"Ekhm, kenapa harus empat mata, Pak? Kan di sini ada enam mata. Dua punya saya." Si Raka malah yang jawab.
Gendeng tuh anak, aku ke sini mau cari kerja, bukan cari ribut.
Aku menyenggol lengan pria itu. Tetap saja si Raka gak ada takut-takutnya.
Pak Devan jelas terlihat gak suka. "Maaf, Anda siapa?"
"Oh, saya pengawalnya Alea. Ada masalah?"
Sue lo, Ka! Bisa stop gak sih?!
Pak Devan tersenyum meremehkan, lalu menatapku. "Pengawal? Kalau sudah bisa menggaji pengawal, kamu gak akan butuh pekerjaan ini."
"Eh, dia bercanda, Pak. Ini Raka, sodara jauh saya. Ikut ke sini karena lagi gak ada kerjaan juga."
Si Raka melotot, aku balik memelototinya. Ya siapa suruh nantangin kan? Pekerjaanku bisa melayang!
"Kalau begitu, kamu masuk ke ruangan saya!" Pak Devan menunjuk ke arahku. Segera ku anggukan kepala.
"Baik, Pak!"
"Eit, kamu gak termasuk! Diam di sini." Pak Devan menahan Raka yang ingin ikut denganku.
Walau terlihat kesal, tapi akhirnya Raka mau juga menunggu. Apalagi saat datang pelayan yang menawarkan makanan. Wah, langsung lupa diri tuh anak.
"Kenapa bengong? Masuklah!"
Hampir saja aku terpeleset gegara kaget dengan suara ngebass milik Pak Devan.
Ruangan pria itu ternyata sangat luas. Ada beberapa rak buku di sini. Rerata bukunya sangat tebal. Apa dia udah baca semuanya? Kalau iya, rajin amat. Pasti buku begituan gak ada gambarnya. Mana tulisannya juga kecil-kecil lagi, bikin sakit mata.
Wah, di sini juga ada sofa berukuran besar. Ada televisi dan dua buah komputer.
"Sudah puas melihat ruangan saya?"
Lagi-lagi suara pria itu bikin aku kaget.
"Ekhm, maaf, saya hanya melihat-lihat saja."
"Duduk."
Aku nurut. Mau ngapain ya dia?
"Kamu tahu tugas asisten dosen?" tanyanya. Sekarang kami duduk berhadapan.
"Ah itu. Tentu saja saya tahu. Menggantikan tugas Anda jika Anda berhalangan kan? Atau membantu penelitian mahasiswa Anda? Um, atau mungkin membantu menyusun silabus?"
Pak Devan mengetuk-ngetuk telunjuknya ke atas meja. "Lumayan. Kamu Googling?" tanyanya.
Buset deh, dia tahu kalau yang aku sebutin tadi adalah hasil googling yang aku baca sebelum ke sini.
"Saya hanya berusaha mempelajari tugas saya sebelum diterima."
"Tidak buruk. Coba kamu jelaskan isi buku ini."
Hap! Set dah, dia melempar buku tebal padaku. Untung saja aku cekatan menangkapnya.
Glek. Bukan main, aku harus menjelaskan buku setebal ini?!
"Kenapa diam?" tanyanya setelah beberapa menit aku masih belum bisa menyimpulkan isi buku ini.
"Ekhm, ini buku tentang prinsip dasar ekonomi." Aku menggigit bibir bawahku. Mari kita hitung bagaimana reaksinya.
Satu ....
Dua ....
Ti ...
"Sudah saya duga. Wanita cantik sepertimu hanya bisa memakai lipstik saja. Tapi gak bisa mengerjakan tugas bahkan hal sekecil ini. Ah, satu lagi, bahkan kamu dandan juga gak bisa kan?"
"Jawaban saya salah ya, Pak?"
"Itu bukan isi buku tapi kamu hanya membaca judul buku." Pak Devan terlihat kesal.
"Boleh saya pinjam dulu ke rumah bukunya, Pak? Saya akan mempelajarinya dan memberikan informasi tentang isinya."
Pak Devan mencibir, "Kamu benar-benar payah. Sudahlah, sekarang bagaimana kalau saya bayar kamu saja?"
"Maksud Anda?"
"Ekhm, begini. Awalnya saya sepakat untuk menerima kamu jadi asisten saya. Tapi melihat kulifikasi kamu seperti ini, rasanya kamu kosong dan gak cocok dengan pekerjaan ini. Jadi saya akan bayar sejumlah uang agar kamu melupakan kejadian di toilet tadi. Bagaimana?"
"Uang?"
"Ya."
Otakku berputar cepat. Uang cepet habis. Yang aku butuh pekerjaan.
"Saya butuh pekerjaan, Pak."
Lalu tiba-tiba terdengar suara lengkingan anak kecil yang menangis dari ruangan yang masih tersambung dengan ruangan ini.
"Tunggu, saya ambil anak saya dulu."
Aku cengo. Ha? Anaknya? Lalu Pak Devan terlihat kewalahan menangani anaknya yang sepertinya baru bangun tidur. Anak itu terus menangis. Kalau aku perkirakan mungkin usia anak itu sekitar tiga tahunan.
Aku memberanikan diri masuk ke kamar itu. Pak Devan juga tidak melarang, hanya membiarkan aku membujuk anaknya.
"Diam, di luar ada tokek besar! Kalau kamu nangis, nanti tokek ke sini, mau?" bisikku di telinga anak laki-laki yang bertubuh bulat itu.
Wajah anak itu menegang. Tak disangka, dia diam dan memelukku erat.
Pak Devan terlihat kaget, "Kamu apakan anak saya?"
Aku mengerjap. Semoga saja dia gak dengar kalau aku barusan mengancam makhluk bulat ini.
"Saya hanya menyuruhnya untuk diam, Pak."
Pak Devan gak ngomong lagi. Pria itu hanya melihat ke arahku yang sedang menggendong anaknya.
"Karena kamu gak bermutu di bidang akademik, kamu jadi asisten saya dalam menanangi anak ini."
"Ha? Jadi baby sitter, Pak?"
"Mungkin semacam itu."
"Waduh, saya gak bisa, Pak."
Koplak! Aku bukan pandai mengurus anak. Tadi juga anak ini diam karena aku mengancam dan menakutinya.
"Apa yang kamu bisa hanya itu kan? Jadi asisten saya harus pandai dan bisa dalam segala hal. Faham kamu?"
"Saya mau belajar kok, Pak."
"Belajar bagaimana? Resensi buku ini saja kamu gak becus."
"Kalau misalnya saya jadi baby sitter anak Anda, gajinya gede gak, Pak?"
"Ya tergantung nanti hasilnya bagaimana. Dengar ya, saya belum pernah menyewa baby sitter untuk anak saya. Banyak kasus anak disiksa bahkan diculik oleh pengasuh."
"Lalu Anda percaya sama saya?"
"Dari gelagat kamu, sepertinya kamu gak sepintar itu untuk memanfaatkan anak saya."
Anjir! Jadi secara halus dia bilang kalau aku ini bodoh? Luar biasa orang ini ya?
"Ekhm, kalau boleh saya tahu. Anda punya anak tentu punya istri. Ngomong-ngomong istri Anda kemana, Pak?"
Bukannya jawab, Pak Devan malah mendekat ke arahku. Aku mundur. Gila, mana bawa buntelan besar bernyawa lagi. Iya, anaknya yang gendut itu sepertinya tertidur lagi di pangkuanku.
"Untuk apa kamu tanya istri saya? Kamu mau menggantikan tugasnya?"
"Ma-maksud Anda?"
Aku panik, a***y!
"Mungkin kamu mau jadi istri simpanan saya?"
"Ha? Istri simpanan?"
"Ya, apa perlu saya pertegas lagi?"
Aku menggeleng cepat, "Tidak, Pak. Dan saya gak mau jadi istri yang disimpan. Jadi asisten Anda saja."
"Ck, tapi apa keahlian kamu?"
"Sst, jangan teriak, Pak. Anaknya nanti bangun lagi."
Si Bulat aku coba tidurkan lagi di atas kasur. Baguslah, dia kembali tidur.
"Kamu mencoba memanfaatkan saya ya?"
Aku menggeleng lagi, "Tidak. Saya hanya menagih janji Anda. Saya mau bekerja jadi asisten Anda."
Pak Devan mendengus, "Baik, kalau begitu, saya cari keahlian kamu yang lain. Kemarilah!"
Sret! Eh?
Dia menarik tanganku untuk keluar dari ruangan anaknya. Mau ngapain orang itu?
Grep! Tetiba Pak Devan menarik pinggangku. "Puaskan saya, bisa?"
Glek. Aku menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin sepertinya mulai keluar.
Cklek. Seseorang membuka pintu. Refleks Pak Devan melepas pelukannya.
"Siapa dia, Dev?"
"Asisten baruku."
Apa katanya? Aku asisten barunya? Berarti aku diterima dong?!