Keesokan paginya, Lina disibukkan dengan menyiapkan sarapan. Dia membuat nasi goreng sederhana dengan sosis goreng dan telur mata sapi yang dibentuk hati.
Saat melihatnya, Brian tertegun. Matanya tampak berkaca-kaca melihatnya. Tangannya mengepal erat.
"Kenapa tidak dimakan? Kamu tidak suka?"
"Suka." Brian mengambil sendok, lalu mulai menyantap nasinya.
Lina tersenyum lega. Hampir saja dia hendak mengganti menu. Setelah yakin Brian menikmati nasi gorengnya, diapun menyiapkan sarapannya sendiri. Namun, ketukan di pintu membuatnya menoleh.
Siapa pagi-pagi begini bertamu?
Lina meletakkan nasinya dan berjalan keluar. Keningnya sontak mengernyit melihat Jason berdiri di sana.
"Pak Jason?"
Jason tersenyum. Dia merasa sedikit tidak enak karena bertamu pagi-pagi begini. Namun, dia terus memikirkan Brian sejak semalam. Alhasil, dia menyewa sebuah kamar di hotel terdekat. Itulah sebabnya kenapa dia sudah berada di sini pagi ini.
"Brian sudah bangun?"
Lina mengangguk. "Sudah, Pak. Dia sedang sarapan."
Jason mengintip ke dalam. Melihat putranya sedang sarapan, Jason merasa tenggorokannya mengering.
"Bapak mau masuk?"
"Iya." Jason melepas sepatunya dan berjalan masuk.
Lina hanya bisa menatap punggung yang lebar itu berjalan melewatinya. Sebenarnya, dia hanya berbasa-basi, tapi bosnya tampak nyaman.
"Kamu sudah menyiapkan sarapan untuk aku? Terima kasih ya." Wajah Jason tampak berbinar melihat piring kosong di atas meja yang berisi nasi goreng, telur mata sapi, dan lalapan. Tidak lupa, segelas teh dan s**u.
"Kenapa papa ke sini lagi?" Wajah Brian tampak ketus dan tidak sedap dipandang mata.
"Putraku ada di sini. Tentu saja aku juga harus di sini. Memangnya aku harus ke mana lagi?"
Brian mencebik. Papanya ini suka sekali mengganggu waktunya bersama Kak Lina.
Jason tidak menggubris putranya. Pria itu segera duduk dan mengisi piringnya dengan menu yang ada. Saat mengambil telur, dia baru menyadari jika bentuknya hati. Tangannya berhenti sejenak.
Dalam hati, Lina sudah merasa sedikit senang. Namun, senyumnya berubah kaku saat Jason tetap mengambilnya dan bahkan langsung menggigitnya.
Rahang Lina sontak jatuh.
"Papa, itu punya Kak Lina!" seru Brian.
"Tidak, nasi goreng ini terlalu banyak untuk dianhabiskn sendiri. Lihat, telur mata sapinya juga ada dua dan masih banyak sosis goreng. Lina memang sudah menyiapkannya untukku."
Satu alis Lina terangkat. Sebenarnya, dia sengaja memasak agak banyak untuk bekal makan siangnya dan Siska. Tidak pernah terpikir kalau Jason akan menumpang makan di sini. Intinya, dia tidak mengharapkan kedatangan Jason!
Sungguh, Lina tidak menyangka jika pemimpin perusahaan, yang katanya acuh dan profesional, ternyata juga memiliki wajah yang tebal.
Dengan terpaksa, Lina mengambil piring yang lain. Sambil mengunyah, Lina melirik Jason dan Brian. Dua tamunya itu menikmati sarapan dengan tenang dan lahap.
Hidung Lina terasa masam. Dia teringat dengan anaknya yang sekarang entah berada di mana. Jika saja waktu bisa diputar, Lina lebih memilih untuk menjadi istri siri. Setidaknya, dia bisa tahu s****a siapa yang disuntikkan kepadanya, mengenal siapa ayah anaknya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Yang bisa dia lakukan adalah terus hidup dengan baik dan bahagia. Selain itu, dia juga selalu berdoa agar suatu saat Tuhan berbaik hati memberinya kesempatan untuk bisa bertemu dengan anak kandungnya dan memberikan sepuluh milyar miliknya.
Ya, uang bagian kedua yang dikirim ke rekeningnya tidak pernah dia gunakan. Belum sempat dia belanjakan, ibunya sudah meninggal. Setelah itu, Lina memutuskan untuk berinvestasi menggunakan uang itu, memasukkannya ke obligasi dan akan memberikannya kepada anaknya. Jika mereka tidak bertemu sampai akhir, maka Lina akan menyumbangkannya ke panti asuhan.
Lina tersentak merasakan sentuhan di tangannya. Dia menoleh. Matanya bertemu dengan mata Jason yang memabukkan. Untuk pertama kalinya, Lina bisa melihat dengan jelas keindahan itu. Tuhan sungguh Maha Kuasa, mampu menciptakan hal rumit, kecil, namun mampu membuat jiwanya melayang.
"Kak Lina, kamu memikirkan apa?"
Suara Brian membuat Lina menoleh. "Hah? Oh, bukan apa-apa. Aku hanya sedang mengingat tugas-tugasku hari ini. Ayo habiskan!"
Setelah sarapan selesai, Jason mengajak Lina untuk berangkat bersama. Awalnya, dia ingin menolak. Namun, mengingat jika nanti Brian akan kembali dititipkan kepadanya, Lina akhirnya setuju.
Sepanjang perjalanan, Brian terus menempel kepada Lina, bercerita dan sesekali bertanya. Brian seolah lupa jika ada ayah kandungnya di dekatnya. Seluruh atensinya hanya terfokus pada perempuan dewasa di sampingnya.
Lina menjawab dan menanggapi ocehan Brian dengan sabar. Dua orang ini bertingkah seolah hanya ada mereka berdua di Salma mobil.
Jason melirik. Meskipun suasana cukup berisik, tapi dia sama sekali tidak marah. Melihat tingkah Brian dan Lina, sudut hatinya merasa hangat.
---
Setelah melewati istirahat siang bersama Siska di kantin, Lina pergi ke pusat toko batik di tengah kota.
Dia segera melangkah masuk dan mencari batik berwarna merah dan berlengan panjang. Setelah beberapa saat, dia akhirnya menemukan sesuatu yang cocok untuk bosnya.
Lina mengangkat batik lengan panjang dengan motif batik tulis sutra halus. Dia membayangkan betapa memukau Jason dengan kemeja batik ini. Diapun membawanya ke kasir.
Seorang perempuan cantik baru saja menyelesaikan p********n saat Lina mengantri. Dia tidak begitu memperhatikan. Hanya bisa menangkap kulit putihnya yang lembut dan bercahaya. Dan yang paling diingat Lina adalah wanginya.
Setelah menyelesaikan p********n, Lina ke kantor dengan sebuah tas di tangannya.
Tiba di lantai atas, Lina menyimpan tas belanjaannya itu di dalam laci dan berencana untuk memberikannya kepada Jason saat dia akan menjemput Brian.
Lina duduk di kursinya dan kembali tenggelam dalam pekerjaan.
Pukul tiga sore, alarm ponsel Lina berbunyi. Dimatikannya alarm tersebut, mengambil tas berisi kemeja batik, dan berdiri untuk menyerahkannya kepada Jason.
Suara stiletto berbunyi nyaring di sepanjang koridor.
Lina menoleh dan melihat seorang perempuan cantik keluar dari dalam lift. Lina mengernyit. Dia tidak pernah melihat wajah ini sebelumnya.
Tubuhnya tinggi. Kakinya ramping dan panjang. Dengan pinggul tipis dan tubuh menonjol di beberapa bagian, dia seperti boneka Barbie berjalan.
"Alan, apakah Jason di dalam?"
Suaranya bahkan terdengar lembut dan empuk, seperti marshmellow.
"Nona Michelle? Sudah lama anda tidak berkunjung."
"Ya, ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa aku runda atau wakilkan. Jason ada?"
Alan langsung mengangguk. "Iya, Nona. Mari saya antar."
Alan berdiri dan mengantarkan ke ruangan Presdir. "Lina, kamu juga mau bertemu Pak Jason?" Jason melihat Lina berdiri di dekat pintu Jason.
"Iya," jawabnya.
"Dia anak baru?" Michelle menunjuk ke arah Lina.
"Iya, Nona. Dia asisten Pak Jason."
"Jason mengangkat seorang asisten perempuan?" Michelle menatap Lina dari atas hingga bawah.
Tidak lebih cantik dari dirinya, tapi asisten baru ini memiliki wajah menarik yang sulit untuk dilupakan begitu saja.
Michelle tidak mengucapkan satu katapun. Dia hanya mengangguk dan meneruskan langkahnya.
Alan mengetuk pintu, dan saat Jason mengijinkan, Michelle masuk begitu saja, meninggalkan Alan dan Lina yang terbengong.
Lina sontak menoleh kepada Alan. Sekretaris Jason itu hanya tersenyum kecut. "Dia Nona Michelle. Kabar mengatakan jika nona Michelle dan Pak Jason akan segera bertunangan."
Lina mengernyit. Wajahnya masih dipenuhi pertanyaan.
"Memang tidak banyak orang yang tahu. Nona Michelle berasal dari salah satu keluarga terkaya. Jadi, hubungan mereka sengaja disembunyikan," tambah Alan.
Lina mengangguk dengan bibir dibulatkan. Dia akhirnya mengerti.
"Jason, kamu tidak lupa kalau malam ini undangan Pak Hengky, 'kan?"
Michelle duduk di sofa dengan tenang dan anggun dengan mata yang terus menatap Jason. Wajahnya dipenuhi dengan binar kebahagiaan.
Jason yang sedang sibuk dengan laptopnya sontak mendongak. "Tidak, aku ingat. Kenapa?"
Jason bangkit, berjalan ke meja bar, dan mengambil satu botol air mineral untuk Michelle.
Michelle menerimanya dengan suka cita. "Baguslah, aku takut kamu melupakannya. Kamu terlalu sering melupakan undangan seperti ini."
"Tidak, kali ini aku ingat."
"Dresscode malam ini batik. Aku membelikan sesuatu untukmu. Lihatlah! Kamu pasti menyukainya." Michelle mengangkat tas yang sejak tadi dia pegang.
Jason melihat logo yang tertera. "Ini pasti mahal. Kenapa kamu membelinya? Lebih baik uangnya kamu simpan."
"Ini tidak mahal sama sekali. Bukalah!"
Jason menerima tas tersebut dan membukanya. Diambilnya kemeja batik. Saat dia mengangkatnya, dia bisa melihat kualitas kemeja itu yang luar biasa.
Jason menghela nafas. Wajahnya terlihat tidak bahagia.
"Jangan menolak! Kamu harus memakainya malam ini. Aku juga sudah membeli gaun dengan motif yang sama."
Jason tidak bisa menolak. Michelle cukup keras kepala. "Baiklah, aku akan memakainya."
Jason berdiri untuk menyimpan kemeja itu di ruang pribadinya. Saat berbalik, dia melihat Lina di depan pintu.
"Ada apa, Lin?"
"Saya hanya ingin menyerahkan ini, Pak." Lina masuk dan meletakkan tas belanjaannya di atas kursi, lalu pamit keluar.
Lina memang mendengar apa yang diperbincangkan presdirnya dengan tamu cantik itu. Memang, Lina merasa sedikit tidak nyaman. Namun, dia tidak akan berkomentar. Dia hanya menjalankan tugas. Selebihnya, semua terserah pada Jason.