"Panggil pegawai baru itu ke kantorku!" Jason memerintah sekretarisnya begitu dia duduk di kursinya.
Alan mengernyit. Ini masih Senin pagi. Kenapa bosnya ingin bertemu karyawan baru? Dia mencoba menerka siapa pegawai baru yang dimaksud, tapi dia tidak memiliki gambaran apapun.
"Dia anak finance. Aku tidak tahu namanya," sambung Jason.
Jason memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Bagaimana mungkin dia tidak tahu nama gadis yang sudah mengundangnya dan memberinya makan? Tiba-tiba saja, dia merasa seperti seorang b******n.
"Baik, Pak." Alan keluar dan kembali beberapa saat kemudian. "Maaf, Pak. Ada dua anak baru di finance. Yang mana?"
Alan menyerahkan dua berkas kepada Jason.
"Ini." Jason menunjuk foto Lina. "Panggil dia kemari!"
"Baik, Pak."
Alan keluar dengan otak dipenuhi tanda tanya. Tidak pernah bosnya itu mengurusi anak baru. Itu terlalu remeh. Pasti Lina ini telah melakukan sesuatu di luar dugaan.
Dia begitu penasaran apa yang sudah dilakukan pegawai baru itu hingga Jason ingin menemuinya langsung. Apa kira-kira?
Alan meraih telepon dan menghubungi Deri. "Pak, tolong beri tahu Lina untuk datang ke lantai atas. Terima kasih."
Alam menutup panggilannya begitu dia selesai mengatakan tujuannya, menyisakan Deri dalam syok.
Manajer finance itu menoleh ke belakang. Lina sedang di sana, bekerja dalam diam dan tekun. Rambutnya yang sebahu jatuh ke depan saat dua menunduk. Lalu, Lina akan menyelipkannya ke belakang telinga.
Ragu-ragu, Deri mendekati anak buahnya, lalu berkata dengan suara pelan, "Lin, aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi. Kita bahkan baru kenal kemarin. Aku juga belum mengisi lembar penilaian karyawan."
Kening Lina berkerut. "Mas Deri ini bicara apa? Saya tidak mengerti."
Deri menatap iba pada Lina, menghela nafas, lalu melanjutkan, "Kamu disuruh menghadap Pak Jason."
Lina terkesiap. Akhirnya saat inipun tiba. Berbagai pikiran berkecamuk. Semalam, mereka memang makan di meja yang sama, tapi sebelum itu, Brian pergi dengannya tanpa pamit. Saat Jason datang, dia bisa melihat jika bos besarnya itu sedang marah.
Pikiran Lina berkecamuk. Namun pada akhirnya, dia memasrahkan diri. Jika memang dia ditegur, Lina tidak akan membantah. Siapa yang bisa mempercayakan anaknya pada orang yang baru mereka kenal?
Lina menghela nafas, lalu berjalan keluar.
Ruangan finance sontak dipenuhi dengan gumaman saat Lina keluar. Mereka semua berspekulasi. Sebagian besar merasa iba. Sebagian yang lain, menganggap Lina aji mumpung dan ingin menggoda bos besar.
Samar-samar, Lina mendengar semua itu. Namun, dia tidak menghiraukannya. Biarkan saja mereka berbicara apa.
Tiba di lantai atas, Lina melihat seorang pria duduk di depan kantor CEO.
"Kamu yang bernama Lina?" tanya Alan.
Lina mengangguk.
"Ketuk dulu ya. Kalau sudah ada ijin, baru boleh masuk."
"Terima kasih, Pak."
Lina mengetuk pintu dan langsung terdengar sahutan dari dalam. Lina pun membukanya.
"Permisi, Pak." Lina tidak berani menatap wajah petinggi perusahaan. Dia hanya menunduk, siap menerima apapun hukuman.
"Namamu Lina?" Suara Jason serak dan merdu secara bersamaan.
Lina ingin mengintip pria tampan, tapi dia menahannya. Dihembuskan nafasnya perlahan, lalu mengangguk. "Iya, Pak."
"Duduklah dulu!"
Lina menurut. Dia melangkah menuju kursi di depan meja Jason dan duduk.
Jason menatap perempuan di depannya. "Lina, aku minta maaf jika Brian sering merepotkanmu."
Lina sontak mendongak. "Tidak, Brian adalah anak yang lucu dan menggemaskan. Dia cukup pintar dan ada banyak hal membuatnya tertarik. Sama sekali tidak merepotkan."
Jason tersenyum tipis. Wajahnya yang tampan tampak seratus kali lebih tampan. Matanya juga terlihat lembut.
Lina merasa matanya mendapatkan berkah bisa melihat keajaiban Tuhan sedekat ini. Bagaimana bisa ada seorang pria yang tidak hanya memiliki wajah yang tampan, tapi juga kulit yang bersih dan berkilau?
Lina membandingkan dengan tangannya. Meskipun tidak gelap, tapi tetap saja tidak seputih milik Jason.
Lina menghela nafas. Sungguh perbandingan yang kontras. Yang satu naik mobil setiap saat dan yang satu naik motor setiap saat. Tentu saja hasilnya berbeda.
"Aku merasa lega kalau kamu berpikir seperti itu. Aku sempat merasa tidak enak karena putraku terus menempel padamu. Dia bahkan merengek minta diantar ke rumahmu hari Minggu kemarin. Aku terpaksa berbohong dan mengatakan kalau kamu sedang ada tugas ke luar kota." Jason berdecak, tidak mengerti kenapa Brian suka sekali dengan gadis ini.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga senang." Lina tersenyum. Matanya tidak lelah menatap Jason. Saat ini, di matanya, Jason tampak seperti seorang ayah pada umumnya yang sedang mengeluhkan tingkah anaknya. Pria itu tampak lebih manusiawi, tidak kaku atau acuh seperti yang dibicarakan orang-orang.
"Kalau begitu, kamu tidak keberatan kalau aku meminta kamu menjemput Brian sore ini? Jujur saja, aku sudah kehabisan akal untuk membujuknya. Dia terus minta bertemu denganmu."
"Tapi, saya pulang jam lima, Pak. Brian pulang jam berapa?"
Lina tercengang. Pertanyaan ini seperti mereka adalah pasangan yang sedang berdiskusi siapa yang akan menjemput anak mereka.
Seketika itu juga, Lina merasa hawa dingin merayap dari ujung jarinya hingga menuju perutnya, menggelitiknya seperti ada semut-semut di sana.
Lina sontak berdehem untuk menghentikan sensasi itu. Bahaya! Tidak seharusnya dia memiliki pemikiran aneh seperti itu!!
"Aku akan menelepon manajermu, jadi kamu tidak perlu khawatir."
"Tapi, Pak..."
"Ada apa?"
"Saya masih baru di sini. Tidak enak kalau tiba-tiba Bapak menghubungi Pak Deri untuk saya. Apa nanti ya g dipikirkan pegawai lain?"
"Kamu benar juga." Jason mengetukkan jarinya ke atas meja.
Huft, masalah Brian ini cukup membuat rumit.
"Begini saja. Kamu saya angkat jadi asisten. Saya lihat nilai kamu cukup mumpuni. Selain itu, kamu juga punya pengalaman berorganisasi. Seharusnya itu bukan masalah besar. Bagaimana?"
"Bapak yakin?"
Jason mengangguk tanpa ragu. Dengan Lina menandai asistennya, dia memiliki seseorang untuk menjaga Brian sekaligus membantunya memantau laporan-laporan yang berhubungan dengan keuangan. Sementara Lina akan mendapatkan gaji dan bonus yang sesuai. Bukankah ini win-win solution?
"Benefit yang kamu peroleh juga akan menyesuaikan. Jangan khawatir! Oke? Deal ya? Saya akan menghubungi HRD sekarang. Kamu bisa kembali."
Jason memberi isyarat tangan dan Lina segera berdiri.
"Baik, Pak. Terima kasih." Lina sedikit membungkuk.
"Tidak perlu seperti itu. Oh iya, ini kamu pegang." Jason menyerahkan sebuah kartu kepada Lina. "Siapa tahu Brian ingin membeli sesuatu. Aku sudah memberinya satu kartu. Yang ini untuk berjaga-jaga saja. Siapa tahu anak itu ingin dimasakkan sesuatu."
Sebenarnya, kalimat terakhir itu dari hatinya sendiri. Setelah merasakan masakan Lina, dia jadi membayangkan bagaimana jika pegawainya ini memasak menu lain; ikan bakar misalnya, atau olahan kerang.
Lina awalnya ragu, tapi mengingat betapa rakusnya Brian dan Jason, dia tidak ragu untuk menerimanya. Dengan begini, dia bisa memasak apapun untuk bocah kecil itu.
"Terima kasih, Pak. Nanti saya tanyakan Brian ingin makan apa."
Jason mengangguk. "Kamu boleh pergi."
Kabar Lina yang diangkat menjadi asisten tersebar dengan cepat. Kasak-kusuk itu ramai diperbincangkan. Mereka yang satu divisi dengan Lina langsung bertanya dan Deri menjawabnya dengan objektif, menunjukkan hasil tes Lina juga prestasi-prestasinya.
"Kita sudah bukan teman meja," gerutu Siska.
Dua perempuan itu sedang duduk bersama di kantin.
"Kita masih bisa makan siang bersama. Jangan bicara seolah aku pindah kantor."
"Tapi sudah tidak ada lagi camilan kerja."
Ya, selama ini, Lina sering membawa makanan ringan untuk camilan saat bekerja.
Lina hanya tertawa mendengarnya.
Tidak lama kemudian, Maria ikut bergabung dengan mereka.
"Selamat ya, Lin. Kamu hebat bisa jadi asisten Pak Presdir. Tapi hati-hati lho."
"Kenapa, Mbak Mar?" tanya Siska penasaran.
"Selama ini, Pak Presdir itu suka kerja dan sangat profesional. Maksudku, dia sangat amat profesional." Maria menekankan setiap kalimatnya dan wajahnya sangat serius.
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja, jangan sampai kamu ketahuan pacaran atau berbalas pesan dengan pacarmu saat jam kerja. Jangan pakai perhiasan berlebih atau make up komplit. Pokoknya, profesional. Makanya, hanya Pak Alan yang bertahan jadi sekretarisnya."
"Memangnya dulu ada sekretaris perempuan?"
"Ada. Tapi cuma tiga bulan. Lalu ganti lagi, malah bertahan satu bulan. Setelah itu, Pak Jason hanya ingin sekretaris laki-laki."
Siska meneguk ludahnya. "Sepertinya, pekerjaanmu semakin berat," ucapnya pada Lina.
---
Pukul tiga sore, suara alarm dari ponsel Lina terdengar. Dia segera membereskan mejanya. Dia ingat jika Brian pulang pukul empat. Jadi, sebelum itu, dia harus sudah siap di depan sekolah.
Baru saja dia hendak memasukkan ponsel, dia melihat sebuah pesan masuk.
[Belum berangkat?]
Lina mengernyit. Dia tidak mengenal nomor yang tertera. Jadi, perempuan itu tidak ambil pusing. Namun, pesan yang lain segera masuk.
[Kenapa pesan saya hanya dilihat dan tidak dijawab?]
Deg!!!
Lina merasakan jantungnya berdebar. Siapa yang sedang memata-matai dirinya?
Lina sontak mendongak dan matanya langsung bertubrukan dengan dengan milik Jason.
Meja Lina berada di samping meja Alan. Jadi, Jason bisa melihat mereka dengan jelas.
Lina tersenyum kaku, lalu cepat-cepat membalas.
[Iya, Pak. Saya berangkat sekarang.]
Setelah itu, Lina segera menyimpan ponselnya dan turun. Sopir yang biasa menemani Brian sudah menunggunya di bawah.
Perjalanan dari kantor menuju sekolah Brian memakan waktu tiga puluh menit. Lina tiba di sana dan lima menit kemudian, terdengar bel berbunyi panjang.
Anak-anak berlari keluar. Lina memperhatikan mereka satu persatu, tapi tidak juga melihat wajah lucu yang dia kenal. Hingga saat mulai sepi, Lina akhirnya melihatnya.
Brian tampak lelah dan tidak bersemangat. Pipinya yang bulat tampak kemerahan dan matanya yang layu.
Lina merasa hatinya tercubit. Apa yang sudah terjadi? Kenapa Brian tampak lesu?
"Brian!!"
Brian uang sedari tadi hanya menunduk, sontak mengangkat wajahnya. Dan wajah suram itu menghilang, tertutupi oleh senyum bahagia.
"Kak Lina?"
Brian berlari kencang. Tiba di depan Lina, dia segera menggandengnya. "Kak Lina yang jemput aku? Kenapa? Apa karena kemarin kita tidak bisa bertemu jadi kamu merindukan aku?"
Lina terkekeh. "Iya, aku rindu."
"Kata papa kak Lina pergi keluar kota kemarin. Ke mana? Apakah tugasnya sudah selesai? Apa kak Lina akan lembur? Oh iya, oleh-oleh untuk aku mana? Papa selalu membeli oleh-oleh setiap kali tugas di luar kota."
"Hei, pelan-pelan kalau bicara! Pertanyaanmu banyak sekali. Aku sampai bingung." Lina merasa kepalanya pening mendengar rentetan pertanyaan dari mulut kecil Brian.
Bocah kecil itu justru tertawa.
"Aku tidak sempat membeli oleh-oleh. Bagaimana kalau aku memasak untukmu saja?"
"Kakak, tidak kembali ke kantor?"
"Tidak, Pak Jason memberiku ijin untuk pulang lebih cepat."
"Horee! Tumben papa baik. Biasanya, dia selalu kejam pada semua karyawan. Ayo, Kak!"
"Sebelum itu, kita mampir belanja dulu. Bahan-bahan di rumah sudah habis."
Keluar dari sekolah, mobil mewah itu melaju ke sebuah supermarket. Lina mengambil ikan, daging, dan sayuran segar, lalu berjalan ke kasir.
"Kak, boleh aku beli ini?" Brian mengulurkan satu batang cokelat yang dipajang di dekatnya.
"Boleh, tapi hanya satu."
"Terima kasih, Kak!" Kedua sudut bibir Brian terangkat sempurna hingga pipinya yang bulat seakan menelan matanya.
Lina menahan diri untuk tidak mencubit bocah itu. Sungguh menggemaskan!
"Seluruhnya tiga ratus empat puluh tujuh ribu rupiah," ucap kasirnya.
Lina membuka dompet. Matanya langsung melihat kartu yang baru saja dia dapat dari Jason. Namun pada akhirnya, Lina mengambil kartunya sendiri. Dia tiba-tiba merasa ragu untuk menggunakannya.
Selesai belanja, mereka berdua pulang. Tentu saja tujuannya ke rumah Lina. Gadis itu segera membongkar belanjaannya
"Ini ada apel. Kamu suka memakannya langsung atau dibuat jus?" tanya Lina.
Brian baru saja membuka bungkus cokelat batangnya dan menjawab, "Jus saja."
"Baik, tunggu sebentar."
Lina mencuci apel, mengirisnya, dan memasukkannya ke dalam blender. Tidak lama kemudian, segelas jus apel sudah siap.
"Minumlah ini sebentar, sementara aku masak. Oke?"
Brian mengangguk. "Kak Lina tenang saja. Aku akan duduk dengan tenang menunggumu."
Lina tertawa. "Kata-katamu manis sekali."
Gadis itu kembali ke dapur, memakai apron, lalu mulai memegang pisau. Kali ini, dia ingin memasak daging cincang dengan buncis, ayam goreng, dan tumis brokoli jamur. Selain itu, dia juga membuat biskuit ringan dari keju dengan taburan choco chips.
"Kak."
Lina sedang mengiris jamur saat Brian mendekat. Diapun meletakkan pisaunya, lalu menunduk. "Ada apa?"
Brian tidak menjawab. Dia hanya menunjukkan bajunya yang terkena lelehan cokelat.
"Sebaiknya kamu mengganti baju sekalian mandi. Kebetulan aku memiliki baju yang cocok untukmu."
Lina berjalan menuju lemari di kamarnya dan mengambil celana pendek miliknya yang belum dia pakai juga kaos ketat yang hanya dia pakai sekali.
"Apa ini baju milikmu?" tanya Brian.
Lina mengangguk. "Semoga pas. Aku tidak memiliki baju kecil lainnya."
"Tidak apa-apa. Aku suka!" Brian menerimanya dengan riang.
"Apa kamu perlu bantuan?" tanya Lina saat melihat Brian berjalan menuju kamar mandi.
"Aku sudah besar, Kak," jawabnya dengan bangga.
Lina tidak bisa menahan tawa.
Sepuluh menit kemudian, Brian selesai mandi dan masakan Lina juga sudah matang.
Celana yang dipakai tampak sedikit kebesaran, tapi kaos kecil itu terlihat pas di tubuhnya. Lina cukup puas melihatnya.
"Duduklah dulu! Aku akan menatanya untukmu."
Brian menurut. Bocah kecil itu duduk dengan tenang. Matanya menatap punggung wanita yang sedang sibuk di dapur.
Sejak lama dia membayangkan adegan ini. Rasa hangat diam-diam merayap di hatinya.