Malam itu, langit tampak berat. Awan gelap menggantung seolah enggan pergi, menyimpan kilat di balik perutnya. Hujan turun perlahan, tapi cukup untuk menimbulkan suara ritmis di atap rumah. Alya berdiri di depan jendela, menatap pekat malam di luar. Ia merasa sesuatu berubah udara di sekitar terasa lebih dingin, lebih mencekam, seolah ada sesuatu yang menunggu di balik gelap. Arga duduk di sofa, menatap layar ponselnya yang tak henti bergetar. Notifikasi pesan masuk bertubi-tubi, namun semuanya ia abaikan. Ada satu pesan yang baru saja ia buka, dan pesan itu sudah cukup membuat darahnya berhenti mengalir. “Kau pikir bisa sembunyi selamanya, Arga?” Pesan itu datang dari nomor tak dikenal, tapi ia tahu benar siapa yang mengirim. Nadira. Namanya saja sudah cukup untuk membuat jantung Arga

