"Apa yang sudah terjadi padamu, Narnia?!! " teriak seorang wanita memakai gulungan rambut di kepalanya tepat ketika aku masuk ke rumah dengan kaki terseok-seok.
Perlahan aku duduk di sofa. Tiba-tiba punggungku juga terasa sakit. Ibu dan Kak Nirna tergesa-gesa menghampiriku.
"Ini karena Ibu terus memaksaku untuk mencari jodoh. Maka, mulai dari sekarang berhenti memintaku untu---"
"Banyak alasan," sela Kak Nirna ketus. "Bagaimana motornya? Apakah baik-baik saja?" tanyanya dengan mendekap helem yang baru kulepas dari kepala.
Ternyata dia tak peduli dengan kondisiku. Aku meliriknya tajam.
"Siapa yang menabrakmu? Apakah orang itu akan bertanggung jawab?" Ibu masih dengan kepanikannya. Dia meneliti semua luka di tubuhku.
"Setidaknya, kita harus meminta lima milyar." Kak Nirna memang tidak menganggap hal ini serius.
"Nirna ...," tegur Ibuku. Kurasa, dia baru saja selesai mandi. Wangi sabun menyeruak ke hidung. "Siapa yang menabrakmu?" Dia menatapku lagi setelah melirik kesal anak sulungnya.
"Tenang saja. Aku sudah menyelesaikan semuanya. Kalian tidak perlu khawatir." Aku menghela napas. "Bisakah Kakak ambilkan segelas air untuk-ku," kataku setengah memohon. Bibir dan tenggorokanku seperti diserang kemarau.
"Itulah mengapa kami selalu memintamu untuk punya teman laki-laki. Andai saja kamu pergi dengan laki-laki pasti kamu lebih aman," ucap Kak Nirna sebelum menuruti permintaanku.
"Tolong jangan menambah beban pikiran. Aku sedang sekarat oleh rasa sakit. Kalian harus memahamiku." Suaraku semakin serak.
"Tapi, kamu sudah mengantarkan radionya kan?" Ibu bertanya sembari menatap luka disekujur tubuhku. Kulihat, dia sudah tidak sepanik tadi.
"Itu dia permasalahannya." Aku bersandar sembari memejamkan mata.
"Jangan bilang?"
Aku mengangguk seolah tahu apa yang akan dikatakan oleh Ibuku sembari menahan rasa perih.
...
"Kurasa kau memang mulai menyimpang."
Aku melirik Kueny tajam. Perempuan berambut cokelat bergelombang sampai punggung itu terlihat tidak mengindahkan lirikanku.
"Kalau dia mulai menyimpang. Seharusnya kau menjauhinya. Mungkin, kamu salah satu dari banyaknya perempuan yang Narnia sukai."
Sekarang lirikanku pindah ke perempuan yang fokus membaca buku tentang motivasi itu. Tiana hobi membaca buku apalagi Self Improvement. Buku yang akhir-akhir ini sedang laris-larisnya.
"Bukan menyimpang ke perempuan. Aku rasa, kamu lebih suka aspal daripada laki-laki. Kamu lebih memilih mencium aspal daripada laki-laki yang bernama Zayn itu." Dia hanya melirik sebentar kemudian membaca lagi di sudut sebelah jendela.
"Memangnya kenapa aku harus mencium Zayn?" protesku.
Dia mengendikan bahu tak acuh. "Entahlah. Kamu harus mulai mencari pasangan. Ibu dan Kak Nirna mu itu baru saja meminta kami sebelum masuk ke kamarmu. Aku harus beralasan apa lagi coba?"
"Bilang saja kamu tidak punya teman laki-laki," jawabku enteng. Mereka berdua sudah kelewatan. Sampai meminta tolong pada dua manusia ini.
"Saran yang membantu," celetuk Tiana tak niat sama sekali.
Aku tahu itu memang tidak membantu. Ibu dan Kak Nirna tidak akan mudah percaya.
Kueny sejak tadi fokus pada ponselnya. Kurasa dia sedang mengobrol via daring dengan seseorang. Sesekali tersenyum tanpa aku tahu sebabnya.
"Aku akan mulai mencoba mencari di media sosial. Sekarang orang-orang berpacaran lewat media sosial kan?"
Tak ada jawaban. Aku menatap mereka satu persatu. Ternyata sibuk dengan urusan masing-masing.
"Itu ide bagus," sahut Tiana kemudian, "Tapi, kamu harus memasang foto yang bagus. Foto yang menampilkan sisi lain dari dirimu."
"Bagaimana dengan ini?" Aku menunjukan satu gambar ke Tiana. Perempuan itu mendekat masih membawa bukunya.
"Apa kamu benar-benar ingin memikat perempuan? Ini terlalu seperti laki-laki. Memangnya kamu pikir ada pria yang menyukai perempuan tomboi?"
"Pasti ada," jawabku. Tidak setuju dengan komentar Tiana.
"Tapi tidak banyak." Dia kembali ke tempatnya lagi.
Kueny sudah selesai dengan ponselnya. Dia menarik tanganku untuk melihat foto yang baru saja dilihat oleh Tiana. Kedua alisnya menyatu, lubang hidungnya membesar. Aku tahu, dia punya komentar yang sama dengan Tiana.
"Oke. Bagaimana dengan yang ini?" Aku menunjukkan foto yang lain. Setidaknya ada beberapa di ponselku.
"Bagaimana orang bisa melihat wajahmu jika kau tutupi dengan masker?"
"Lalu yang mana?! Aku tidak punya banyak foto," kesalku.
"Berpose imutlah. Sini biar aku yang fotokan!" Kueny mengambil alih ponselku. Dia berlutut di atas ranjang sementara aku bersandar di kepala ranjang.
Aku tidak tahu gaya apa yang bisa kulakukan selain tersenyum lalu menutup mata dan mengacungkan dua jari. Hanya itu.
"Sepertinya itu terlalu berlebihan," komentar Tiana dari tempatnya mengamati.
Kueny mengganti posisiku. Dia menyuruhku tersenyum dengan badan sedikit tegak dan kepala sedikit mendongak sehingga rambutku seolah jatuh seperti air terjun. Kedua mataku terpejan dan bibirku melengkung sempurna.
"Ini lebih bagus," katanya.
Ya, aku cukup puas dengan hasilnya.
"Kita tunggu saja setelah orang-orang mengkonfir permintaan pertemanan apakah ada yang akan mengirimu pesan."
Hampir sepuluh menit.
"Heh lihat! Ada satu orang!"