Badan udah segar, tinggal perut yang masih terasa lapar. Aku duduk di pinggir jalan. Motor ku parkir di bawah pohon.
Roti peot yang udah ketumpuk buku dari kemarin masih lumayan lah, bisa dimakan. Sekedar mengganjal isi perut.
Jalanan makin ramai. Ngehalu bentar gak apa kali ya, kalau lihat mobil mewah lalu lalang begini, rasanya aku akan jadi orang kaya suatu hari nanti.
Bukan ngeluh ya, tapi kadang aku capek dengan kehidupan yang aku jalani sekarang. Banting tulang cari uang sana sini. Bahkan aku sering ikut jadi kuli angkut di pasar. Walau bayarannya kadang gak kira-kira. Kalau gak gitu, mungkin aku udah lama putus kuliah.
Aku memeriksa dompet lecek dari tasku. Masih ada beberapa lembar uang seratus ribuan. Ini aku simpan buat bayar semesteran. Masih kurang sedikit lagi. Aku masih bersyukur sih, masih tidur gratis dan gak ngontrak. Kalau makan paling sesekali. Kebanyakan aku makan gak di rumah. Dapat makan dari upah buruh.
"Lah, nyangkut di sini rupanya? Makan apa lo?"
Raka, sahabat dekatku yang senasib datang dan ikut duduk.
"Roti yang kemarin." jawabku.
"Dih, gak bagi-bagi!" Si Raka manyun. Anak ini sebenarnya masih punya orang tua, lengkap. Cuma emaknya jadi TKW di Malaysia. Belum pernah pulang sejak si Raka duduk di bangku sekolah dasar. Bapaknya malah kawin lagi sama tukang sayur keliling. Jadilah si Raka senasib denganku. Hari-hari kerja serabutan demi bisa bertahan menjadi mahasiswa.
Hanya saja kalau si Raka cuma cari buat makan dan bertahan hidup.
"Cuma roti peot doang juga. Elo udah makan?" tanyaku.
"Belum, jir. Lapar banget." Raka mengendusku, "Elo wangi. Udah mandi?"
"Udah dong, udah rapi begini juga."
"Tumben? Mau kemana lo?"
Aku tersenyum lebar sambil memperlihatkan layar ponselku. Yup, banner yang kudapat dari si Eva.
"Ha? Elo mau ikut melamar jadi asisten Pak Devan? Bwahahahaha!"
"Kenapa elo malah ketawa, bangke?"
"Hahaha! Haduh, elo serius, Al?"
Aku mengangguk, "Tentu saja. Bentar lagi gue bakalan jadi asisten dosen. Banyak duitnya."
Tanganku mengipasi wajah membayangkan uang segepok dengan gambar presiden pertama RI di tanganku, menyala Alea! Haha!
"Gila lo, emang tahu kerjaan jadi asisten dosen?"
Aku menggaruk kepalaku, "Ya katanya sih gantiin dosen saat gak bisa hadir, dampingin penelitian mahasiswa ya gitu-gitu deh pokoknya."
Raka melongo, "Ha? Emang elo bisa?"
"Ya mau gimana lagi, gue coba aja dulu. Daripada terus menerus jadi kuli angkut, gajinya kecil, cuy!"
"Sorry ya, Al. Dari penampilan elo sih kayaknya gue gak yakin deh."
Poing!
Aku menoyor kepalanya, "Kampret lo! Jangan meremehkan kemampuan gue! Gini-gini juga gue juara kedua di kelas."
"Kedua apaan?" Raka langsung meledekku.
Aku nyengir, "Kedua dari belakang."
"Sontoloyo!"
"Eh, tapi gue serius, Ka. Beneran mau melamar pekerjaan ini."
"Ck, serah lo! Gue gak yakin elo keterima. Badan bau ketek, kemampuan juga cuma bisa ngutang di warung doang."
"Anjir! Kalau gue bau ngapa lo betah deket-deket gue?"
"Daripada ngomong sama tiang, kan?"
"Heh elo ya? Minta dijitak? Gue tinggal kawin baru nyaho gak punya temen!"
"Emang siapa yang mau kawin sama lo?" Raka malah mencibir.
"Kali aja ada Raja Dubai melamar gue."
"Jangan mimpi, Non, haha!"
"Elo sendiri juga ngenes, idup masih gitu-gitu aja. Jomblo dipiara, haha!"
"Gue sih lain cerita, bukannya gak laku, tapi belum nemu yang pas."
"Halah, cowok bokek tukang ngorok, siapa yang mau?" giliran aku yang meledeknya. Puas banget, haha.
"Kalau gak ada yang mau, kan ada elo, kawin aja sama lo, haha!"
"Ogah, kebayang bukannya romantis malah main Ludo."
Aku tertawa lepas. Si Raka malah sampai terpingkal-pingkal.
"Anjir, sakit perut gue. Eh, ini udah siang! Gue nebeng ya, kayak biasa!" ucap Raka sambil nyengir.
"Ke pasar?"
"Iyalah, kemana lagi."
"Tapi gue mau mampir dulu ke rumah Pak Devan. Elo gak apa?"
"Ya udah gak apa-apa. Sekalian mau nonton elo ditolak lamarannya, haha. Aduh!"
Aku menoyor kepalanya. "Sableng lo! Doain yang bagus kek, kalau gue kaya raya, elo yang pertama gue traktir!"
"Beneran nih?"
"Ho'oh, makanya doain yang bener!"
"Eh, tapi, Al. Apa elo gak takut gitu?"
"Takut apaan? Takut kaya?"
"Bukan! Otak lu isinya duit semua! Maksudnya apa elu gak takut kalau jadi asisten dosen entar malah dijadiin wanita simpanan? Kan banyak tuh, mahasiswi sekarang yang jadi simpanan om-om?"
"Halah, tadi aja elu ledekin gue. Dikata bau, gak ada yang mau."
"Ya tapi kan bisa aja, Nyet! Ukuran bra Lo lumayan besar."
Aku melotot, "Heh! Paijo! Sableng lo ya? Elo ngukur ukuran bra gue?"
Aku mendorong badan si Raka sampai dia terjatuh ke tanah. Yang didorong malah tertawa lepas.
"Haha, gak sengaja, sumpah!"
"Gue pecat jadi teman Lo ya?"
Raka menggeleng lalu berdiri dengan muka tegang, "Eh, gue bercanda! Jangan kejam gitu, Al!"
"Ck, makanya jangan aneh-aneh!"
"Tapi soal pekerjaan itu, gue kok agak takut ya, Al?"
"Udah gak usah mikir macam-macam! Kan elo juga tahu gue gak menarik."
Si Raka diam. "Ya udah, gue ikut elo. Mau lihat rumah orang kaya." ucapnya sambil nyengir.
Terpaksa aku membawanya. Ah, si Raka ini tidak melanjutkan pendidikannya. Dia gak punya biaya untuk kuliah. Ya boro-boro kuliah. Makan aja sedapat-dapat dari buruh di pasar. Aku juga beruntung saja, waktu mau masuk kuliah, Tante Yayu memberikan sejumlah uang yang katanya amanat orang tuaku jika aku lulus SMA. Uang itulah yang ku bayarkan untuk biaya masuk perguruan tinggi ini. Sisanya aku nekat mau nyari sendiri.
Alhasil, aku pontang panting jadi buruh di setiap ada waktu senggang. Puncaknya, aku berada di depan sebuah rumah besar dan megah. Ya, aku nekat melamar jadi asisten dosen.
Sebenarnya aku juga tidak begitu yakin dengan kemampuanku. Benar kata si Raka. Aku gak bisa dandan, bahkan sangat cuek. Nilai sekolahku juga gak bagus. Hanya saja Raka gak tahu aku punya tiket khusus di toilet pom bensin. Ya walaupun memalukan, tapi semoga saja bisa jadi keterima.
"Alea, elo yakin ini rumahnya? Gede banget!"
"Iya bener ini kok. Ayo kita pencet belnya."
Sekali pencet. Kedengaran gak ya ke dalam?
"Pencet lagi yang lama, Al. Kali aja orangnya budek."
"Ish, orang kaya gak ada yang budek, Ka. Pasti rajin ngorek kotoran telinga ke dokter khusus. Emang elo kotoran sampe garing dan berdenging, haha."
Bukannya tertawa, si Raka malah terlihat tegang kayak patung.
"Kenapa kamu tertawa?"
Glek. Aku kaget dengan suara seseorang di belakangku. Aku berbalik.
"Eh, ma-maaf, Pak. Saya mau menagih janji Anda yang di toilet tadi."
Pak Devan mengendurkan ikatan dasinya. Lalu menatap tak nyaman ke si Raka yang berdiri di sampingku.
"Ekhm, bisa kita bicara empat mata dulu?" tanyanya.
Si Raka langsung mendekat, "Alea, gue curiga, orang ini bukannya cari asisten, tapi cari istri simpanan! Wajahnya kayak kuda jantan ngajak kawin."