Tertakdir Bertemu Lagi

1303 Words
Mentari pagi masuk menelisik lewat celah tirai jendela kamar hotel, sinarnya yang hangat menyentuh pelupuk mata Ariana, perlahan membangunkannya dari tidur lelap. Saat kedua matanya terbuka, tubuhnya langsung kaku. Selimut yang menyelimuti tubuh tak menyembunyikan fakta bahwa ia tak mengenakan sehelai benang pun. Dan di sebelahnya, kini seorang pria tengah tertidur dengan tenang. Nafas Ariana pun tersendak. Ingatannya yang masih samar-samar perlahan menyusun puzzle malam tadi. Desahan panas, sentuhan yang membakar, dan gairah liar yang tak terbendung. Ariana mengingat jelas bahwa ternayata ia telah melepas kesuciannya pada pria asing ini. Anehnya, tak sedikitpun ada rasa sesal. Justru ... kepuasan aneh yang malah hadir , seolah luka dikhianati tunangannya sedikit terobati. "I mean, look at this man, Ar. Dia begitu tampan, bahkan dalam keadaan tertidur sekalipun," batin Ariana yang sedang mengagumi wajah sang pria seraya wajahnya sendiri memerah sipu. Pria itu memiliki aura yang teduh, wajahnya tampan dengan garis rahang yang tegas. Ariana bahkan merasa bekas sentuhannya masih terasa di kulitnya. Semalam, ia memberinya pelarian—sejenis penyembuhan sementara dari rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Tapi, sayang. Petualangan kecil nan mengangumkan ini harus berakhir. Ariana menolak terbawa perasaan berlarut-larut. Dengan hati-hati, gadis itu bangkit dari tempat tidur, berusaha tak membangunkan sang pria. Ia memunguti pakaiannya yang tercecer, lalu mengenakannya dengan gemetar sembari melirik sekali lagi ke arah pria itu. "Terima kasih untuk semalam," bisiknya dalam hati sebelum memutuskan untuk pergi—melangkah keluar kamar, membawa kenangan yang akan ia simpan rapat-rapat di relung hati. Beberapa saat kemudian. Panggilan dari sang mama masuk kala Ariana baru saja menyalakan ponsel dari mode mati. Sang gadis sengaja mematikan mode ponsel setelah mengatakan izin pada sang mama jika akan menginap di rumah teman. Ariana pun segera mengangkat panggilan dari sang mama. "Ariana Ashford! Kemana saja kau ini!?" pekikan Bianca spontan meraung sementara Ariana menjauhkan sejenak ponselnya sejenak dari telinga. "Astaga, Ma! Tak perlu teriak. Aku dalam perjalanan pulang. Bukankah sudah kubilang jika aku menginap di rumah teman." "Jangan coba-coba berbohong, Nak. Barbara bilang kau tidak menginap di rumahnya. Max juga laporan pada mama semalam kau tiba-tiba meninggalkannya di Club. Ini sangat tidak bertanggung jawab, Ari," tegas Bianca bernada kesal. Astaga, aku sampai lupa pada dua manusia sampah itu. "Aku sudah bilang menginap di rumah teman yang lain. Dia membutuhkanku. Memangnya temanku Barbara saja," kilah Ariana tetap menjaga kesopanan nada bicara. "Lalu, Max? Apa kalian sedang bertengkar?" tanya Bianca sedikit menurunkan nada bicara. "Uhm, tidak serius." "Oh, my God. Kau sebaiknya menelpon dia, Nak. Max sangat mengkhawatirkanmu. Hmm." Ariana memutar bola mata dengan malas untuk sejenak. Setelah menyaksikan kejadian semalam, rasanya ingin sekali menampar bahkan memukul dua manusia yang mengkhianatinya. Namun, beruntung Ariana adalah tipikal yang masih bisa menjaga sikap dan mempertimbangkan situasi. Terlebih, Luis sang ayah sedang menjadi kepala penelitian proyek besar dalam bidang medis yang sedang dibiayai keluarga Max—yang notabennya merupakan keluarga konglomerat pengusaha bidang farmasi. Ariana khawatir karir Luis terancam jika langsung mengambil keputusan sembrono. "Uhm, ya. Tapi, aku akan mempersiapkan untuk keperluan magang dulu, Ma. Sampai jumpa di rumah, ok." "See you, My Baby." Seiras panggilan berakhir, kedua mata Ariana pun terpejam sejenak, berusaha mengusir asa yang sedang berkecamuk dalam benaknya. Di sisi lain. "Ch! Dia pikir siapa pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan," gerutu seorang pria cukup kesal. Pria tersebut tak lain adalah sosok yang menggagahi Ariana semalam tadi. Sang pria sedang duduk di tepi ranjang seraya menggenggam sebuah nametag ID mahasiswa bertuliskan nama Ariana Ashford. Nyatanya, nametag ID mahasiswa milik Ariana tertinggal di kamar hotel dan mungkin akan menjad petunjuk kecil baginya. *** Siang menjelang sore hari, Luis Ashford yang merupakan ayah Ariana mengantar putrinya menuju rumah sakit tempat magang. "Kau yakin tak ingin papa antar ke dalam?" tanya Luis setelah beberapa kali niatnya mengantar Ariana ke dalam rumah sakit kerap ditolak putrinya. "Aku bukan anak kecil lagi, Papa. Apalagi aku tak ingin ada rumor beredar dimanjakan karena aku merupakan putri dokter bedah terkenal," tolak Ariana dengan nada setengah bergurau agar tidak terjadi ketegangan serius. "Baiklah, Papa percaya padamu, Ari." Ariana lantas memeluk Luis erat. Gadis cantik itu memang benar-benar menyanyangi Luis walau ia sudah tau sedari kecil Luis bukan ayah kandungnya. "Jika ada gangungan atau—" "See u, Papa!" sela Ariana tak ingin mendengar lebih lama ceramah Luis. Luis pun hanya bisa pasrah saat Ariana mengambil langkah seribu keluar dari mobil. Beberapa saat kemudian. Ariana telah sampai di sebuah poli khusus kejiwaan ringan karena memang rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit khusus untuk gangguan kejiwaan. Di depan sana sudah ada beberapa orang yang berkumpul, memiliki tujuan sama yakni psikolog lulusan baru yang hendak magang. Sejanak, Ariana menghela napas panjang dan lalu menghampiri kerumuman. Ia pun berharap akan menemukan teman baru yang klop. Belum satu detik di antara kerumuman, ponsel Ariana berbunyi pertanda panggilan dari Max. Ia lantas memutar bola mara malas dan menggeser tanda silang merah yang berarti menolak panggilan. Max memang sudah menghubunginya sedari tadi pagi, akan tetapi Ariana kerap mengabaikan dan berdalih sibuk persiapan magang lewat pesan chat. Padahal, hatinya sudah mati rasa dan menunggu momen tepat untuk memutuskan hubungan resmi yang terjalin. Tak lama setelah Max hampir memghubungi sepuluh kali, Barbara sang sahabat pengkhianat kini juga menghubunginya. Ergh! Apa mereka sedang bersama? Kompak sekali menelponku. Dengan tegas jemari Ariana kembali me-reject panggilan Barbara. "Kau sudah menolak dua panggilan orang. Padahal acara baru akan dimulai sekitar ... lima belas menit lagi," celetuk suara wanita tepat dibsebelah Ariana. Presensinya sudah berdiri disana tanpa Ariana sadari. "Untuk apa aku menjawab panggilan para pengkhianat?" balas Ariana kesal setiap kali membahas Max dan Barbara. "Hmm, dari gelagatmu aku membaca jika mereka tidak mengetahui kau sudah tau kebusukan mereka," asumsi sang gadis asing. "Ch! Darimana kau tau?" "Hanya membaca gelagat karena aku calon tetapis jiwa," balasnya enteng. "Tunggu apa aku benar?" "Uhhm, ya. Kau benar. Mereka adalah kekasihku dan sahabatku yang berselingkuh. Tapi, sayang karena sesuatu dan kesibukanku, aku belum bisa mengambil tindakan, jadi mereka tidak penting saat ini." "Woah, kau rupanya cukup penyabar. Pantas saja bidang ini cocok untukmu," puji gadis berambut pedek sebahu itu. "Jika aku jadi kau, benda yang ada di sekitarku sudah kujadikan senjata untuk menghantam mereka." Ariana sontak tertawa mendengar tingkah gadis disebelahnya. Tak memerlukan eaktu lama, keduanya terlibat dalam obrolan akrab sejenak hingga dua sosok mengenakan jas dokter datang menginterupsi. "By the way, namaku Zeyana. Kau bisa memanggilku Zee. Dan kau?" "Ariana. Panggil aku Ari," balas Ariana seraya berbisik. "Jangan ada yang bicara lagi. Kita akan langsung pada intinya. Khusus untuk hari pertama kalian akan dibagi 3 kelompok dengam masing-masing mentor," ujar mentor pria bernama Josh yang merupakan seorang psikiater. Josh sendiri memimpin kelompok satu. Kelompok dua akan dipimpin oleh Nara, psikolog wanita. "Terakhir, kelompok tiga akan dimentori oleh Haniel Denver," tandas Josh. Seketika, kerumunan disana berdecak sambil berbisik sesaat setelah mendengar nama Haniel digaungkan. "Woah, sial sekali yang jadi kelompok 3," celetuk Zeyana yang langsung mengundang tanya Ariana. "Memangnya kenapa?" "Apa kau tidak baca profil sebelum kesini?" Ariana hanya menggelengkan kepala. "Dokter Haniel adalah seorang psikiater senior yang sangat dikagumi sekaligus disegani karena terkenal sangat tegas dan juga jenius. "Benarkah? Kedengarannya tidak menakutkan, tapi sedikit keren," asumsi Ariana biasa saja. "Bukannya hanya keren, Ari. Wajah dokter Haniel memang setampan itu." "Astaga jangan berlebihan," tutur Ariana mengingatkan Zeyana. "Lihat saja ke sana. Dia sudah datang. Apa kau masih bisa menyebutku berlebihan?" Tak lama kedua mata Ariana diarahkan ke depan dimana para mentor berdiri. Betapa terkejutnya Ariana saat melihat ke sosok yang baru saja datang. What the he*l! Masih teringat jelas di otak Ariana jika sosok Haniel adalah pria yang sama dengan sang one night stand karena sebelum pergi meninggalkan hotel, Ariana menyempatkan diri mengagumi wajah tampan sang pria. "Dan kelompok 3 atau terakhir akan dibimbing oleh Dokter Haniel adalah Ariana Ashford dan Zeyana Cruz," seru Josh lagi. Usai pengumuman barusan, debaran jatung Ariana semakin meningkat ditambah lagi, netra Haniel kini terfokus padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD