Malam turun tanpa bintang, seolah langit pun enggan menatap bumi yang menyimpan terlalu banyak dosa. Di sudut kamar yang dingin, Nadira duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Hela napasnya berat, seakan setiap tarikan udara membawa kembali serpihan kenangan yang ia coba kubur tapi selalu menggali dirinya lagi dan lagi. Hujan di luar mengetuk jendela, menciptakan irama sendu yang menenangkan bagi sebagian orang, namun bagi Nadira, itu suara pengingat. Pengingat dari malam-malam di mana ia menunggu seseorang pulang. Malam-malam ketika ia menyiapkan makan malam, menata senyum, dan menunggu langkah kaki lelaki yang katanya mencintainya. Tapi langkah itu selalu datang terlambat, disertai aroma asing, dan tatapan yang tak lagi sama. Kini, semua itu hanya jadi abu dalam pikirannya. Arga l

