"ALEA! BANGUN!"
Anjay! Toa pagi-pagi udah bunyi aja! Ck, ish! Ganggu banget!
Aku bangun dengan muka lesu. Gak tahu kali ya, semalam aku bergadang.
Aku Alea. Putri cantik kesayangan mama papa yang notabene orang terkaya sejagat raya. Setiap hari diantar jemput pengawal dengan fasilitas mobil Mercedes Benz C-Class.
Sayangnya itu hanya mimpiku yang sukses digagalkan oleh si Toa menyebalkan.
Ya, faktanya aku hanya anak yatim piatu yang hidup numpang di rumah tanteku, Tante Yayu. Dan pemilik toa yang mampu memecah gendang telinga itu adalah anaknya, Eva.
"Apaan sih, Ev? Gue lagi mimpi indah juga, malah teriak gak jelas!"
"Heh, mimpi jorok lu ya?"
"Kagak, mimpi indah dong! Gue mimpi jadi orang kaya." Aku tersenyum sambil menutup mata.
Toing! Dih, si Eva malah noyor kepalaku!
"Mimpi lo ketinggian! Bayar sono bekas makan siang lo di kampus, malu gue ditagih mulu sama bibi warung!"
"Jir, lo ngomong tangan gak usah ikut songong!" Aku mengusap kepala kasayanganku satu-satunya.
"Makanya kerja kek, lagak lo mau kuliah tapi gak punya duit!"
"Ck, kerja apalagi, Ev? Gue udah bela-belain mau kerja di bakso Mang Ucu. Sekedar nyuci piring doang, gajinya cuma ceban sehari."
"Salah lo, kenapa ngenes amat punya nasib."
"Ntar aja lihat, gue bakalan jadi orang kaya beneran! Lo jangan sirik ya, Ev!"
"Halah, gimana mau kaya, bangun aja keduluan ayam terus."
"Gue mau cari kakek tua kaya raya yang banyak warisan. Ntar kalau modar kan gue yang dapat warisan."
"Anjir, gila lo, belum tahu aja ngurusin aki-aki bau tujuh rupa. Berak sama pipis di celana, bengek lo tiap hari, haha."
"Kan kaya, Ev. Orang kaya sewa suster lah."
"Kalau si akinya ogah gimanaa?"
"Kasih sianida aja biar kelar urusan, haha."
"Gelo!"
Aku tertawa lepas. "Gak ding, gue masih waras lah."
"Eh, tapi gue dengar-dengar ada dosen yang lagi nyari asisten tuh."
"Masa? Kerjaannya apa aja sih asisten itu?"
"Kudu pinter, bisa gantiin dosen kalau dia lagi ada urusan. Ya gitu lah pokoknya."
Aku menyeringai, "Wah, gajinya gede gak?"
"Ya jangan tanya, Al. Lebih gede dari gaji yang dikasih Mang Ucu lah."
"Gue mau! Kemana daftarnya?"
"Tapi ...." Eva tampak ragu.
"Tapi apaan, Ev?"
Ia tersenyum lebar, "Tapi elo masih bau jigong, anjir! Sana mandi dulu!"
"Bangke lo, serius, Ev!"
"Iya bener ada. Ntar gue kirim banner-nya ke elo."
"Oke."
Jadi asisten dosen ya? Kalau aku lihat sih, rerata yang jadi asisten dosen tuh pada keren juga. Anaknya pasti pinter-pinter, rapi, wangi dan segala tahu. Ya kalau bagian segala tahu sih aku belum yakin, cuma kalau bisa menguasai materi yang diajarkan sih aku sangat mudah. Bisa dibilang asal diajarin aku cepat bisa.
Nah, si Eva udah ngirim banner iklannya. Aku masuk kamar mandi dan jongkok di atas kloset. Setor limbah makanan kemarin sekalian cari inspirasi.
"Alea! Buruan ih, ngapain lama di dalem?"
"Bentar! Gue baru masuk!"
"Apaan, elo udah lima belas menit di dalam! Cepetan gue kebelet!"
Eh, emang iya gitu aku udah lima belas menit? Pantas saja kaki berasa kesemutan, haha.
Kamar mandi rumah ini cuma satu. Itu juga terletak di belakang rumah bahkan terpisah dari rumah ini. Rumah Tante Yayu berada di pinggir hutan. Agak serem kalau mau ke kamar mandi lewat jam sepuluh malam. Apalagi harus ke luar begini. Tepat di belakang kamar mandi ini adalah kumpulan pohon bambu yang tidak ada penerangan.
"Alea! Cepetan ih, keburu kecipirit ini!"
Aish, berisik amat sih? Aku bangkit dan mengenakan celanaku lagi.
"Ya udah sono buruan!"
"Lah, elo belum mandi?"
"Keburu datang serangan meteor!" jawabku asal.
Si Eva nyengir dan masuk ke kamar mandi. Terdengar bunyi gas bersahutan dari pantatnya.
Oke, berhubung kamar mandi sangat sibuk, jadinya aku gak mandi di rumah. Ntar aja di pom bensin sekalian lewat. Kebiasaan buruk sih, tapi mau gimana lagi. Ya kan?
"Al, kamu mau kemana?" Tante Yayu datang dengan seikat sayuran hijau di tangannya. Kayaknya habis dari warung.
"Mau berangkat sekarang aja, Tante."
"Lah, gak mandi?"
"Ntar aja di pom bensin."
"Sarapan pagi gimana?"
"Ada roti yang kemarin. Aku makan sekalian jalan."
Aku mencium punggung tangan Tante Yayu. Lalu mengambil kunci motor. Yeah, motor butut kesayangan yang bertahun-tahun menemaniku. Ini motor warisan dari ayahku. Walau hanya motor matic tua tapi ini hartaku yang paling berharga.
Pom bensin masih sepi. Mungkin karena aku kepagian ke sini.
Akhirnya bisa mandi dengan damai, haha.
Brakk!!
"AAA!!"
Aku melotot kaget saat seseorang masuk dengan tergesa. Sialnya mataku ternodai oleh benda panjang tegang berbulu tebal.
Pria itu juga tampak kaget, tapi mungkin karena kebelet, dia gak menggubris teriakanku. Hanya bengong sambil mengeluarkan cairan urinenya.
"Tutup mata kamu!" bentaknya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Untung saja aku mandi gak polosan, masih pake bra dan celana dalam. Walau begitu, tetap saja ini memalukan.
"Anda yang harus tutup mata, Pak! Gak lihat ya? Ini toilet wanita!" ucapku.
Wajah pria itu tampak lega, "Kamu yang buta, ini toilet pria. Mana gak dikunci lagi. Itu salah kamu."
"Eh, bentar bukannya Anda Pak Devan?!"
Pria itu gugup, "Kamu kenal saya?"
"Ekhm, saya mahasiswi Anda lho, Pak."
"Siapapun kamu, anggap yang barusan hanya mimpi!"
Ia keluar dengan menggerutu kecil sambil menutup kembali resleting celananya.
Aish, mimpi apa aku semalam?! Bagaimana aku bisa melamar pekerjaanku? Hello! Pak Devan adalah dosen yang membuka lowongan untuk posisi asisten pribadinya!
Argh, bagaimana ini? Tapi aku benar-benar butuh pekerjaan itu. Huaaa bagaimana ini?!
Brakk!!
Aku melongo, "Nga-ngapain Anda masuk lagi?" tanyaku. Kaget, anjir! Pak Devan malah balik lagi.
"Kenapa kamu berteriak? Jangan sampai orang mengira saya berbuat jahat sama kamu."
Wajahnya terlihat panik.
"Ma-maaf, Pak."
"Gini deh, kamu boleh minta apapun asal lupakan kejadian tadi."
Aku mengerjap. "Beneran, Pak?"
Pak Devan mengangguk dengan muka malasnya.
"Saya mau melamar, Pak."
"Ha? Berani sekali kamu mau melamar saya? Saya sudah punya istri, lho. Kamu mau jadi istri kedua saya?"
"Bukan, Pak. Anu, saya mau melamar pekerjaan pada Anda."
Dih percaya diri amat aku mau lamar dia, huft, mimpi juga kagak.
"Asisten?"
Aku mengangguk. "Ya. Bukankah Anda sedang membutuhkan asisten?" tanyaku.
Bukannya menjawab, pria yang menjadi dosenku itu malah melihat tubuhku dari atas sampai bawah. Untung aja aku tadi gercep pakai handuk.
"Kamu lumayan. Lamaran kamu saya terima."
Lumayan katanya? Tapi apapun yang dipikirkan pria itu, point pentingnya adalah lamaranku diterima.