Hot Kiss

1205 Words
Beberapa saat sebelum mementori lulusan baru. "Hey, Dok. Kulihat jadwalmu hari ini lumayan lengang. Apa kau mungkin ... bisa menggantikan Dokter Fabian untuk mementori anak magang psikolog baru?" "Tidak. Aku tidak ingin terlibat dengan anak magang," jawab Haniel dingin pada koleganya sesama psikiater senior. Sang kolega hanya bisa pasrah menanggapi seolah sudah biasa dengan perangai dingin dokter tampan dengan style coma hair itu. "Baiklah, aku mungkin memasukannya pada kelompok Dokter Josh yang berperangai playboy itu. Semoga sikap Dokter Josh tidak kumat di hadapan putri dokter bedah senior Luis Ashford yang dititipkan langsung pada Direktur." "Ashford?" Haniel mengulang nama belakang Luis yang cukup familiar. Tiba-tiba saja, ingatannya memunculkan sekelebat kenangan tadi pagi saat dirinya menggenggam ID milik Ariana Asford, gadis satu malam yang tak terlupakan. "Hmm, seorang dokter bedah ternama menitipkan putrinya pada direktur karena dia baru saja lulus," beber sang kolega. "Siapa nama putrinya?" tanya Haniel memastikan. "Ariana Ashford." DEG! Walaupun mimik Haniel tak memperlihatkan keterkejutan, akan tetapi hatinya bereaksi berlawanan. Dokter tampan itu cukup terkejut. Rupanya tanpa perlu mencari, takdir mendekatkannya lagi denfan gadis misterius semalam. "Ok, akan kuambil alih." Haniel bangkit seraya merebut file dari tangan sang kolega dan mulai membacanya. Disana, tertera nama Ariana lengkap dengan biodata dan satunya merupakan file Zeyana Cruz. *** "Ari?" panggil Zeyana pada Ariana yang masih dalam keadaan tercenung tak percaya ke arah Haniel. Merasa tak ditanggapi, Zeyana terpaksa menyenggol lengan Ariana dan gadis itupun tersadar dari lamunan. "Aku tau dia tampan. Tapi kau harus menyimpan liurmu dulu karena Dokter Haniel meminta kita mengikutinya," bisik Zeyana meledek. "What? Enak saja. Aku tidak mengeluarkan liur," protes Ariana yang langsung ditinggal oleh Zeyana. Beberapa saat kemudian. Ariana yang terserang canggung sedari awal benar-benar tidak bisa fokus pada penjelasan Haniel yang mengenalkannya pada lingkungan rumah sakit khusus kejiawaan itu. Dalam hati, gadis itu kerap bertanya-tanya apakah Haniel mengingat satu aksi panas keduanya yang terjadi tadi malam? Jika boleh jujur, malam tadi merupakan malam mengangumkan yang tak akan pernah terlupakan oleh Ariana yang belum pernah menyicipi nikmatnya bercinta. Ariana mungkin merasa kecewa jika Haniel sampai tak mengingatnya. "Ada yang ingin ditanyakan sebelum aku melanjutkan tour rumah sakit?" "Tidak, Dok," balas Zeyana mantap yang sedari tadi fokus. "Dan kau, Nona Ashford?" Haniel menetapkan pandangan pada Ariana. Sayangnya, sikap Ariana yang terkesiap membuat seolah dirinya terpergok tidak fokus. Haniel pun memberi peringatan dengan nada datar kentara ketus. "Jika kau tidak bisa fokus sebaiknya pulang saja. Menjadi seorang terapis jiwa harus bisa mengesampingkan bahkan mengontrol emosi. Jika tidak maka kau tak akan bisa meng-handle pasien yang rata-rata membawa beban hidup berat." Hati Ariana spontan tertohok dan cukup kecewa. Sikap Haniel berbeda seratus delapan puluh derajat, seolah berbeda orang. Meski begitu, Ariana sadar bahwa saat ini mengharuskam dirinya bersikap profesional. "Uhm, maaf, Dok. Aku tidak akan mengulanginya lagi," balas Ariana dengan bibir cukup gemetar. "Baik. Untuk hari ini kuputuskan kalian bisa pulang. Besok kalian harus ada di sini jam delapan, menganalisis pasien yang berkonsultasi langsung dengan dokter senior," tutup Haniel yang segera berlalu menjauh, menyusuri lorong rumah sakit. "Hey, ayo ke depan bersama," ajak Zeyana. "Uhm, bisakah kau duluan? Aku sepertinya butuh ke toilet, ok," balas Ariana yang langsung melangkah cepat, menyusuri lorong rumah sakit tanpa mendengar tanggapan Zeyana. Beberapa saat kemudian. "Kemana dia? Cepat sekali langkahnya," guman Ariana yang nyatanya berniat mengejar Haniel, tapi sudah kehilangan jejak. Hati kecilnya jelas penasaran dan tidak bisa tenang jika belum bertemu dan bicara dengan Haniel. GREB! Saat baru saja berbelok dari lorong sebelumnya, tiba-tiba saja sebuah tangan menarik lengan Ariana ke dalam ruangan dimana tempat Ariana sempat terhenti. "Kau!" "Shuh!" desis Haniel mendesak tubuh ramping Ariana seraya menempatkan telunjuk di belah ranum sang gadis agar tak bersuara keras. Keduanya kini saling adu tatap dalam jarak yang sangat dekat. "Dari gelagatmu, aku tau kau mengikutiku. Apa yang kau inginkan, Nona Ashford?" tanya Haniel lembut. Jantung Ariana pun berdebar dua kali lipat. Akan tetapi, mati-matian ia menahan rasa tak karuan itu. "Kau, tau apa yang kuinginkan, Dokter Haniel." "Benarkah? Biar aku tebak dari bahasa tubuhmu." Jemari Haniel mulai menyapu pelan sisi luar paha mulus Ariana. Di sisi lain, aksi sang dokter sontak membuat sensasi tersengat hebat hingga sang puan mengigit kecil bibir bawahnya. "Kau ingin bicara tetang semalam?" tebak Haniel. "Memangnya kau tidak?" "Tadinya aku ingin, tapi wanita itu tanpa pamit dan hanya meninggalkan jejak ini." Haniel mengeluarkan ID mahasiswa milik Ariana yang tertinggal di kamar hotel. Seketika, Ariana terkesiap dan hendak merebut ID miliknya dari tangan Haniel. Sayangnya, usaha Ariana gagal karena sang dokter tidak berniat memberikannya. "Baiklah, maaf," sesal Ariana. "Aku hanya ... bingung karena itu pertama bagiku." Mendengar ucapan Ariana barusan, Haniel spontan merasa bersalah. Entah apa yang merasukinya malam itu. Yang jelas, selain gairah liar Haniel berkobar hebat, hatinya seakan merasa klik dengan Ariana. "Maaf. Aku seharusnya tidak—" CUP! Tanpa peringatan, saat sedang berucap maaf Ariana tiba-tiba mengecup bibir Haniel dan berkata, "Tak perlu minta maaf karena aku pun yang menginginkannya." Ariana lantas mendorong tubuh Haniel karena malu saat sang pria terlihat tercenung imbas serangan ke belah ranumnya barusan. Namun, tak sampai sepersekian detik, Haniel kembali meraih lengan Ariana yang hendak pergi dari ruangan tersebut–mengunci tubuh sang gadis. "Kau mau pergi setelah memancingku barusan?" tanya Haniel terdengar menggoda nan posesif. Pesona sang dokter spesialis kejiawaan itu memang tak main-main. Tatapan tajam matanya mampu membuat semua kaum hawa termasuk Ariana meleleh dan tak bisa berkata-kata lagi. "Kau harus mendapat hukuman, Ariana," tambah Haniel melayangkan senyum miring mempesona dan langsung menyerang balik melumat bibir merah delima milik Ariana. Keduanya kembali terlarut dalam irama pergulatan lidah yang nikmat dan candu. *** Malam hari. Bianca terlihat mondar mandir gelisah di ruang tengah dengan mengenakan baju tidur berupa atasan lingerie dan short pant sebatas paha. "Sayang, kau kenapa?" Luis yang baru saja pulang bertanya pada istrinya. "Aku menunggu kalian. Dimana Ari?" Mata Bianca menjelajah ke arah belakang Luis, berharap Ariana pulang bersama suaminya. "Tidak, Bi. Tadi sepulang magang Ari bilang akan hang out sebentar bersama teman baru." "Teman baru? Bukan pria, kan?" Luis menautkan kedua alis, sedikit kebingungan dengan sikap dan juga pertanyaan istrinya. "Sepertinya temannya wanita. Memangnya kenapa kalau pria, Bi? Kurasa Ariana memiliki beberapa teman pria juga." "Aku khawatir Ari digoda oleh pria lain." Bianca bertambah resah sementara Luis semakin kebingungan. "Hey, kenapa, Sayang? Ariana baik-baik saja. Saat diparkiran putri kita mengirim pesan jika dia sedang dalam perjalanan pulang." Bianca lantas menghela napas lega. Yang sebenarnya terjadi adalah Bianca kepikiran dengan proyeksi konyol masa depan dari seorang peramal di wahana theme park yang ia kunjungi beberapa hari yang lalu bersama Ariana. "Putrimu harus menanggung karma orang tuanya yang berjodoh karena bermain api dengan milik orang lain. Dia tidak akan sampai menikah dengan pasangannya yang sekarang. Hatinya tertakdir menginginkan milik orang lain." Begitulah sepenggal kata dari seorang peramal random yang kerap berkeliaran di kepala Bianca. Kegelisahannya semakin bertambah kala ia merasa Max dan Ariana sedang dalam fase pertengkaran. Tidak boleh. Akan kupastikan Ariana dan Max menikah. Max adalah calon terbaik untuk Ariana. Putriku tidak akan menanggung karma apapun dari perbuatan kedua orang tuanya, batin Bianca menggebu. "Max dan Ariana harus menikah, Lu," ujar Bianca secara tiba-tiba. "Uhm, ya, aku setuju. Kau tenang saja mereka saling mencintai, Bi." Luis lantas memeluk erat tubuh ramping istri tercinta dan tak lupa megusap punggung Bianca untuk menenangkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD