku kasih!" ancam Elvira dengan yakin. Aku hanya tertawa geli menanggapi ucapan Elvira. "Ya, ya, nggak bakalan minta atau minjem. Tapi kalau dikasih, nggak nolak!" ucapku. Brak. Pintu kamarku ditutup dengan kasar. Elvira keluar, sepertinya dia ngambek. Adikku satu-satunya itu memang susah diajak bercanda. Dia itu terlalu serius menjalani hidup. Mungkin karena itu aku jarang melihatnya tersenyum atau bermain dengan temannya. Kalau kuingat-ingat lagi selama ini belum pernah ada temannya yang ke rumah. Dia punya teman nggak sih? Entahlah. Tiba-tiba sebuah pesan mendarat di handphoneku. Dengan malas, kuraih handphoneku. Belum juga kubuka, beberapa pesan lainnya mendarat di handphoneku. Ada 4 pesan. Diurutan pertama ada mas Angga. Aku pun tanpa perlu berpikir langsung membukanya. [ White Prince Na, thanks ya buat hari ini. Thanks banget udah kembali. ] Aku tersenyum senang membaca pesan dari mas Angga itu. Aku pun beralih ke pesan berikutnya, dimana pengirimnya masih sama, pangeran baikku, mas Angga. [ White Prince Na, sorry, Aku belum yakin tentang perasaanku meski kita udah kencan hari ini. Tapi, aku rasa PDKT sama kamu, bolehlah. ] Aku menghela napas panjang. Sejujurnya aku agak kecewa. Bolehlah? Kok kesannya jadi aku yang ngarep? Terus pelukan tadi apa? Aku nggak paham pikiran cowok, deh. Aku beralih ke pesan berikutnya, rupanya dari si cowok BBF. [ Cowok BBF Na, lain kali ikut aku. Kita pergi berdua aja. PS : ini bukan kencan. ] Aku mendecih kesal setelah membaca pesan Alfa. "Nggak perlu dibilangin, aku udah tahu kalau kalau nggak mungkin diajak kencan oleh seorang Alfa! Dasar cowok BBF!" gerutuku BT, mendadak makin badmood. Aku beralih ke pesan ke empat, dari sebuah pesan tanpa nama. Nomer baru. [ 081223563*** Na, aku bakal balik. ] Aku mengerutkan keningku. Siapa sih? Kupandangi pilihan diatas pesan itu. Blok atau tambah ke kontak? Kutekan pilihan blok. Malas menanggapi sebuah nomer baru yang sok akrab. Setelah itu, aku mulai memejamkan mataku. Lelah. *** Alka menatapku lekat, sejak tadi dia sudah mendesakku untuk cerita tentang kencanku dengan mas Angga. Namun aku hanya diam saja, enggan menjawab pertanyaan darinya yang jika kujawab satu, maka ratusan pertanyaan lainnya akan menyusul. "Na, cerita dong!" bujuk Alka lagi saat kami sudah memasuki jam istirahat. Aku hanya tersenyum kecil. "Kencannya biasa aja kok, Ka!" jawabku. "Biasa aja itu gimana?" tanya Alka. Aku hanya mengangkat kedua bahuku. "Entahlah, pokoknya biasa," jawabku. Alka menyipitkan matanya. "Mas Angga kurang ganteng?" tanya Alka. Aku tergelak mendengar pertanyaan konyol Alka. "Kalau tampang kayak mas Angga dibilang kurang, terus yang ganteng kayak siapa, Ka?" sanggahku. Alka nyengir. "Iya sih, mas sepupuku itu emang kelewat ganteng. Tapi dia itu oon!" ujar Alka. Aku menautkan alisku, heran. "Oon?" Alka mengangguk. "Dia itu suka nyakitin cewek tanpa sengaja dengan ucapannya, makanya aku khawatir kamu jadi nggak suka dia, Ina. Soalnya dia itu memang payah kalau soal cinta-cintaan!" keluh Alka. Aku terdiam sebentar. "Ka," panggilku ragu. "Apa?" sahut Alka. Aku lagi-lagi terdiam, ragu. "Nggak jadi, deh!" ujarku. Alka menekuk mukanya. "Jangan bikin penasaran dong, Na. Kita udah sahabatan lumayan lama lho! Ayo apaan, jangan bikin kepo!" desak Alka. Aku hanya menghela napas ringan. "Mas Anggamu itu naksir aku nggak sih?" tanyaku. Alka lagi-lagi menautkan alisnya. "Emang kenapa? Dia bilang sesuatu yang ngebuat kamu bimbang?" tanya Alka menebak-nebak. Aku hanya tersenyum kecil. "Aku nggak yakin aja kalau cowok seganteng dia naksir aku," ucapku. Alka menepuk pundakku. "Dih apa sih! Kamu itu cantik, Na! Jangan pesimis gitu ah! Walaupun jelek sekalipun, kamu masih pantes dapetin mas Angga!" kata Alka yakin. "Kok gitu?" tanyaku penasaran. "Karena kamu cewek dan mas Angga itu normal!" jawab Alka sambil senyum lebar. Aku ngakak mendengar alasan Alka yang ngawur. "Asem kau!" Alka tambah ngakak, kami pun pada akhirnya tertawa keras bersama sehingga sedikit menarik perhatian teman sekelas. "Na!" Panggilan itu seketika membuatku dan Alka menoleh. Di depan pintu kelas kami, cowok ganteng yang sedang kami bicarakan telah berdiri dengan senyuman lebar tersungging di bibirnya. "Hem, hem," Alka berdehem dua kali untuk menggodaku saat tahu kalau mas Angga datang ke kelasku. "Apa sih, Ka!" ucapku malu. "Sana samperin!" suruh Alka. Aku mengangguk dan mulai berdiri dari dudukku. "Aku samperin ya," ucapku pada Alka. Alka mengangguk. Dengan sedikit dorongan dari Alka, aku mulai mendekati mas Angga. "Ada apa, mas?" tanyaku saat sudah berada di depannya. "Ini! lupa aku kasih kemarin!" jawab mas Angga sambil memberiku sebuah stiker berbentuk love. "Apa ini mas?" tanyaku heran. "Stiker," jawab mas Angga. Aku nyengir kuda. "Gue tahu mas ini stiker, maksud ini ini stiker apa?" tanyaku balik. Mas Angga tidak menjawab, hanya mengusap-usap lembut kepalaku tiga kali. "Kalau udah 10, aku bakal nembak kamu!" jawab mas Angga lalu berbalik pergi. Aku membeku. Nembak aku? Siapa? Mas Angga? Aku nggak salah denger kan? "Na!" Aku menoleh dan si cowok BBF sedang menatapku dengan tatapan yang sulit aku jelaskan. "Apa, Fa?" tanyaku. "Aku suka kamu, Na. Mau pacaran?" Aku menganga. What????!!!!!! Aku menganga, shock setengah mati tidak menyangka sama sekali kalau Alfa si cowok BBF pada akhirnya nembak aku. Apa Alfa udah suka aku? "Fa," panggilku. "Ya?" sahut Alfa yang tampak cemas untuk mendengar jawabanku. "Aku," aku terdiam. Bimbang. "Na!!!" teriak Alka nyaring. Aku menoleh pada Alka dan sahabatku itu langsung menepuk cukup keras kedua pipiku. "Jangan tertipu! Alfa itu cowok BBF! Ingat, kamu itu lagi PDKT sama sepupuku!" kata Alka panik. Aku tersenyum geli melihat kepanikan Alka. Aku tepuk pelan pundak sahabatku itu. "Ka, aku mau ngomong dulu sama Alfa. Jangan ganggu dulu ya. Apapun jawabanku, ini yang menurutku terbaik. Ok?" pintaku pada Alka. Alka menganggukkan kepalanya pelan. "Oke, aku nggak akan ganggu!" kata Alka lemah. Aku tersenyum mendengar perkataan Alka. "Makasih," Alka mengangguk. "Oke," katanya lalu menjauh walau masih dalam jangkauanku. "Kamu beneran suka aku?" tanyaku pada Alfa. Alfa mengangguk mengiyakan. "Iya Na, aku suka kamu. Aku nggak mau kamu sama yang lain!" jawab Alfa tegas. Aku tersenyum tipis, tersipu malu juga. Aku yakin kalau aku bercermin saat ini maka akan terlihat betapa merahnya pipiku. "Jadi apa jawabanmu?" tanya Alfa. "Aku emang sudah suka kamu Fa, jauh sebelum kamu suka aku," ucapku. Alfa tersenyum. "Tapi," aku terdiam, entah kenapa bibieku enggan melanjutkan. Alfa terdiam, senyumnya menghilang setelah mendengar kata 'tapi' dariku. "Aku ini," aku kembali melanjutkan. "Udah move on," imbuhku pelan. Alfa tertunduk lemas, wajahnya murung dan mendadak dia diam, tak bersuara. Aku tunggu beberapa wkati dan dia masih sama. Berdiri mematung tanpa suara atau gerakan sehingga membuatku khawatir. "Na," panggilnya pelan. "Ya?" sahutku. Alfa mendekat dan meletakkan tangannya di pundakku. Dia masih tertunduk seolah sedang berusaha menyembunyikan wajahnya dariku. Kamu sakit hatikah, Fa karena aku tolak sampe kamu nggak mau menatapku? Alfa masih diam. Aku pun dengan inisiatif sendiri meletakkan tangan kananku di lengannya. "Maafin aku ya, Fa!" kataku. Alfa menghela napas berat. "Ina," panggilnya lagi. "Apa?" sahutku lembut. "Aku nggak bisa lagi," katanya. "Hiks," Alfa mulai terisak. "Heh? Fa, kamu nangis? Jangan nangis lah!" kataku panik. "Kamu harus bisa move on dan-," "Ina, aku nggak bisa lagi nahan tawa!" potong Alfa cepat. "Hah?" Alfa mengangkat kepalanya dan melihatku dengan senyuman lebar yang membuatku semakin bingung. "Maksudnya apa?" tanyaku. "Hahahahhahahaha," Alfa ngakak membuatku menatapnya heran. Aku menggigit kuat bibir bawahku, entah kenapa kesal. "Ada apa?" tanya Alka yang mulai kepo karena melihat Alfa tertawa. "Nggak tahu, dia mulai gila mungkin!" jawabku kesal. "Hah?" seru Alka bingung. "Udah ah! Dia emang stress!" kataku mencegah Alka berpikir keras tentang apa yang sedang terjadi. Alfa berhenti tertawa lalu menatapku dengan senyuman membuatku semakin kesal padanya. "Aku bercanda, Na. Maaf ya!" kata Alfa. Aku hanya mengepalkan tanganku kuat-kuat sambil mencoba menenangkan perasaan kacau yang sedang kurasakan saat ini. "Maaf," kata Alfa lagi. "Heh? Tadi kamu nembak Ina cuma bohong?" tanya Alka yang mulai memahami apa yang sedang terjadi. Alfa tersenyum lalu mengangguk pelan membuat ulu hatiku sedikit nyeri. Aku kenapa sih? Bukankah harusnya aku bersyukur Alfa cuma bercanda? Jadi dia nggak akan ngerasa sakit hati karena aku tolak, iya kan? "Baguslah kalau bercanda, jadi aku nggak harus ngerasa bersalah sama kamu!" kataku rada jutek. Alfa hanya tersenyum. "Semangat ya buat dapet stikernya!" kata Alfa lalu kembali ke bangkunya Aku terdiam. Jauh di lubuk hatiku, aku tahu kalau kata-katanya barusan itu tulus tetapi entah kenapa sakit. Aku tidak rela mendengar kata-kata penyemangat dari si cowok BBF. Alka mendekat dan mencolek lenganku beberapa kali. "Ina," bisiknya. "Apa?" sahutku sambil ikutan berbisik. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Alka cemas. "Nggak apa-apa, emang kenapa?" tanyaku heran. "Nggak, bagaimanapun Alfa itu adalah orang yang kamu suka dulu. Kamu ngarep amat jadian sama dia. Jadi pas dia nembak kamu, aku pikir kamu bakal nerima dia!" jawab Alka. Aku hanya tersenyum getir mendengar pernyataan Alka. Apa yang dia katakan memang benar adanya tetapi aku bukan Ina yang dulu lagi. Aku sudah berbeda. "Ka," "Ya?" "Alfa hanya bercanda tadi," kataku pelan. Alka merapat dan menggandeng lenganku. "Kalau dia nggak bercanda, tetap kamu tolak?" tanya Alka dengan wajah serius. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, aku tolak!" jawabku menegaskan. "Kenapa?" tanya Alka penasaran. "Lah, kamu juga mendukung aku nolak dia kan. Kok malah nanya kenapa?" tanyaku heran. Alka tersenyum lebar. "Aku emang nyuruh nolak, tetapi nggak nyangka kamu nurut!" ucap Alka malu-malu. "Dih," dengusku pura-pura kesal. "Jadi, kenapa kamu nolak dia?" tanya Alka lagi, sepertinya dia benar-benar penasaran. "Kenapa ya," kataku lalu berpura-pura mikir, menggantungkan jawaban atas pertanyaan yang Alka ajukan. "Apa? Kenapa?" tanya Alka lagi. Aku hanya tersenyum. "Coba tebak!" suruhku. Alka manyun. "Hm, karena dia cowok BBF?" tanya Alka. Aku menggeleng. "Karena udah move on?" tanya Alka. Aku menggeleng pelan. "Lah, belum move on?" tanya Alka heran. "Proses," jawabku. "Hm, gitu!" "Iya, gitu." Alka diam lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Bingung deh, apa sih alasannya?" tanya Alka lagi. Aku hanya senyum-senyum. "Kenapa? Kenapa? Kenapa kamu nolak Alfa, Na? Kenapa sih?" rengek Alka. Aku menghela napas pelan. "Karena aku udah janji sama diri kalau nggak akan pernah jadian sama Alfa, selamanya!" jawabku tegas. Alka melepas gandengan tangannya tanpa sadar dan sedikit menganga melihatku. "Kamu janji kayak gitu ke dirimu sendiri?" tanya Alka sedikit tidak percaya. Aku mengangguk mengiyakan. "Serius?" tanya Alka ragu. Aku mengganguk sekali lagi lalu mengeluarkan selembar kertas dari saku rokku. "Nih!" kataku sambil memberikan kertas 'mantera' yang selalu aku bawa kemana-mana. Alka menerima kertas itu dan membacanya. "Na, serius nih kamu nulis ini?" tanya Alka setelah membaca manteraku. Aku mengangguk. Tiba-tiba Alka tertawa keras membuat seisi kelas menoleh padanya. "Ka, diem!" suruhku karena dia tertawa terlalu keras. Alka tidak peduli, masih tertawa keras membuatku terpaksa menyeretnya keluar dari kelas dan menuju kantin. Di tengah jalan tiba-tiba Alka berhenti. "Kenapa, Ka?" tanyaku. Alka hanya diam dan menatapku lekat. "Ada apa sih?" tanyaku sedikit merasa takut. Alka mendekat dan menggenggam erat tanganku. "Kamu beneran nggak suka Alfa lagi?" tanya Alka bersungguh-sungguh. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, aku harus move on dari dia, Ka!" jawabku dengan yakin. "Kalau gitu, boleh Alfa buat aku?" tanya Alka. Aku tersentak kaget, tidak menyangka sama sekali kalau Alka akan mengajukan pertanyaan semacam itu.   "Bu-buat kamu?" tanyaku terbata-bata. Alka mengangguk. "Aku suka Alfa, Na!" jawab Alka. "Jadi, boleh dia buat aku?" tanya Alka lagi. Aku diam sebentar. "Bo-boleh, terserah kamu! Lagian aku udah nggak suka dia lagi," ucapku. Alka senyum lalu merangkulku. "Yaudah, ayo ke kantin!" ajaknya dengan semangat. Aku hanya tersenyum kecut. Ka, kamu serius suka Alfa. Jika iya, aku harus bisa menyingkirkan Alfa dari setiap sudut di hatiku. Karena aku nggak mau nyakitin siapapun terutama kamu Alka, sahabatku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD