Perubahan manusia akan selalu berdampak pada lingkungan sekitarnya. Begitulah yang kuyakini selama ini. Namun aku tidak menyangka jika pengakuan Alka, sahabatku akan membuat hubungan diantara kami berubah total. Apa yang Alka lakukan padaku tadi pagi, bisa dikatakan menyebalkan.
Kami ini adalah sahabat yang harusnya memiliki hubungan erat-bukan hubungan karet yang melonggar hanya karena satu sisinya ditarik. Aku kecewa tetapi enggan memperpanjang masalah. Selain karena ini bukan sepenuhnya salah Alka, aku juga tidak berhak melampiaskan perubahan sikap Alka padanya. Ini juga salahku karena telah tidak peka selama ini.
"Na," panggil Alka, sahabat yang juga merupakan teman sebangkuku.
Aku menoleh ke sisi kanan.
"Ya?" sahutku.
"Soal tadi, aku minta maaf!" ucapnya santai.
Aku hanya mengangkat sedikit bibirku, berupaya memberikan senyuman setulus mungkin.
"Never mind,"
Alka juga melakukan yang sama, menarik sedikit ujung bibirnya.
"Thanks,"
Kami bertatapan sebentar lalu kembali menundukkan kepala, fokus pada materi yang sedang kami tulus.
Saat ini kami mengalami jamkos ( jam kosong) karena guru mata pelajaran yang harusnya mengajar mendadak pulang karena sakit. Sebagai gantinya, kami diminta menulis materi yang sekretaris kelasku sedang menuliskannya di depan. Setelah ini kami harus mengerjakan lembar kerja kami dan mengumpulkannya saat mata pelajaran berakhir.
"Na,"
Sapaan lembut itu membuatku menoleh dan melihat Alfa yang sudah berjongkok di dekat kursiku.
"Siku dan lututmu nggak apa-apa?" tanya Alfa.
Aku pandangi wajah cowok BBF itu, ada sedikit kecemasan yang bisa kutangkap dengan membaca raut wajahnya
"Sakit? Atau udah nggak apa-apa?" tanya Alfa lagi karena aku tidak segera menjawab pertanyaannya.
Aku pun mengangguk kecil.
"Nggak apa-apa," jawabku.
Alfa menarik napas lega.
"Syukurlah, aku khawatir!" kata Alfa sambil senyum tipis.
Aku tanpa sengaja tertawa geli saat melihat apa yang Alfa lakukan.
"Ada apa?" tanya Alfa sambil menautkan alisnya.
"Kok ketawa sih?" tanya Alfa heran.
Aku hanya menggelengkan kepalaku.
"Kamu lucu," sahutku sekenanya.
"Bukan lucu, tapi tampan," sanggah Alfa membuatku semakin menambah kapasitas tawaku.
"Ehm, ehm."
Deheman itu membuatku segera melipat bibirku ke dalam dan menghentikan tawaku seketika.
"Kamu ganggu, Fa! Balik ke bangkumu sana," suruhku.
Alfa mengerucutkan bibirnya kesal.
"Barusan ketawa sekarang sok galak. Maunya apa coba?" gerutu Alfa kesal.
"Aku mau kamu balik ke bangkumu, nyatet materi dan nggak banyak bicara!" jawabku setengah memerintah.
Alfa menatap sinis ke arahku.
“Cewek ribet!" dengusnya kesal lalu kembali ke bangku nya.
Selepas kepergian Alfa, aku menoleh pada Alka dan sahabatku itu hanya diam saja. Tidak memberikan tanggapan lain selain tatapan dingin dan menyeramkan.
Alka marah? Kenapa?
***
Suasana kantin hari ini begitu ramai. Setelah mengantri cukup lama dan berhasil membeli makanan ringan, aku duduk sendiri di kantin. Aku merenung tentang rencana yang akan aku terapkan selanjutnya. Aku tidak ingin membina sebuah hubungan yang canggung dan dingin dengan Alka. Aku juga tidak ingin menjauhi Alfa ataupun berupaya segera jadian dengan mas Angga.
Aku hanya ingin semuanya berjalan pelan dan santai. Sejujurnya aku terlalu tidak suka pada sesuatu yang terburu-buru tanpa perencanaan yang matang. Walau sebenarnya alasan konflik di hidupku ini terjadi karena dia-mantan gebetan yang selalu membuatku gagal move on, Alfa.
"Ina,"
Panggilan itu membuatku yang sedang makan wafer tersentak kaget dan menoleh otomatis.
"Boleh duduk sini?" tanyanya sambil senyum.
Aku mengangguk. Kugigit wafer yang sejak tadi hanya kudiamkan melumer karena ludah di mulutku. Kukunyah sebentar lalu menelannya sampai habis.
"Ina, lutut dan sikunya gimana?" tanya mas Angga.
"Udah nggak apa-apa kok, Mas!" jawabku.
"Syukurlah," mas Angga menarik napas lega. "Tadi mas kaget banget lho!" imbuhnya.
"Maaf udah buat khawatir," ucapku merasa tidak enak.
Mas Angga tergelak kecil mendengar ucapanku.
"Kok minta maaf sih? Gebetan jatuh ya pasti bikin cemaslah," kata mas Angga sambil geleng-geleng kepala.
Aku terdiam, entah mengapa hatiku sedikit senang saat mas Angga mengatakan gebetan. Kutatap cowok ganteng itu dan dia mulai menautkan alisnya setelah aku terus melihatnya tanpa jeda lebih dari satu menit.
"Gebetan?" gumamku pelan.
"Iya, gebetan! Kita sedang PDKT kan?" kata mas Angga meminta kepastian.
Aku otomatis mengangguk.
"Iya, PDKT!" jawabku mengiyakan pertanyaannya.
"Kalau begitu, apa Ina sudah move on dari Alfa?" tanya mas Angga dengan menatapku lekat.
Aku hanya tersenyum kecil.
"Aku sudah move on, mas jika mengingat betapa keras aku menahan dan menekan perasaanku pada Alfa sejak dia menolakku. Tapi," aku menggantungkan jawabanku membuat mas Angga menelan ludah.
"Tapi?" tanya mas Angga, tidak sabar menunggu jawaban selanjutnya.
"Ina belum bisa melupakan Alfa. Jadi bisakah mas Angga membantu Ina melupakan Alfa?" tanyaku tegas.
Mas Angga hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Kakak kelasku yang tampan itu menghela napas panjang lalu menatapku lekat membuatku sedikit resah akan jawaban yang akan dia berikan.
"Na, aku nggak akan pernah bisa melupakan Alfa. Tetapi, aku bisa ngebuat kamu menetralkan perasaanmu ke Alfa dengan mengalihkan perasaanmu ke aku," jawab mas Angga membuatku bingung dengan maksud ucapannya.
"Selamanya kamu nggak akan bisa lupain Alfa, Na kecuali amnesia, gila atau pikun," kata mas Angga mulai menjelaskan, sepertinya dia tahu jika aku sulit mencerna maksud kata-katanya barusan.
"Tetapi, aku akan berusaha ngebuat kamu menghilangkan perasaanmu sama Alfa dengan membuatmu mencintaiku, Na!" kata mas Angga menimpali.
"Paham?" kata mas Angga mengakhiri penjelasannya.
Aku mengangguk yakin.
"Paham,"
"Soal Alka," mas Angga terdiam. "Kamu nggak usah khawatir, bagaimanapun ending hubungan kita, Alka akan tetap jadi sahabatmu kok!" kata mas Angga bersungguh-sungguh.
"Beneran mas?" tanyaku sedikit ragu.
Mas Angga mengangguk.
"Iya, serius." kata mas Angga meyakinkan.
"Jadi kalau gitu, mas tahu kalau Alka itu-,"
"Suka Alfa?" potong mas Angga.
Aku mengangguk pelan.
"Dia sudah suka Alka sejak SMP," kata mas Angga membuatku terkejut setengah mati.
"Lho? Alka nggak cerita?" tanya mas Angga heran.
Aku menggeleng pelan.
"Aku nggak tahu, Mas! Dia nggak pernah cerita," bisikku pelan nyaris tidak terdengar.
"Waduh, keceplosan!" mas Angga meletakkan tangan kanannya di depan mulut.
"Sorry, Ina yang barusan anggap aja kamu nggak denger," kata mas Angga lalu bangkit dari duduknya dan kabur.
Aku menghela napas panjang dan berat.
"Gimana pura-pura nggak denger mas? Udah terlanjur tahu," bisikku lirih.
"Alfa, jangan!!"
"Dih, jahat!!"
Aku terusik dengan jeritan itu, otomatis celingak-celinguk mencari sumber suara. Tak jauh dari tempat dudukku, kulihat Alka dan Alfa yang tengah bercanda sembari makan berdua. Kutatap lekat Alka yang begitu bahagia saat bersenda gurau dengan Alfa. Sorot matanya, kepalanya dan pandangan Alka tidak pernah lepas dari sosok Alfa.
Bagaimana bisa aku sebodoh ini? Bagaimana bisa aku tidak menyadari hal ini? Bahwa di mata Alka, hanya ada Alfa-mantan gebetanku.
"Kalau kayak gini, aku jadi ngerasa seperti orang ketiga di antara kamu dan Alfa, Ka!" gumamku pelan.
***
Aku terdiam, memandang hujan yang turun dengan derasnya. Sesekali angin nakal berhembus membuatku yang tengah berdiri di depan kelasku bergidik karena air dingin yang menyentuh kulitku secara tidak sengaja. Aku kedinginan.
"Huft," aku menghembuskan napas pelan dari mulutku.
Kurapatkan kakiku dan melipat tanganku sehingga sedikit menyentuh ketiakku untuk memberikan rasa hangat pada kedua tanganku yang telah membeku karena hawa dingin.
"Hem, hem,"
Suara deheman itu membuatku menoleh dan kulihat mas Angga yang sudah berdiri di dekatku.
"Hai, Na!" sapanya.
"Ah, Hai Mas!" kataku balas menyapa mas Angga.
"Dingin?" tanyanya saat melihatku menggigil.
Aku mengangguk pelan.
"Mau pake jaketku?" tanya mas Angga menawarkan.
Aku hanya diam, enggan menjawab. Karena bagiku, peristiwa cowok memakaikan jaket pada cewek saat si cewek kedinginan itu cuma ada di TV. Terlebih, si cowok langsung memakaikannya tanpa perlu menawarkan seperti apa yang mas Angga lakukan.
"Sendirian?" tanya mas Angga, mengabaikan penawaran darinya yang belum aku jawab.
"Iya, mas! Udah pulang semua!" jawabku.
Mas Angga berjalan mendekat dan berdiri di sampingku.
"Kok belum pulang?" tanya mas Angga penasaran.
"Tadi masih piket mas! Pas mau pulang, hujan!" jawabku menjelaskan.
"Kalau mas?" tanyaku balik.
"Tadi masih ada rapat OSIS," jawab mas Angga.
"Ah, mas kan wakil ketua OSIS ya," kataku baru ingat tentang info penting itu.
Mas Angga hanya tersenyum tipis.
"Iya, aku wakilnya. Tapi bentar lagi bakal lengser sih," kata mas Angga lalu tertawa membuatku menoleh padanya.
Kulihat kakak kelasku yang ganteng itu. Senyumannya manis dan aku sedikit merasa senang karena dia datang, menemaniku yang sedang sendiri dan kesepian ini.
"Ina sama Alka gimana?" tanya mas Angga.
Aku menautkan alisku, bingung.
"Aku sama Alka? Nggak apa-apa, kok! Biasa aja," jawabku.
"Beneran?" tanya mas Angga tidak percaya dengan jawaban yang kuberikan.
Aku mengangguk.
"Iya, beneran, Mas! Emang kenapa?" tanyaku penasaran.
Mas Angga hanya menggeleng pelan. Kakak kelasku itu hanya membelai lembut kepalaku.
"Aku seneng aja kalau Ina dan Alka baik-baik aja. Aku nggak mau, pacarku musuhan sama sepupuku !" kata mas Angga lembut.
Mendadak aku tersipu, malu.
Pacar?
Pacar?
Pacar?!!
"Na," panggil mas Angga lembut.
"Ya?" sahutku dengan jantung berdebar.
"Mau jadi pacarku?" tanya mas Angga dengan menatap mataku tajam.
"Stickernya masih dua, Mas!" jawabku ngawur.
Mas Angga tergelak.
"Ina percaya soal sticker itu? Aku cuma bercanda, Na. Pengen ngetes aja." kata mas Angga menjelaskan.
"Kok tiba-tiba nembak?" tanyaku lagi, masih belum yakin dengan situasi yang sedang aku alami.
"Pengen," jawab mas Angga dengan tersenyum tipis.
"Kamu cewek setia kan?" tanya mas Angga dengan memandangku lekat.
"Menurut mas?" tanyaku balik.
"Setia," jawab mas Angga yakin.
"Betul," jawabku mengiyakan.
"Jadi, mau jadi pacarku?" tanya mas Angga.
Aku diam.
"Nggak," jawabku membuat mas Angga seketika murung.
"Nggak nolak," kataku menimpali membuat mas Angga menggigit bibir bawahnya cukup kuat, gemes!
"Dih, nyebelin!" ujar mas Angga sembari mencubit gemas pipiku.
"Biarin!" sahutku.
Mas Angga tersenyum senang.
"Makasih, Na!" ucapnya tulus.
Aku mengangguk.
"Ina juga makasih, mas!"
"Buat apa?"
"Udah ditembak!" jawabku yang langsung disambut tawa mas Angga.
"Emang belum pernah ditembak?" tanya mas Angga.
Aku hanya tersenyum tipis.
"Ditembak bohongan sih pernah, yang asli baru sama mas," jawabku jujur.
"Emang pernah ditembak bohongan?" tanya mas Angga heran.
Aku mengangguk.
"Ada mas, sama cowoknya tipe-tipe BBF!" jawabku.
"BBF?" tanya mas Angga bingung.
"Bikin Baver Falsu," kataku menjelaskan.
"Ah, oh.. Alfa?" kata mas Angga langsung ngeh.
Aku hanya tersenyum kaku. Merasa aneh karena mas Angga langsung paham siapa yang kumaksud.
"Ina bawa sepeda motor?" tanya mas Angga.
Aku menggeleng.
"Nggak bawa, mas!" jawabku.
"Mau pulang bareng?" tanya mas Angga menawarkan, lagi.
Aku terdiam memperhatikan mas Angga dengan seksama.
"Mas," panggilku.
"Ya?"
"Ngajak sama nawarin beda lho!" ucapku.
"Hah?"
"Kalau nawarin itu belum tentu beneran, kalau ngajak udah pasti beneran!" kataku menjelaskan seadanya.
Mas Angga menautkan alisnya.
"Maksudnya?" tanya mas Angga masih belum mengerti.
"Ah, nggak! Udah lupain," ucapku pasrah, enggan menjelaskan lebih jauh.
"Hm," mas Angga hanya melipat bibirnya sedikit ke dalam.
"Ina marah?" tanya mas Angga.
"Nggak," sahutku.
"Bagus, deh! Aku nggak suka cewek ngambekan!" kata mas Angga merasa lega membuatku hanya tersenyum kecewa.
Dia beneran nggak peka.
"Yaudah, tunggu sini ya! Mas ke ruangan OSIS dulu, ntar lagi pulang bareng!" kata mas Angga lalu berjalan pergi.
Kupandangi mas Angga yang berjalan menjauh. Kakak kelas yang ganteng itu, kini sudah jadi pacarku. Aku tersenyum lebar, senang. Keputusan ini semoga saja adalah keputusan terbaik yang tidak akan kusesali sama sekali nantinya.
Drap.. Drap.. Drap..
Suara langkah itu membuatku sedikit memicingkan mata pada sosok kejauhan yang mulai kelihatan. Suara sepatu yang berderap itu membuatku bisa tahu pemiliknya tetapi enggan meyakininya.
Bukan dia kan?
"Oh, Ina!" pekiknya begitu telah berhasil berada di depanku.
"Ah, Hai!" sapaku sedikit malas pada Alfa yang tiba-tiba datang kembali padahal sudah pulang sejak tadi.
"Kok BT gitu sih mukanya?" tanya Alfa heran.
"Nggak apa-apa," sahutku.
"Oh," Alfa mengibas-ngibas sedikit seragamnya yang kena hujan.
"Deres banget!" katanya.
"Udah tahu deres kok balik lagi?" tanyaku.
Alfa hanya senyum lebar.
"Aku keinget kamu, makanya balik lagi!" jawab Alfa.
Aku terdiam, mencoba mengusir rasa senang yang mendadak muncul. Aku katubkan bibirku ke dalam, berusaha keras agar tidak tersenyum walau sedikit.
Alfa menatapku lekat.
"Apaan?" tanyaku rada BT.
"Yah," kata Alfa kecewa. "Aku pikir kamu bakal Baper, malah nggak ada reaksi!"
Aku memanyunkan bibirku.
"Dasar BBF!" dengusku kesal.
"Dih, BBF gini juga kamu taksir!" balas Alfa.
"Najis!" sahutku keki.
Alfa ngakak.
"Sekarang najis, kemarin yes! Nanti juga yes lagi!" kata Alfa kepedean.
"Nggak!" bantahku tegas.
"Ya dah sakarepmu!" kata Alfa lalu berlalu, masuk ke kelas.
Tak lama kemudian cowok BBF itu keluar dengan membawa sebuah jaket di tangannya.
Jadi dia balik ngambil jaket?
"Ada yang ketinggalan," kata Alfa ngejelasin saat melihatku menatap jaketnya.
"Iya, udah tahu!" sahutku rada sewot.
"Lagi PMS ya, Na? Daritadi sewot mulu!" kata Alfa mulai kesal.
"Nggak tuh!" elakku.
"Kamu kenapa sih? Aneh."
Aku hanya diam, mencoba memalingkan wajahku dari Alfa. Enggan menanggapinya, akan terasa canggung jika mas Angga tiba-tiba datang dan melihatku mengobrol dengan Alfa.
"Na,"
Aku menoleh, tercenung saat Alfa tiba-tiba memasangkan jaketnya padaku.
"Fa," kataku sedikit shock.
Alfa hanya diam, memakaikan jaketnya dengan sempurna.
"Nah, aman!" katanya sambil senyum.
"Heh?"
Alfa memundurkan tubuhnya selangkah.
"Biar nggak kedinginan! Bisa gawat kalau kamu kena flu. Besok ulangan!" kata Alfa lalu melambaikan tangannya.
"Aku pulang dulu ya." pamitnya.
Aku terdiam, hanya mampu memandang cowok BBF yang sudah menjauh itu. Kupegang jaket Alfa, hangat.
Tes.
Bulir panas yang menyebalkan itu terjatuh. Aku segera menyekanya saat kulihat mas Angga dari kejauhan.
"Na, sorry lama!" kata mas Angga merasa tidak enak saat kakak kelas yang sudah jadi pacarku hari ini tiba sudah di depanku.
Aku hanya tersenyum tipis.
"Lho?" mas Angga menautkan alisnya.
"Kamu bawa jaket ternyata?" tanya mas Angga.
Aku hanya tersenyum sekali lagi, tidak sanggup mengeluarkan suara apapun.
"Yaudah, ayo pulang!" ajak mas Angga.
Aku pun mengangguk setuju.
Saat melewati pintu gerbang, kulihat Alfa yang sedang berteduh di dekat pos satpam. Mata kami bertemu dan cowok BBF itu hanya melambaikan tangan serta tersenyum tanpa dosa.
Kugigit kuat bibirku saat kurasakan kembali rasa sakit di ulu hatiku. Terlebih ketidaksanggupanku menahan airmata membuatku memaki diriku sendiri.
Apa maksudnya ini? Kenapa aku nangis?