"Percaya atau enggak, tapi pertunangan Casandra dan Bima akan tetap dilaksanakan." Sarah menghela nafas, lalu bangkit berdiri.
"MAS BIMA ENGGAK MUNGKIN SETUJU! KAMI SEPAKAT UNTUK MENIKAH, ENGGAK MUNGKIN DIA MAU PERTUNANGAN KAMI DIBATALKAN!" Alisha tiba-tiba meraung tidak terima.
"Pergi, tanyakan sama Bimantara apa dia setuju atau enggak!" Setelah mengatakan itu Sarah melenggang pergi dengan kesal.
Anton yang sedari tadi hanya diam mendengarkan perdebatan keduanya akhirnya berkata pada Alisha, "Kamu sudah dewasa Alisha, sebaiknya kamu pulang ke rumah orang tua kamu-"
"PAPAH MAU NGUSIR AKU DARI RUMAH?! PAPAH TEGA SAMA AKU?! CUMA KARENA CASANDRA YANG KALIAN BILANG ANAK KALIAN ITU!"
"ALISHA!" bentak Anton, pria itu memijit keningnya yang terasa berdenyut. "Besok kita bicarakan, kanlmu sebaiknya segera berkemas. Casandra datang ke rumah ini karena dia anak kami, kamu sudah seharusnya pulang ke rumah orang tua kamu!"
"AHHH! ENGGAK MAU! AKU ENGGAK MAU!" Setelah berteriak dengan begitu histeris, Alisha berlari keluar dari rumah.
"Alisha! Mau ke mana kamu?!" Anton marah melihat Alisha yang berlari ke luar rumah.
Kepala keluarga Wirattama itu menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, kepalanya berdenyut parah, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menghela nafas dengan berat.
Di sisi lain, Alisha berlari tidak tentu arah, air mata menggenang di pelupuk matanya, jalanan di depannya terlihat buram karena air mata. Hatinya sakit bukan main, dadanya sesak dan dia merasa dunia sangat tidak adil padanya. Entah pelarian itu membawanya ke mana, kepala Alisha tiba-tiba pusing dan dia kehilangan kesadaran.
***
Ketika kelopak mata Alisha terbuka, hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Wanita itu mengerejap karena silau yang di timbulkan oleh cahaya bola lampu.
''Uhuk, uhuk!'' Alisha terbatuh dengan lemah. Tepat ketika wanita itu bertanya-tanya di mana dia berada, suara asing tiba-tiba terdengar di telinganya.
''Kamu sudah bangun?''
Alisha mencoba untuk bangun dengan susah payah. Pemilik suara itu membantu Alisha menyandarkan punggungnya pada bantal.
''Pelan-pelan!''
''Ini di mana?'' tanya Alisha, masih dalam keadaan bingung.
''Ini di rumah sakit, Kamu tadi pingsan di tengah jalan,'' jawab pria asing itu sambil memberikan Alisha segelas air.
''Pingsan?'' gumam Alisha pada dirinya sendiri.
Ketika pandangannya sudah menjadi jelas, Alisha akhirnya melihat siapa pemilik suara itu. Seorang pria tinggi dan tampan, mengenakan jas dokter berwarna putih. Selesai minum, Alisha menaruh gelas kosong itu pada nakas di sampingnya.
''Makasih... Dok,'' ucap Alisha dengan ragu.
Pria itu lalu membalas, ''Sama-sama. Kamu beruntung karena saya kebetulan lewat, kalau enggak kamu bakalan semalaman pingsan di jalanan yang sepi. Untungnya bayi dalam perut kamu baik-baik saja.''
Raut wajah Alisha tiba-tiba berubah mendengar apa yang dokter muda itu katakan, tubuhnya terasa kaku, dia menatap sang dokter dan membeo, ''Bayi?''
''Iya,'' jawab dokter tersebut. Melihat raut wajah gadis muda di depannya yang tampak kaget, dia lalu bertanya pada Alisha, ''Kamu enggak tau kalau kamu hamil?''
Alisha terdiam, dia menggelengkan kepalanya.
''Kamu masih sangat muda, suami kamu tau kamu hamil?''
Suami? Di mana ada suami, pertunangannya dengan Bimantara bahkan dibatalkan tanpa dia tau. Sekarang dia hamil, apa yang harus dia lakukan. Alisha lagi-lagi terdiam, Dokter itu menghela nafasnya, bangkit berdiri dan berkata pada Alisha, ''Kamu istirahat dulu, setidaknya untuk dua hari ke depan. Kalau butuh apa-apa kamu bisa teken bel di samping tempat tidur.'' Setelah mengatakan itu dia melenggang pergi, keluar dari kamar yang Alisha tempati.
Alisha tidak bereaksi hingga dokter yang menolongnya itu pergi. Saat dia mendengar suara pintu tertutup, Alisha akhirnya tersadar. Gadis itu mencari-cari ponselnya, namun tidak menemukannya di mana pun. Kesal, Alisha melemparkan bantalnya dengan marah. Dia menangis terisak setelahnya, merasa lelah, baik secara fisik atau pun secara mental.
Dua hari kemudian, Alisha akhirnya di perbolehkan pulang setelah kondisi kandungannya stabil. Dua hari di rumah sakit, Alisha akhirnya mengetahui nama dokter yang menolongnya, yaitu Dimas. Dimas mengunjungi Alisha setiap hari, pria itu bahkan membawakannya makanan. Alisha bersyukur bertemu orang yang begitu baik, jika tidak, dia bahkan tidak bisa membayar biaya rumah sakit karena ponselnya hilang.
''Makasih, Dok, udah mau bantu saya. Saya enggak tau lagi harus kaya gimana kalau enggak ada Dokter,'' ucap Alisha dengan tulus pada dokter Dimas.
Dokter Dimas tersenyum, ''Sudah kewajiban saya membantu kamu. Hari ini kamu keluar dari rumah sakit, kamu mau ke mana?''
Dua hari bergaul dengan Alisha, dokter Dimas tahu bahwa Alisha adalah gadis berusia sembilan belas tahun, masih terlalu muda untuk gadis itu hamil. Selama dua hari pula dia tidak melihat satu orang pun yang datang menjenguknya.
''Ah... Saya mau pulang,'' Alisha menjawab dengan senyum kecil.
''Mau Saya antar?''
''Enggak usah, Dok. Saya bisa sendiri,'' tolak Alisha dengan halus. Dia sebenarnya berbohong, bukan rumah yang menjadi tujuannya setelah ini.
Dimas mengangguk, tidak ingin memaksa gadis itu. ''Jaga kesehatan, bayi dalam perut kamu butuh ibunya,'' ujarnya.
Gadis itu tersenyum kecut, tidak menanggapi ucapan dokter Dimas. Setelah berpamitan, Alisha pergi dari rumah sakit dengan ongkos yang Dimas berikan. Dia tidak pulang ke kediaman Wirattama, melainkan pergi ke sebuah gedung perusahaan.
***
Alisha berdiri di sebuah gedung perusahaan yang terlihat sangat megah, dia mengepalkan telapak tangan, mencoba meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, meyakinkan dirinya bahwa Bimantara pasti mau menerima dia beserta calon anak mereka.
''Non Alisha,'' sapa resepsionis ketika melihat Alisha.
Gadis itu tersenyum kecil, bertanya pada sang resepsionis, ''Mas Bima ada di ruangannya?''
Resepsionis wanita itu mengangguk, dia tidak menghentikan Alisha yang melenggang pergi. Hampir semua karyawan di perusahaan ini tahu siapa Alisha karena dulu Alisha sangat sering datang untuk menemui Bimantara. Setelah kasus anak yang tertukar pecah ke publik, semua orang memperhatikan Alisha, ingin mengetahui bagaimana tanggapan gadis itu ketika tahu bahwa dirinya bukan putri bungsu dari keluarga Wirattama.
Alisha naik ke lantai atas dengan jantung berdebar kencang, rasa takut dan cemas membayangi dirinya, Tiba di depan ruangan yang sangat dia kenali, Alisha tiba-tiba di kejutkan oleh sekretaris Bima yang menghampirinya.
''Non Alisha-''
''Saya mau ketemu Mas Bima,'' ujar Alisha, hendak pergi melewati David ketika pria itu mencoba menghalangi jalannya.
''P-pak Bima sedang ada urusan di luar, beliau tidak ada di ruangannya!''
Alisha menatap David dengan curiga. Dari nada bicara David yang tergagap saja Alisha tahu bahwa pria itu sedang berbohong. ''Minggir, Saya mau masuk!'' Alisha berkata dengan tidak sabar.
''Maaf, Non, tapi pak Bimantara benar-benar tidak ada di ruangannya, kalau Non Alisha mau-'' David tiba-tiba menghentikan ocehannya, dia semula menatap Alisha yang terdiam dengan bingung. Pria itu berbalik, melihat apa yang sedang Alisha tatap.
Casandra berdiri di ambang pintu ruangan Bimantara yang terbuka, gadis itu menatap Alisha dengan senyuman sebelum melangkah menghampiri Alisha. ''Alisha, kamu di sini?'' tanya Casandra, dia tidak terlalu peduli apakah Alisha menjawabnya atau tidak.
Hati Alisha kedinginan melihat Casandra yang baru saja keluar dari ruangan Bimantara, sedangkan dia dihadang oleh David di depan ruangan.
''Kebetulan banget, aku sama Mas Bima mau makan siang bareng, kamu mau ikut?''
David menatap keduanya dengan perasaan tidak enak, dia tidak tahu mengapa harus menghadapi ini semua. Yang satu adalah mantan tunangan bosnya dan satu lagi adalah tunangan bos. Dia juga sedikit tidak percaya pada Casandra yang menawarkan makan bersama di situasi seperti ini.
''Non Alisha sebaiknya-'' ucapan David terpotong karena Bimantara yang berpakaian rapih keluar dari ruangan.
''Ada apa?'' tanya Bimantara, menatap David dengan alis terangkat.
''Ini, pak-''
''Mas, kita jadi makan siang bareng, kan?'' Casandra langsung berjalan menghampiri Bimantara, berdiri di samping pria tampan itu. ''Kebetulan banget Alisha juga datang, dia makan siang bareng kita gak pa-pa, kan?''
Bimantara menatap Alisha sejenak, lalu mengangguk. Tidak ada yang salah dengan ekspresi pria itu, seolah keberadaan Alisha dan pembatalan pertunangan mereka sama sekali tidak mempengaruhinya.