Wanita yang kuperkirakan berusia sekitar lima puluhan tahun itu duduk dan menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Matanya udah mirip laser yang nembus jantung! Tajam banget, coy!
"Siapa nama kamu?" tanyanya dengan suara tegas.
"Alea, Bu."
"Usia?"
"Dua puluh satu tahun."
"Hm, masih muda. Nemu dimana, Dev?"
Pak Devan memasang wajah datarnya. "Di kampus, Eyang."
Aku melongo. Ha?! Eyang?! Aku kira ibunya! Kalau eyang berarti usia orang ini lebih dari enam puluh tahun dong? Anjir, gila! Wajahnya masih seger! Jangan-jangan dia pake ajimat buat awet muda. Kan ada tuh yang begitu.
"Bisa masak?" tanya si Eyang.
"Bisa, tapi sedikit." Aku tersenyum garing. Ya masak air sama mie sih bisa.
"Bisa momong anak?" cecarnya lagi.
"Bisa, Eyang. Noah juga tadi dia kelonin." Pak Devan yang jawab.
Aku kaget dong, kelonin darimana? Si Noah pasti buntelan donat yang tadi kutakuti dengan tokek kan?
"Hm, wajah dan body juga lumayan." Si Eyang berdiri lalu maju dan mendengus ke badanku. "Gak bau badan, tapi kamu gak pakai minyak wangi ya?"
Aku tersenyum garing, "Kok Anda tahu?"
Gelo ih ini nenek, kok sampe segitunya? Segala minyak wangi dibahas.
"Tentu saja saya tahu. Dev, kamu udah bilang ke Ririn?" tanyanya.
Pak Devan terlihat memasang wajah malas, "Dia gak akan peduli, Eyang."
"Jangan begitu, Ririn juga harus dimintai pendapat."
"Untuk apa?" Pak Devan terlihat gak suka membahas si Ririn ini.
Aku menerka. Ririn pasti istrinya Pak Devan. Tapi kok dari mukanya kayak yang gak suka sih? Jangan-jangan si Ririn ini jelek dan nyebelin. Kan cowok biasanya suka sama yang bening-bening. Mungkin bisa jadi si Ririn ini pendek hitam bulat dan bermuka masam, hidup pula, haha.
"Kenapa kamu tertawa?" si Eyang menatapku.
"Gak ada kok, saya gak ketawa."
Anjay, apa aku tadi beneran ketawa? Perasaan cuma dalam hati deh. Jangan-jangan wanita tua ini dukun?
"Ck, jangan berbohong! Apa yang kamu tertawakan?"
"Um, saya hanya ingat teman saya di luar. Pasti udah lumutan karena nunggu terlalu lama."
Aku jawab sekenanya. Si Eyang mengerutkan kening lalu ikut tertawa lepas, hingga gigi palsunya kelihatan.
"Haha, oh itu teman kamu ya? Lagi ngorok tuh di sofa. Dia makan kayak tukang kuli, banyak sekali. Gak kenyang-kenyang. Mungkin di perutnya ada black hole."
Aku melongo. Waduh, si Raka ketiduran! Sue tuh anak, harusnya tadi dia gak ikut.
"Ya sudah, kamu urus dulu teman kamu itu. Saya takut dia ngiler di sofa rumah saya." Pak Devan menginterupsi.
"Baik, Pak. Jadi nasib saya bagaimana?"
"Nasib kamu ya kamu yang tahu. Kok malah nanya saya!" Pak Devan malah tampak kesal. Aneh sih, tadi sebelum ada nenek tua ini, pria itu terlihat senang menggodaku bahkan mukanya m***m banget. Nah sekarang? Kenapa jadi galak begini?
"Kamu diterima. Besok mulai bekerja. Jam empat pagi sudah harus di sini." Kali ini si Eyang yang menjawab.
"Apa? Saya diterima? Terimakasih banyak, Nyonya! Eh, tapi tunggu. Jam empat pagi?!"
Aku kaget, gila, kenapa harus sepagi itu?
"Benar. Tugas kamu mendampingi Devan kemanapun. Termasuk membangunkannya di pagi hari."
Pak Devan jelas terlihat protes, "Tapi Eyang, masa dia yang bangunin aku sih?"
"Itu tugasnya. Ririn sibuk. Jadi anak ini yang menggantikan. Setidaknya dia berguna." Si Eyang menatapku sekilas lalu kembali bicara dengan Pak Devan.
Aku menelan ludah. Waduh, kok ini di luar perkiraan BMKG ya?
"Jam empat pagi? Waduh, jarak rumah saya ke sini kan lumayan jauh?" Jelas aku protes lah.
"Kamu menginap di sini selama bekerja jadi asisten putra saya."
"Ha? Di ruangan ini?" Aku makin ngeri. Ya tadi aja pria itu hampir memakanku. Bener kata si Raka. Pak Devan kayak kuda jantan kebelet kawin. Ngeri!
"Tentu saja tidak. Ini ruangan kerja saya. Berhubung Noah gak bisa jauh dari saya, maka Noah punya ruangan khusus di sini." Pak Devan yang menjawab.
"Kamu akan diberi kamar. Nanti akan ditunjukkan oleh pelayan di sini." ucap si Eyang.
Oh baguslah kalau begitu. Otakku langsung bersinar. Nginap di sini berarti aku dapat makan gratis juga kan? Wah, lumayan juga tuh! Aku gak usah ribet mikirin uang makan lagi.
"Mengenai gaji saya bagaimana?" tanyaku dengan nada pelan.
Kedua orang itu kompak menatapku. Waduh, apa aku salah bicara? Kan cuma nanya doang?
"Gaji kamu akan saya bayar dua kali lipat dari upah minimum regional kota ini. Dengan catatan, kamu harus melaksanakan semua tugas dengan baik. Kontrak kamu nanti akan disiapkan untuk tenggat waktu dua tahun. Jika kamu resign tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan belum habis masa MOU dengan kami, kamu wajib mengembalikan uang gaji sebesar tiga kali gaji kamu." Pak Devan memberi penjelasan.
Aku melongo. "Jadi saya gak bisa keluar dari pekerjaan ini?"
"Tentu saja bisa. Hanya saja jika mau keluar kamu harus membuat pemberitahuan dua bulan sebelumnya." terangnya lagi.
"Dev, sebaiknya kamu kirim file kontrak ke dia sekarang." Si Eyang member usulan.
"Nanti saja. Ada beberapa yang mau aku ubah."
"Baiklah, karena sudah deal. Eyang pergi dulu. Noah tidur lagi?" tanya wanita tua itu.
"Hm, mungkin karena semalam bergadang jadi Noah mengantuk."
"Biarkan dia istirahat saja. Apa Ririn ada rencana pulang hari ini?"
Pak Devan terlihat lesu, "Sepertinya tidak. Jadwalnya sangat padat."
Si Eyang menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, "Itu pilihan kamu, Dev. Nikmati saja."
Wanita yang dipanggil Eyang itu melirikku sekilas lalu keluar dari ruangan ini.
"Kalau begitu, saya juga pulang dulu, Pak."
Aku berdiri dan bersiap keluar dari ruangan ini.
"Tunggu!"
"Ada apa, Pak?" Aku berbalik lagi ke arahnya.
"Untuk besok dan seterusnya, tolong kamu jangan bawa manusia aneh itu ke sini." Pak Devan terlihat gak suka.
Aku mengerutkan kening, "Manusia aneh?"
"Ck, ya. Entah kamu dapat darimana. Yang jelas, pria yang sekarang malah tidur di sofa saya itu besok tidak boleh dibawa saat kamu kerja dengan saya."
Aku tersenyum geli, "Oh tentu saja, Pak. Anda jangan khawatir. Dia hanya ikut sekali ini saja kok."
"Baguslah. Kamu boleh pergi." Tangan pria itu mengibas ke arahku. Memberi isyarat agar aku segera keluar dari sini.
Wow, keren sih ini. Aku dterima jadi asisten dosen muda itu plus dapat penginapan gratis pula, haha.
Eh tapi aku baru tahu jika asisten dosen kerjaannya sampai ngebangunin segala. Bener gak sih ini?
"Woy! Bangun!" Aku menepuk cukup keras lengan si Raka.
"Eh, elo udah beres? Hoam! Jadi orang kaya enak ya? Kursinya aja seempuk ini, apalagi kasurnya! Besok gue ikut lagi ya?"
"Gak!" Aku menjawab dengan nada ketus.
"Lah, pelit amat lo, njir!"
"Gue diancam dipecat kalau bawa lo." jawabku.
"Dih, ternyata majikan lo pelit ih."
"Bodo, yang penting gue diterima, Ka! Gue diterima kerja di sini!" Aku gak bisa menyembunyikan rasa senangku.
"Eh, bentar elo jadi asisten dosen kan?"
Aku mengangguk. Kami berjalan dan keluar dari rumah ini.
"Benar. Besok gue disuruh ke sini dan langsung kerja. Elo tahu? Gue juga dikasih kamar, coy! Artinya gue dapat pekerjaan plus penginapan dan makan gratis!"
Si Raka bukannya senang tapi malah bengong.
"Elo yakin kalau Pak Devan butuh asisten dosen?"
"Ho'oh lah. Apalagi?"
"Kok mesti nginep di sini segala sih? Jangan-jangan elo mau dijadiin pembantu di sini."
Aku menggeleng, "Enggak kok, emang beneran asisten dosen."
"Lah, biasanya kan asisten gak usah nginep di rumah segala, Al. Aneh gak sih?"
"Heh, elo jangan mikir yang bukan-bukan, Pak Devan udah punya anak bini, woy! Jelas gue aman gak bakalan diapa-apain sama dia."
Mulutku bicara gitu tapi pikiran melayang ke kejadian sebelum datang si. Eyang. Ucapan Pak Devan terngiang lagi. 'Puaskan saya, bisa?'. Artinya apa ya itu?
"Siapa tahu elo mau dijadiin simpanannya."