Malam itu, langit gelap mulai dihiasi bintang-bintang redup seakan menyaksikan perjalanan Ariana yang sedang menumpang mobil Zeyana, teman sesama psikolog.
Suara mesin yang halus dan musik lembut dari radio menciptakan atmosfer tenang, tapi pikiran Ariana sama sekali tak kunjung tenang. Matanya menatap kusyuk keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berlalu begitu cepat, sementara pikirannya melayang jauh—kembali ke momen manis yang baru sore tadi ia alami bersama Haniel, sang psikiater yang seharusnya hanya bertugas sebagai mentornya.
Bayang-bayang pertemuan mereka di ruang kosong yang mirip dengan ruang konsultasi pasien masih jelas terngiang di benaknya. Ruangan sepi dan hening itu menjadi saksi bisu pertemuan rahasia mereka. Obrolan intens yang seharusnya bersifat profesional, perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih ... intim.
Ariana masih bisa merasakan bagaimana Haniel mendekat, suara yang biasanya tegas dan penuh wibawa, berubah menjadi lembut, menggoda nan seksi. Percakapan mereka saling bersahutan dan tak lama, tiba-tiba semua menjadi panas. Adu lidah yang tak terduga, napas yang saling bercampur, dan tangan yang tak kuasa menahan sentuhan.
Chemistry keduanya mengalir natural tanpa embel-embel beban komitmen, seolah tak hanya sebatas melampiaskan gairah liar melainkan terselip hal lain yang membuat keduanya merasa saling nyaman satu sama lain.
Sayangnya, saat akan melangkah lebih jauh, suara gagang pintu yang diayunkan berulang kali membuat jantung Ariana dan Haniel berdegup kencang. Mereka berdua langsung terdiam, saling memandang dengan cukup panik. Haniel, yang biasanya begitu tenang, kali itu terlihat tegang.
"Kita harus berhenti," bisik Arina panik.
Haniel lantas mengangguk cepat, disertai wajahnya yang memerah. Mereka terpaksa harus berpisah dengan cepat, berusaha terlihat normal seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tapi, siapa yang bisa menipu diri sendiri? Getaran antara mereka nyata dan keinginan untuk melanjutkan masih membara.
Sebelum berpisah, Ariana berucap penuh harap, "Bolehkah aku meminta nomormu?"
"No need, Baby. I will call you," bisik Haniel tepat di telinga Ariana.
Tak lama kemudian, Ariana pun beranjak keluar ruangan menahan malu sekaligus sumringah berlebih, sedangkan Haniel masih menetap, tersenyum sipu pada keadaan.
"Ari!"
Seketika, suara Zeyana yang memanggil membuyarkan lamunan Ariana.
"Hmm?"
"Kita sudah sampai. Ini rumahmu, bukan?" tanya Zeyana sambil melirik kediaman mewah bernuansa putih di sisi kanannya.
Ariana lantas menghela napas, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya.
"Hmm, ya."
"Kau kenapa? Apa ada yang menganggu? Kau bisa ceritakan padaku," tawar Zeyana.
"Oh, Sh*t!" Saat akan menjawab, netra Ariana terkejut menangkap presensi kekasihnya, Max yang sudah menunggu di halaman.
"Siapa dia?" tanya Zeyana penasaran.
"Tunangan sialan yang berselingkuh dengan sahabatku."
Zeyana lantas menyingsingkan lengan baju berkata lantang, " apa perlu aku turun dan memberi pelajaran?"
Ariana pun terkekeh pada tingkat Zeyana. "Terima kasih, Zee. Kurasa tidak perlu karena aku bisa meng-handle nya."
Tak lama, Ariana keluar dari mobil Zeyana dan kendaraan besi milik Zeyana berlalu pergi.
"Baby." Max yang melihat Ariana datang sontak menghampiri dan hendak memeluk.
Namun, dengan cepat Ariana menepis aksi Max dengan menghindar.
Max sontak tersinggung dan mulai playing victim. "Ari aku tau aku salah lama meninggalkanmu di club kemarin, tapi aku kembali dan kau sudah tidak ada di sana. Seharusnya aku yang marah kau tak menjawab panggilanku sampai sekarang."
"What! Kau menyalahkanku? Kau menghilang satu jam lebih, Max. Sekarang beranikah jujur padaku kemana kau selama itu, hah?"
Mac seketika gugup, tak bisa menjawab. Otaknya seolah berpikir keras.
"Apa kau mencari pelampiasan saat kutolak?" Sementara Ariana terus menekan Max.
"Bi-bicara apa kau ini?"
"Hmm, anehnya Barbara pun ikut menghilang saat itu."
"Ari, kau berpikir berlebihan. Aku beneran merokok di luar dan tidak bersama Barbara."
Ariana menyipitkan kedua matanya dan lalu menskakmat Max. "Seingatku, aku tidak menuduhmu dengan Barbara?"
Max kembalibterserang gugup. "Uhm, maksudku disini kau jelas mencoba memlngaitkanku dengan Barbara. Aku tertekan dan tidak rela kau menuduhku ke arah sana."
Dasar b******n, sudah berkhianat sekarang malah manipulatif. Aku harus mulai berkonsultasi dnegan papa untuk memutuskan pertunangan dengan si b******k ini.
Perdebatan sengit pun masih terjadi di prlataran hingga akhirnya Bianca hadir untuk melerai.
"Ayo, Ari. Tidak baik berdebat di luar. Ayo Max. Tante kebetulan sudah menyiapkan makan malam."
Baik Max dan Ariana terpaksa meredakan emosi masing-masing dan manut pada perintah Bianca.
Beberapa saat kemudian.
Selesai mandi dan berbenah, Ariana terpaksa kembali ke ruang makan dimana Max dan mamanya sudah menunggu, sedangkan Luis belum hadir karena sedang menerima panggilan di ruang kerja.
"Ari, apapun yang terjadi antara kalian, Max benar-benar meminta maaf dengan tulus, Nak. Suatu hal yang wajar jika dalam hubungan terdapat perselihan." Bianca yang seolah mewaliki Max membuat Ariana cukup kesal. Gadis berambut panjang tergerai itu hanya bisa diam dan memilih menyantap makanannnya walau tak nafsu. Sementara Max menyunggingkan senyuman miring kemenangannya di seberang meja.
Ergh, andai mama tau apa yang sebenarnya terjadi.
TING!
Saat hati Ariana sedang menahan geram, sebuah pesan masuk dari seseorang seketika merubah mood-nya seratus delapab puluh derajat.
Can't get out of our last kiss.
From Haniel.
Yup, nomor tak dikenal yang nyatanya adalah Haniel sukses menabuh genderang kebahagian di da*a Ariana. Meski begitu sang gadis harus tetap menahannya walau hanya sekedar untuk tersenyum.
"Uhm, sepertinya aku sudah selesai makan, Ma. Besok aku harus magang pagi," tutur Ariana, memutuskan selesai makan dadakan.
"Ari, Max ada di sini," balas Bianca berharap putrinya menetap.
"Maaf, Ma. Kurasa aku belum mood berbicara tentang perselisihan. Malam semuanya."
Tanpa basa-basi lagi Ariana pun beranjak pergi dari ruang makan. Hal tersebut tanpa diketahui membuat hati Max geram karena diabaikan.
"Max, maafkan Ari untuk saat ini, ya. Mungkin dia kelelahan," tutur Bianca tak enak hati pada calon menantunya.
"Tak apa, Tante. Aku akan kembali besok menjemput Ari jika tidak ada halangan."
"Terima kasih, Max. Kau memang pria terbaik untuk Arina."
Di sisi lain.
Ariana tersenyum-senyum sendiri seraya membalas chat dari Haniel sembari berbaring di atas ranjangnya.
Balasan dari Ariana :
Dokter apa kau tau aku tadi sedang makan dan hampir tersedak saat kau mengirim pesan? But Fyi, aku pun merasakan hal yang sama😉
Dari Haniel:
Mau bertemu sebelum magang? Apartku hanya dua blok dari rumah sakit.
Balasan dari Ariana :
Apa itu udangan? Jika iya, aku akan datag pagi sekali.
Dari Haniel:
Yup, apart ku selalu terbuja untukmu mulai sekarang.
Setelah cukup lama bertukar pesan intens Ariana pun tertidur dengan hati berbunga, menantikan hari esok.
***
Keesekoan harinya, seperti yang sudah direncanakan, Ariana mengendap-endap berangkat pagi sekali. Saat akan menjalankan mesin mobil, Ariana menyempatkan mengirim pesan pamit pada mama dan papanya melalui pesan singkat.
Tak lama mobil sport itu melajut menuju apartamen Haniel di gedung Emerald lantai 10.
TING TUNG!
Ariana memencet bel dan pintu pun langsung dibuka oleh Haniel. Keduanya pun saling menyapa sipu disertai adu tatap kedua mata yang sebenarnya menyiratkan rasa rindu untuk saling bersentuhan.
Benar saja, tak lama Haniel meraih tubuh Ariana dan melumat belah ranum seraya menutup pintu apart.
Keduanya tak membuang waktu saling melampiaskan hasrat liar yang tertunda kemarin, saling berc*mbu liar dan mulai menanggalkan kedua helai benang masing-masing.
"Ahhh .... " Desahan ddan lenguhan nikmat mulai menguar bebas dari kedua insan saat melakukan berbagai macam gaya di aksi panas sedang berlamgsung.
Seperti yang sudah-sudah, keduanya seakan memutuskan chemistry yang terjadi mengalir natural, tanpa embel-embel komitmen atau sesuatu yang membebankan.
Hampir dua jam berlalu dan tiga ronde terlewati, Ariana dan Haniel tepaksa harus mengakhiri sesi panas kali ini karena jam sudah menunjukan pukul setengah delapan dimana mereka harus kembali ke ranah profesional setengah jam lagi.
"Maaf, tadi sangat ... liar," ungkap Haniel masih mendekap Ariana dalam posisi berbaring dalam satu selimut.
Mendengar hal tersebut, Ariana spontan mendongak. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Dok. The feeling is mutual."
"Terima kasih, Cantik. Kau sangat mengagumkan." Haniel mengecup kening Ariana denga lembut. "Kau ... tidak keberatan jika aku bersikap profesional sebentar lagi?" tanya Haniel membahas ranah pekerjaan.
"Tentu saja. Aku bukan calon psikiater manja, Dok. Tunjukan warna asli sang psikiater genius," balas Ariana yang bibirnya nyaris menyentuh bibir Hanirel hany untuk menggodanya.
Sementara itu sang dokter terlihat menahan napasnya. "Jika kau begini terus makan akan ada ronde selanjutnya dan kita akan bolos, Ari. Ayo, kita harus bergegas."
"Hehe, Sorry."
Beberapa saat kemudian.
Lain dengan sikap lembut di ranjang tadi pagi, Haniel membuktikan ucapannya yakni menjadi seorang psikiater sekaligus mentor profesional hingga waktu menjelang selesai magang hari itu.
Di sisi lain, Ariana benar-benar tak percaya dan masih terkagum pada cara Haniel menghandle pasien depresi. Dengan gelagat tenang dan mata teduh, Haniel mendengarkan setiap keluhan pasien dengan saksaama.
Setelah dirasa cukup Haniel mulai memainkan emosi dengan penetapan susgesti yang sungguh cerdas, seolah pasien adalah buku yang terbuka baginya—yang dapat dengan mudah Haniel baca.
"Woah, tak heran Dokter Haniel dijuluki psikiater jenius. Cara meng-handle pasien sangat mengagumkan, Ari." Tak hanya Ariana, Zeyana turut memuji dan mengakui kemapuan Haniel.
"Kau benar. Dokter Haniel memang pantas jadi panutan, Zee," imbuh Ariana sembari menahan sumringah berlebih karena tak sabar bertemu Haniel lagi.
"Sayangnya, sesempurna Dokter Haniel hanya bisa kita nikmati sebatas fans saja karena dia sudah menikah."
DEG!"
Langkah Ariana yang sedang berjalan di lorong saat ini spontan terhenti saat mendengar pernyataan Zeyana barusan.
"Me-nikah?"