Part 7
Tidak akan ada yang pernah menyadari kalau pada akhirnya kita tenggelam dalam sebuah permainan.
****
Aku dan kawan-kawanku terus menelusuri jalan yang kami anggap sesuai dengan peta. Namun, aku dan Lazuard merasa aneh karena kami berdua seharusnya berada di belakang dua teman kami yang lain. Tapi, anehnya kami tertinggal jauh dari mereka berdua. Seakan langkah kaki kami sejak tadi hanya berhenti di suatu tempat.
"Aku tidak tahu tepat atau tidak berkata seperti ini, Al. Kamu merasa tidak kalau tempat ini tuh aneh?" pertanyaan Lazuard membuatku menoleh ke arah lelaki yang berbicara berbisik-bisik padaku ini. Aku curiga jika Lazuard menyadari keanehan di sini. Pasalnya, sejak teguran tadi kami berdua jadi lebih diam dengan pikiran kami masing-masing. Jujur, aku jadi lebih percaya kalau tempat ini memang ada sesuatu. Seperti ada sebuah teka-teki yang harus kita tebak supaya bisa keluar dari sini. Dan teka-teki itu masih aku kumpulkan sebagai buktinya.
"Aneh bagaimana?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Tidak jadi deh. Lain kali saja." mendengar pernyataan Lazuard aku malah menatap wajahnya dengan serius. Kali saja lelaki di sampingku ini terintimidasi dan bisa mengatakan dengan jujur.
"Jelaskan saja, bisa jadi yang kamu pikirkan sama dengan yang ada di pikiranku." aku berharap dengan memancing Lazuard seperti ini, aku akan tahu apa yang tengah lelaki itu pikirkan.
"Saat kita lewat tadi, kita tidak sengaja melihat sebuah makam. Kamu pernah berpikir tidak? Apa yang kamu alami dan makam yang kita lihat tadi itu berbeda?" tanya Lazuard dengan suara lirihnya, seakan dia tahu tidak boleh seorang pun selain aku, mendengar percakapan ini.
"Maksud kamu berbeda di mana?" tanyaku. Sebab aku sudah tahu jawabannya. Beda yang di maksud oleh Lazuard adalah jawaban dari kecurigaanku selama di sini.
"Waktu kita masuk ke hutan ini, jalan gelap yang kita temui kan? Lalu, tiba-tiba kita di sambut dengan mayat kedua orang tua kamu yang sangat buruk. Secara medis saja, mayat yang hilang bertahun-tahun pasti akan jadi tulang, tapi kenapa bisa dalam bentuk mayat yang maksudku itu ya seperti mayat baru gitu. Kamu mengerti kan maksud aku?" tanya Lazuard padaku.
"Itu lah kenapa saat aku menemukan mayat mereka aku diam saja, karena aku tahu pasti ada orang lain yang ingin kita berdebat panjang. Makanya, aku bersyukur saat Aristide menahan kita semua untuk bertanya. Mungkin saja jawabannya akan sama seperti yang kamu pikirkan saat ini," kataku mencoba untuk membuat semua berjalan sebagaimana mestinya. Aku tidak mau karena kesadaran Lazuard malah menempatkan kita nantinya pada suatu hal yang tidak diinginkan. Aku tidak mau perjalanan menemukan jawaban surel kami malah jadi perjalanan pertumpahan darah. Ada baiknya, nikmati saja yang ada saat ini dengan begitu perlahan-lahan kita semua akan tahu kebenaran dari semua ini.
"Maaf untuk kejadian wak--"
"Untuk apa minta maaf? Bukan kesalahan kamu juga. Semua punya hak menghakimi siapa tapi ada baiknya tahan diri saja. Karena, kita di tempat orang lain, kita tidak tahu apa yang terjadi di sini kalau kita salah langkah." jawabanku mengakhiri percakapan aku dan Lazuard. Entah kenapa sejak perbincangan tadi, aku merasa ada seseorang yang mengawasiku. Sejujurnya bukan hari ini saja. Sejak aku masuk ke dalam hutan ini, aku merasa ada yang terus mengawasiku.
"Dari semua itu, aku malah penasaran ke mana wanita yang pertama kali kita temui. Kamu sadar tidak? Setiap langkah kaki kita, kita tidak pernah menemui dia. Jangankan dia, Red City yang kita cari saja tidak ketemu-ketemu. Lelah rasanya. Kalau bukan karena ingin tahu jawaban dari alasan aku ke sini, lebih baik aku kembali ke tempatku." aku menoleh pada Lazuard dengan sebuah senyuman.
"Kalau aku jadi kamu, apa pun kondisi saat ini akan aku terima selama aku dapat jawaban dari surel," kataku membuat Lazuard menganggukkan kepalanya.
"Demi jawaban tujuan kita di sini, kita harus semangat. Kit--"
"Teman-teman, sepertinya kita salah jalan." perkataan Aristide membuat Lazuard menghentikan perkataannya, begitu juga denganku. Tebing besar menyambut kami semua. Bahkan di sekitarnya seakan tidak terlihat kehidupan sama sekali. Hanya pepohonan lebat yang terlihat di sini. Serta suara burung yang menyapa satu sama lain, seakan menambah kesan mencekam suasana hari ini. Dibandingkan tebing hitam tersebut, aku tidak sengaja bersitatap dengan sosok bertudung hitam. Sosok yang aku temui waktu itu. Sosok yang keberadaannya aku pertanyakan. Apa mungkin sosok tudung hitam tersebut adalah wanita yang kami temui? Atau malah sosok lain yang sebenarnya menjadi sumber utama jawaban kami semua? Aish.. kenapa seribet ini, sepertinya membunuh orang di medan perang lebih seru dibandingkan bermain teka-teki seperti sekarang ini.
"Salah jalan apa?! Ini sudah benar. Ini sudah sesuai dengan apa yang ada di peta. Sudah lah Aristide lebih baik kamu diam saja! Aku yakin, dibalik tebing ini ada jawabannya. Atau bisa saja tempat yang kita tuju ada di sekitar sini. Jadi, kamu diam saja dan cari tempat itu!" Matteo berteriak dengan keras sambil memerintahkan Aristide. Aku yang mau membantunya malah di tahan oleh Lazuard.
"Matteo lagi ada di titik emosi, kamu jangan ikut campur. Entah apa isi surel, karena Matteo yang paling ingin cepat sampai ke sana." perkataan Lazuard membuatku terdiam.
Memang benar, alasan dari tujuan kami di sini bisa saja membuat kami menjadi hilang pikiran bahkan sampai membuat orang lain menderita. Itulah kenapa aku selalu tidak peduli kalau di marahi oleh Matteo atau yang lain. Karena aku yakin kemarahan bukanlah jawaban dari segala hal yang kita hadapi saat ini.
"Kalian berdua juga! Kalau kalian jalannya tidak seperti siput kita tidak akan sampai di sini malam hari! Kamu juga Alkas, kenapa si kehadiran kamu di sini tidak bermanfaat sama sekali, coba bantu kami! Kenapa harus kita bertiga saja yang memikirkan jalan di sini!" aku menarik nafas saat giliranku yang kena sasarannya.
"Mohon maaf, Tuan Matteo yang terhormat. Apa sejak kedatangan kita semua ke sini kamu mengizinkan kita berpendapat? Kamu hanya terpaku pada peta yang katanya akan menunjukkan jalan ke tempat yang kita tuju, bahkan kamu tidak mendengar masukan Aristide. Sekelas Aristide saja kamu tidak mau menerima masukan, apalagi sekelas aku yang hanya prajurit rendahan yang bukan apa-apa aku han--"
"Banyak bicara!!!" Matteo berteriak kembali dan kali ini menyerangku dengan pukulan yang sangat keras. Pukulan yang sangat terasa di wajahku saat ini. Baru saja aku mau bangkit dari tempatku terjatuh, Matteo tiba-tiba kembali menyerangku, bahkan sampai menendang perutku membuat aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Jujur, aku bukannya tidak berani membalasnya. Aku hanya tidak mau berkelahi hanya karena alasan yang tidak masuk akal. Ayah dan Ibuku mengajarkan aku dengan sangat baik akan hal ini, begitu juga didikan saat menjadi prajurit putri kerajaan. Di sana kita harus bisa mengendalikan emosi serta mengambil keputusan dengan sebagaimana mestinya. Tidak dengan kekerasan yang sebenarnya sangat tidak etis di lakukan oleh seorang prajurit pangkat tertinggi di sini. Sebab seorang prajurit yang memiliki pangkat tinggi harus bisa memberikan contoh yang baik untuk anak buahnya.
"Apa dengan kamu memukuliku, pintu kediaman kota itu akan menyambut kita?" pertanyaanku ternyata membuat Matteo terpancing kembali dan hampir memukuliku, namun tertahan oleh Aristide.
"Dasar prajurit rendahan! Sini kamu!!!" teriak Matteo yang seakan ingin membunuhku saat ini.
"Sudah Matteo! Ada baiknya kita coba berpikir tenang. Mungkin saja kamu ada salah membaca peta yang kamu miliki dan ada baiknya sekarang di buka saja petanya, supaya kita semua bisa melihat dengan jelas peta tersebut, dengan begitu kita semua bisa saling memberikan masukan satu sama lain." perkataan tenang Aristide membuat Matteo melepaskan dirinya dan melempar gulungan kertas ke arahku yang tentu saja dengan sigap aku tangkap meskipun perutku sakit saat ini.
Peta yang selama ini hanya dilihat oleh Matteo pada akhirnya kita bisa lihat. Dengan rasa sakit di tubuhku, aku berusaha fokus dengan apa yang ada di depanku.
"Dari mana kamu mulai perjalanan kita?" Tanya Lazuard pada Matteo.
"Tentu saja dari sini!" omel Matteo sambil menunjuk sebuah jalan yang kita lalui untuk sampai masuk ke dalam sini.
"Jika aku lihat peta ini, semua memang benar jalannya ke arah sini. Cuma masalahnya di mana kota itu? Kalau pun ada, pasti tanda-tanda kehidupan di sekitarnya sudah kita rasakan bukan? Tapi ini tidak ada sama sekali. Jadi, itu artinya bisa saja peta ini bohong atau peta ini hanya jebakan," ujar Lazuard menjelaskan pada kami semua. Aku yang masih membaca peta ini seketika punya ide. Entah apakah di terima atau tidak, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan? Tapi, melihat Matteo menatapku dengan tatapan tajamnya lebih baik aku urungkan saja. Karena ideku hanya simpel, tinggal balik arah saja dan coba dengan jalan yang berlawanan peta.
"Kamu pikir ini film! Tidak ada jebakan di sini dan jawaban yang ada di peta ini benar adanya!" semprot Matteo kembali.
"Kalau benar adanya, kenapa kita selau tehenti di tempat yang aneh-aneh? Apa mungkin kita dijadikan kelinci percobaan?!" Lazuard membalas dengan nada tingginya. Mungkin lelaki itu juga sudah lelah dengan keadaan di sini, makanya sekarang berani brontak.
"Gila! Tidak mungkin lah! Kamu pikir ini dunia animasi atau dunia film yang kalian saksikan?! Jangan jadi manusia bodoh! Kalian ini prajutit atau bukan hah?! Jangan ikuti jejak Alkas yang bodoh sejak lah--"
"Bagaimana kalau kita balik. Jadi, semua yang ada di peta ini kita lakukan berlawanan. Seperti halnya dari awal. Yang jadi masalah saat ini, kita harus kembali ke tempat sebelum kita nentukan arah dan tiba di sini. Kita mulai saja dari sana. Karena kalau kembali ke tempat awal aku rasa tidak mungkin, karena pasti akan sulit." penjelasan Aristide membuat aku tersenyum. Sekaligus membungkam omelan Matteo padaku. Ternyata Aristide memiliki pemikiran yang sama denganku. Syukurlah jika memang seperti itu.
"Terserah kalian semua! Kalau dengan cara kalian masih tidak menemukan jalan. Satu-satunya adalah lewati tebing tinggi ini! Dan aku tidak mau menerima penolakan sama sekali, termasuk dari prajurit rendahan seperti kamu!" Matteo menujuk wajahku yang hanya aku balas dengan senyuman.
Kita lihat saja nanti. Akankah kita manjat tebing atau malah kita sudah temukan tempatnya. Dasar manusia pemarah!
****