Malam itu, rumah Arga terendam dalam keheningan. Hanya suara jam dinding berdetak pelan, bersahutan dengan hembusan angin dari sela jendela yang tak tertutup rapat. Alya duduk di ruang tengah, menatap layar televisi yang menyala tanpa suara. Tatapannya kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Sementara Arga masih di ruang kerja, tenggelam dalam berkas-berkas proyek yang tak lagi menarik minatnya. Hening yang seharusnya menenangkan, malam itu justru terasa seperti penjara yang menahan napas mereka berdua. Ketukan halus di pintu depan memecah segalanya. Tiga kali. Pelan. Teratur. Alya spontan menoleh. Ia menunggu Arga keluar, tapi suara langkah itu tak juga datang. Ketukan kedua terdengar, sedikit lebih keras dari sebelumnya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia bangkit dengan h

