Makan Malam

1568 Words
"Kenapa kamu pergi diam-diam?" tanya Jason pada putranya begitu Lina turun. "Kalau tidak, apakah papa akan mengijinkan?" Brian mendengkus, melipat tangannya, lalu memalingkan wajahnya, enggan melihat pria yang telah merawatnya selama ini. Jason menghela nafas. "Dia karyawan baru. Aku tidak tahu bagaimana karakternya. Apakah dia baik dan pantas untuk bermain denganmu? Kalau dia orang yang lalai, kamu sendiri yang akan rugi." Pria tiga puluh empat tahun itu berusaha memberi pengertian kepada putranya. Memang tidak mudah mengingat bagaimana keras kepalanya Brian, tapi Jason selalu berusaha bersikap tenang di depan putranya. "Dia orang baik. Aku tahu itu. Dia tidak memiliki maksud lain. Aku bisa merasakannya, Pa." "Jangan mudah percaya." Brian memejamkan matanya, merasa kesal dengan kalimat sang papa. "Dia perempuan yang baik dan polos." "Bagaimana kamu tahu dia polos?" Brian berpikir sejenak sebelum berkata, "Dia kadang ceroboh dan kekanakan." Anak kecil itu teringat pertama kali mereka bertemu siang tadi. Pegawai baru yang kehilangan kartunya. Kalau tidak ceroboh, lalu apa namanya? Mendengar putranya yang berusia tiga tahun menyebut seorang perempuan dewasa kekanakan membuat kedua sudut bibir Jason terangkat. Terkadang, dia merasa Brian terlalu dewasa untuk anak seusianya. Dia tidak tahu vitamin apa yang sudah ia konsumsi hingga otaknya bisa berpikir seperti itu. "Mungkin papa yang harus lebih belajar menilai seseorang dan mendengarkan pendapat orang lain." Satu alis Jason terangkat. "Apa maksudmu?" "Tidak ada." Brian memilih menutup matanya agar papanya tidak mengajaknya bicara lagi. Jason menyipitkan matanya. Sudah beberapa kali Brian mengatakan hal ini. Namun, setiap kali, dia tidak bisa mengerti. Siapa sebenarnya yang dia maksud? Melihat putranya yang sepertinya mengantuk, Jason meraih kepalanya, dan menyandarkannya ke pangkuannya. "Tidurlah, papa akan bangunkan kalau sudah sampai." Brian ingin memberontak, tapi jiwanya seolah terikat. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang anak kecil yang juga ingin dimanja papanya. Keesokan harinya adalah jadwal sekolah Brian. Pagi-pagi, dia sudah diantar papanya. "Papa akan menjemputmu nanti sore," ucap Jason saat melepas Brian di depan gerbang sekolah. Brian menatap papanya dalam-dalam, lalu mengangguk. Setelah memastikan Brian memasuki kelasnya, Jason pergi ke kantor. Hari ini, Brian belajar dengan lebih semangat. Dia yang biasanya hanya duduk diam, kini tampak lebih ramah. Teman-teman tidak lagi takut mengajaknya bermain. Para guru yang memperhatikan perubahan itu tampak senang. Seperti biasa, saat jeda istirahat siang, guru kelas akan melaporkan kegiatan anak didik mereka sepanjang pagi, tidak terkecuali Heni. Guru kelas Brian itu melaporkan hal baik kepada Jason. Sementara itu, di ruang rapat, Jason membaca pesan itu dengan mata penuh emosi. Apalagi, pesan itu ditambahi dengan video pendek. Brian, putra semata wayangnya, yang biasa acuh dan enggan bermain, terlihat bahagia bermain balok dan lego dengan teman-teman sekelasnya. Meski tidak ada senyum lebar, tapi setidaknya, Brian menikmati sekolahnya. Setelah puas melihatnya beberapa kali, Jason menyimpan ponselnya. Ruang rapat yang tadinya terasa panas dan sesak, kini menjadi lebih hangat dan longgar. Jason mendengarkan laporan dan tidak mencelanya, hanya memberikan tambahan-tambahan yang diperlukan. Saat rapat berakhir, para direksi merasa lega dan berterima kasih kepada siapapun yang telah mengirim pesan kepada bosnya. Sore hari, Lina sudah bersiap untuk pulang. Karena hari ini hari Jumat, Lina berencana untuk berbelanja, mengisi lemari esnya yang mulai kosong. "Mejamu sudah bersih. Mau pulang sekarang?" Siska melongok ke arah meja Lina. Lina mengangguk. "Mau mampir belanja dulu. Kamu?" "Langsung pulang. Sudah ditunggu ibu di rumah. Dia memasak enak malam ini." Tangan Lina mendadak berhenti. Lalu, sedetik kemudian, dia tersenyum lebar dan berkata, "Kalau begitu, aku juga mau masak enak. Aku tidak mau kalah denganmu." Siska tertawa. "Aku duluan ya." Dia melambaikan tangan dan pergi. Tidak melihat senyum lebar Lina berubah menjadi senyuman tipis penuh luka. Siska memang tidak tahu jika Lina sudah tidak memiliki ibu atau ayah. Dan Lina memang tidak memiliki alasan kuat untuk menceritakan kisah sedih seperti itu. Setelah mejanya rapi, Lina pulang. Saat tangannya hendak menekan tombol lift, pintu besi itu sudah terbuka. "Hai, Kak!" seru Brian dengan senyum lebar. Pipinya yang bulat tampak semakin bulat dan tampak lebih menggemaskan karena rona merahnya. Anak kecil itu tampak bahagia. Dia bahkan melambaikan tangannya kepada Lina. "Brian, kamu di sini? Ada apa?" Lina tampak berpikir melihat putra bosnya ada di sini. Dan yang lebih membingungkan, kenapa Brian naik lift umum? Kenapa tidak memakai lift khusus para petinggi perusahaan? "Aku baru pulang sekolah. Kakak, mau pulang? Ayo, aku antar!" Brian sudah menggandeng Lina dan mengajaknya turun. "Eh, tapi.." Lina tidak kuasa menolak, tapi bagaimana dengan motornya? Tadi pagi, Lina terpaksa naik ojek untuk berangkat. Apa besok dia juga masih harus naik ojek? Kalau begini terus, tabungannya bisa menipis. Ingin rasanya dia menangis, tapi pria kecil ini selalu berhasil membuatnya luluh. Ada sesuatu dalam dirinya tidak ingin melihatnya bersedih. Dan dua puluh menit kemudian, mereka sudah tiba di rumahnya. Lina melirik Brian yang sedang melepas sepatunya. "Rumahku kecil. Aku harap kamu nyaman di sini." Lina memang sempat merenovasi rumahnya saat dia sedang 'bekerja di luar kota'. Temboknya tidak lagi berjamur dan warnanya sudah terang. Karena ibunya menyukai perabotan lamanya, jadi Lina hanya memperbaiki dan mengecat ulang semuanya. Secara umum, rumahnya memang kecil, tapi layak huni dan rapi. Lina sudah pasrah jika Brian mengomentari tempat tinggalnya. Tidak disangka, Brian justru tersenyum lebar tanpa beban. "Rumahmu nyaman. Aku suka," jawabnya sambil melangkah ke arah kursi. Kaki kecilnya bergerak, saling bergesekan. Wajahnya yang bulat dan imut diselimuti dengan sinar. Lina merasa matanya memanas. Entah kenapa, dia merasa luapan emosi yang tidak biasa. Cepat-cepat dia memalingkan wajah agar matanya yang berkaca-kaca tidak terlihat. "Perutku lapar. Apa kamu punya makanan, Kak?" Karena diseret paksa oleh Brian, Lina melupakan jadwal belanjanya. "Aku akan mengecek lemari es." Lina mendapati sosis, telur, tahu dan sedikit udang. Hanya ada itu yang tersisa. "Apa kamu memiliki alergi?" seru Lina dari dapur. "Tidak ada." "Oke, kamu lihat televisi saja dulu. Aku akan memasak sesuatu." Lina mengambil semua bahan itu dan mulai mengolahnya. Dalam benaknya, dia hanya bisa memikirkan sup tahu, sosis, dan telur, juga udang goreng tepung. Semoga saja bocah kecil itu menyukainya. Sebelum itu, Lina memasak nasi. Dan tiga puluh menit kemudian, meja makan sudah terisi. Lina mengelap tangannya, lalu menyusul Brian di ruang depan. Anak kecil itu bukannya sedang menonton televisi, tapi melihat-lihat pajangan di atas kabinet. "Apa ini orang tuamu?" Brian menunjuk beberapa foto berisi dua orang paruh baya. Lina mengangguk. "Ini ayah dan ibuku." Lina menunjuk pada satu foto saat dirinya memakai baju adat dan kedua orang tuanya berdiri di sampingnya. "Ini saat aku kelas enam SD mengikuti festival pelajar daerah." "Kalau ini?" Brian menunjuk sebuah foto Lina memegang piala di samping ibunya. "Ini saat aku meraih juara pelajar teladan. Ayah yang memotret kami. Kalau ini, saat aku mendapat penghargaan nilai tertinggi se-kabupaten saat ujian akhir SMA." "Kakak pasti sangat menyayangi kedua orang tua kakak." "Apakah ada anak yang tidak menyayangi kedua orang tuanya? Setiap orang tua akan memberikan apapun yang terbaik untuk anak mereka." Brian menunduk. Dia tidak mengatakan apapun. Lina menyadari perubahan suasana hati Brian. Dia mengelus pundak kepalanya, lalu berkata, "Pak Jason pasti sangat menyayangimu. Itu sebabnya, dia selalu berusaha berada di dekatmu; mengajak ke kantor, menjemputmu, dan memberikan semua yang terbaik untukmu." Brian tersenyum tipis, tapi tidak langsung menjawab. "Papa memang baik," ucapnya setelah beberapa saat. Lalu, anak itu mendongak. "Kakak pasti merindukan orang tua kakak. Jangan khawatir, aku akan menjadi temanmu sampai tua," ucapnya sambil memeluk Lina. Lina tersentak, tapi sedetik kemudian, dia mengelus punggung Brian dengan lembut dan matanya tidak bisa lagi menahan air matanya. Namun belum sempat menetes, Lina sudah menghapusnya. "Ayo kita makan dulu." Lina mengurai pelukannya dan menggandeng Brian. Baru saja mereka hendak duduk, suara ketukan terdengar. Kening Lina berkerut. Dia jarang menerima tamu. Siapa yang mengetuk pintunya? Saat dia membukanya, tubuh Lina sontak menjadi kaku. "Putraku ada di dalam?" Lina merasa dunianya runtuh. Dia yakin Jason memiliki banyak pikiran buruk tentangnya. "Pak Jason, sebelumnya aku ingin anda tahu bahwa aku sama sekali tidak memaksanya. Dia sendiri yang ingin mengantarku pulang. Aku bersumpah aku.." "Papa, kenapa menyusul kemari??" Belum selesai Lina berbicara, Brian tiba-tiba muncul di sampingnya. Jason mengamati putranya dari atas sampai bawah. Melihat tidak ada keanehan, Jason bernafas lega. Dia hendak mengajak Brian pulang saat hidungnya mencium aroma sedap dari dalam. "Papa sebetulnya lapar dan ingin mengajak makan malam." "Tidak perlu. Kak Lina sudah memasak untukku. Iya 'kan, Kak?" Lina tertawa canggung. "I-iya." "Ayo, Kak. Kita makan. Perutku sudah lapar." Brian baru saja berbalik saat, lagi-lagi, suara menggelegar datang dari perut seseorang. Lina berdehem untuk menyembunyikan senyumannya. Dia melirik Jason yang sedang menggaruk tengkuknya. "Pak Jason bisa bergabung jika berkenan. Tapi maaf, masakan saya sangat sederhana." "Aku tidak memiliki pantangan apapun. Terima kasih." Jason segera melepas sepatunya sebelum dia diusir, terutama oleh putra satu-satunya. Brian memutar matanya. Papanya ini memang sangat rakus. Mudah sekali merasa lapar. Tiga orang -pria, wanita, dan satu anak kecil- duduk melingkari meja. Lina awalnya canggung. Dia tidak berharap lebih pada Jason. Bos besar sudi memakan masakannya sudah sangat luar biasa. Namun tidak disangka, Jason ternyata memakannya dengan lahap, begitu juga dengan Brian. Duo ayah dan anak ini ternyata sangat suka makan. Lihat saja! Dirinya bahkan tidak kebagian udang goreng. Hanya tersisa satu, dan Jason bergegas mengambilnya. Menyadari tindakannya yang kekanakan, Jason mendongak ke arah Lina. "Apakah kamu menginginkannya?" Tentu saja Lina menggeleng! Tidak mungkin dia menginginkan makanan yang diinginkan oleh bosnya. "Berikan saja padaku!" seru Brian. Matanya berbinar menatap udang berselimut tepung berwarna kecokelatan itu. "Dia sudah memberikannya kepadaku. Lagi pula, papa sudah menghitung ada sepuluh udang yang masuk ke perutmu. Papa hanya memakan tujuh. Jangan serakah." Dan sedetik kemudian, satu-satunya udang itu sudah berpindah ke mulut Jason.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD