Alasan paling tepat mengapa aku belum punya pasangan diusia 22 tahun karena sejujurnya aku takut pada lawan jenis. Maksudku, bukan takut karena mereka terlihat seperti hantu, zombi atau penjahat. Aku lebih membatasi diri dalam berinteraksi dengan mereka. kadang-kadang, aku berpikir berbicara dengan mereka itu seperti mengobrol dengan penjahat.
Kedengarannya memang aneh dan kasar saat aku menempatkan laki-laki dengan perumpamaan kata seperti itu. Tentu saja aku tidak boleh menilai seseorang atau apapun itu hanya karena aku tidak suka. Menilai sesuatu tidak semudah itu, harus sedikit objektif.
Aku tidak tahu di mana keberadaanku sekarang. Maksudnya, rumah yang masih terlihat kosong melompong ini sangat asing. Hanya ada satu set sofa dan satu pohon imitasi di atas meja bewarna putih. Meskipun memang, konsep rumahnya agak sama dengan milik Om Ranjaya.
Pria tinggi putih tadi entah kemana perginya. Dia membiarkanku menunggu di ruangan yang tidak begitu luas. Ruangan yang langsung menghadap ke sebuah taman kecil atau mungkin tempat bersantai sebelum terhubung ke ruangan lain di seberang sana.
Suara langkah terdengar semakin mendekat, itu bisa jadi adalah pria tadi. Aku memasang diri, keamanan diri lebih tepatnya. Jika pria itu macam-macam, satu jurus pukulan yang tidak ada apa-apanya akan kuberikan. Setidaknya, aku melawan.
Sejujurnya, aku juga tidak tahu sejak kapan pemikiran ini muncul di kepalaku. Aku seolah membuat tameng untuk menghindari spesies bernama laki-laki. Dugaanku karena aku sering menonton berita di televisi memperlihatkan penganiayaan pria terhadap perempuan. Begitu banyak berita semacam itu sehingga secara tidak langsung membuatku trauma.
Tetapi, tidak sedikit juga berita yang menayangkan seorang perempuan menganiaya laki-laki. Minggu lalu, jika tidak salah ada seorang wanita menganiaya pria tua. Motifnya untuk balas dendam.
Ayahku sendiri sosok yang cukup penyabar, sangat anti bermain tangan ketika marah dan beliau juga sangat bertanggung jawab. Jadi, aku tidak pernah kecewa pada sosoknya.
Sekarang, aku malah harus berurusan dengan laki-laki tinggi satu ini. Kulit putihnya agak kontras dengan warna kaos hitam yang agak longgar di badannya. Dia kelihatan semakin tinggi hanya memakai celana kargo sampai lutut.
"Mbak, bersihkan lukanya." Ternyata laki-laki itu mengambil kotak P3K.
Aku menerimanya dengan cepat. Takut malah terjadi kontak fisik di antara kami. Aku juga menghindari hal itu entah sampai kapan.
"Cepat obati sebelum infeksi. Saya mau memperbaiki radio Mbak.”
Di rumah ini ada beberapa barang yang tampak tak asing. Pernah aku jumpai di ruang kerja Ayah. Seperti alat untuk memperbaiki mesin. Entah apa namanya, aku tidak tahu.
"Mas tukang service?" Kalau saja aku tidak begitu penasaran, pertanyaan semacam itu tidak akan keluar dari mulutku. Dari tadi aku curiga dia memang tukang service. Dia begitu ngotot radio itu bisa diperbaiki. Kalimat semacam itu tentu tidak akan keluar dari mulut seseorang yang bukan ahlinya kan?
Yang kudapatkan hanyalah anggukan singkat. Satu hal yang menghilangkan sedikit rasa takutku bertemu dengan pria ini adalah dia sepertinya definisi pria cuek. Maksudku, itu lebih baik daripada pria genit yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Tidak banyak obrolan di antara kami. Itu jauh lebih baik karena kami hanya dua orang asing. Pria bernama Zayn itu meninggalkanku sendirian dengan rasa perih. Ternyata dia menuju ruangan di seberang sana, melewati pintu kaca geser dari ruangan ini. Kemungkinan itu adalah tempat kerjanya. Aku menyandarkan punggung di sofa, meringis menahan sakit.
Beberapa kali Pak Supir yang tadik mondar-mandir menyimpan barang ke tempatnya. Sesekali berhenti untuk bertanya apakah aku baik-baik saja. Agar tidak membuatnya cemas, lalu mengganggu pekerjaan pria itu, Jennie mengatakan baik-baik saja.
“Pria ini sepertinya memang baru pindahan.”
Rasa perih terasa menjalar di tubuhku ketika alkohol medis menyentuhnya. Aku meringis dan sesekali berteriak kesakitan sampai-sampai laki-laki tadi muncul di ambang pintu tempatnya kerja untuk mengecek apa yang terjadi padaku.
Tapi aku hanya menggeleng dan menunjukkan kapas di tangan sebagai kode bahwa aku baik-baik saja.
Tidak butuh waktu lama, lukaku selesai dibersihkan. Saat melihat jam di ponsel ternyata aku sudah menghabiskan 1 jam lebih di sini. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Untung saja aku bukan orang sibuk, tetapi berlama-lama di rumah orang asing juga tidak bagus. Aku menjadi panik karena laki-laki tadi tidak kunjung keluar dari tempatnya bekerja.
“Aku harus segera pulang, tapi bagaimana caranya? Laki-laki itu tidak keluar sejak tadi,” gumamku, sembari memikirkan sebuah cara untuk pulang dengan sopan.
Aku tidak mau berada di rumah orang asing terlalu lama. Rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi satu. Entah dari mana pikiranku datang, aku memutuskan untuk melangkah terseok-seok—luka di lutut adalah penyebabnya---menuju ruangan di seberang sana.
Keraguan masih menahan langkahku. Berdiri di ambang pintu sebelum akhirnya kuputuskan untuk menyebrangi taman kecil ini.
Dan, aku menemukannya. Pria itu membelakangi pintu. Sangat fokus dengan radio yang sudah tidak terbentu di hadapannya. Aku sempat mengedarkan pandangan. Ruangan ini penuh oleh alat elektronik. Kalau dia baru pindah hari ini, harusnya tidak ada alat elektronik sebanyak ini kan?
Sudah cukup lama aku berdiri sembari mengamati ruangan ini tanpa suara. Aku berdeham dan suaraku itu mengejutkannya. Dia segera berdiri dan menghadapku. Ada sedikit kecanggungan di antara kami.
Keringat dingin mulai membasahi tubuhku.
"Masih lama Mas?" tanyaku sembari mengusap lengan tangan. Sebenarnya, aku kebingungan harus memanggil laki-laki ini dengan sebutan apa. Aku tidak terbiasa berbicara dengan lawan jenis. Apalagi orang asing. Sehingga sedetik menatap matanya, detik berikutnya aku menatap hal lain.
“Rusak parah," jawabnya datar, melihat ke arah radio.
Jutek sekali, batinku.
"Ada kemungkinan bisa jadi hari ini, Mas?" Aku bertanya dengan suara penuh harap. Ayahku memang penyabar tapi dia bisa meledak kapanpun jika aku membuat kesalahan. Dan yang kulakukan hari ini adalah sedikit dari banyaknya hal yang bisa meledakan kemarahan Ayahku.
Dia melirikku tajam. Lah, memangnya apa yang salah dengan pertanyaanku? Dia seorang Tukang Service dan aku wajar menanyakan hal itu kan?
"Mbak waras?”
Apa katanya?!
Sialan pria satu ini!
“Ada mesin yang harus diganti. Saya tidak bisa memastikan hari ini bisa jadi kalau mesinnya saja belum ada dan itu harus dibeli.”
"Saya yang harus beli Mas? Kan bukan saya yang ngerusakin!" protesku tak terima ketika dia sepertinya menjurus ke arah agar aku membeli mesin yang dia jual.
Modus macam apa ini?!
Dia melirik ku lagi. Seolah berkata, Anda bisa diam tidak?
"Permasalahannya bukan siapa yang harus ganti. Ini radio klasik dan biasanya susah cari alat-alatnya. Saya mungkin harus pergi ke beberapa toko untuk mengecek ada atau tidak mesin itu."
Bibirku mengerucut, sedih mendengar penjelasannya. Bagaimana jika radio itu tidak bisa diperbaiki?
"Jadi intinya, Mas bisa atau tidak?" Aku bertanya hati-hati.
Tiba-tiba dia melirikku tajam lagi. Astaga, memangnya apa salahku, sih? Ini alasan mengapa aku kesal dengan lawan jenis. Tidak! Lebih tepatnya aku kesal pada laki-laki satu ini. Tentu saja aku tidak bisa menilai laki-laki semua sama.
“Tolong dengarkan baik-baik ya, Mbak. Ada mesin yang harus diganti, kebetulan saya belum punya mesinnya. Jadi, kalau Mbak tanya apa bisa jadi hari ini, maka Mbak sudah tahu jawabannya. Memperbaiki sesuatu yang rusak itu tidak seperti sulap!” jelasnya dengan suara menahan kekesalan. Wajah putihnya berubah seperti kepiting rebus.
"Lah terus? Masa saya harus menunggu berhari---"
"Mbak punya f*******: atau akun media sosial yang lain?" tanyanya tiba-tiba, sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Aku mengernyitkan dahi. Nih, laki-laki mau modus kenalan atau apa? Lagi bahas soal radio malah tanya soal media sosial.
"Untuk menghubungi Mbak kalau radio ini sudah jadi atau butuh info lain," jelasnya seolah tahu apa yang kupikirkan. Sehingga air mukaku sedikit berubah dan menahan rasa malu.
"Tidak nomor ponsel saja?" tawarku.
Sekarang laki-laki itu yang mengernyitkan dahi.
Kami terdiam, aku butuh jawabannya dan dia mungkin butuh alasan mengapa aku minta nomor HP. Sehingga tidak ada yang membuka suara selama 2 detik lamanya.
"Nomor terlalu privat. Jadi nama akun f*******: Mbak saja. Apa namanya?”
Astaga, ternyata kami punya pemikiran yang berbeda. Media sosial juga agak privat ada beberapa foto diri kami sendiri di sana.
"Naarnia, A-nya dua," jawabku pada akhirnya tanpa protes. Supaya ini cepat selesai saja.
"Yang ini?" Dia menunjukkan akun f*******: dengan foto profil gambar wajahku. Aku mengangguk singkat. "Nanti saya hubungi lagi."
"Kalau bisa jangan sampai satu minggu ya, Mas? Saya butuh radio itu secepatnya. Itu bukan punya saya. Om saya bisa marah kalau tahu radio warisan ibunya malah rusak."
"Saya usahakan." Dia mengantongi ponsel itu lagi.
Aku mengangguk penuh harap.
"Lukanya sudah?" Dia melirik ke arah lututku.
"Iya …, terima kasih buat P3K-nya. Kalau begitu saya pulang dulu. Tolong, ya Mas jangan sampai satu minggu!" seruku memperingatkan. Dia justru melirik-ku tajam.
Kenapa dia suka sekali melirik-ku tajam, memangnya apa salahku? Tapi, setelah kupikir-pikir, tidak begitu buruk mengobrol dengannya yang mana adalah seorang pria. Apa aku sudah mengalami kemajuan?
“Dek, bagaimana sudah sembuh?” Pak Supir tiba-tiba mengulurkan tangan hendak menyentuh lenganku. Refleks aku menyentak tangannya sembari menjauh dengan mata melotot.
Tidak. Sepertinya aku belum mengalami kemajuan.