Setelah memasukkan banyak data dan mencocokkannya, Lina merasa tidak hanya tangannya yang pegal, tapi juga matanya yang lelah. Dia sedang memijat tangannya saat Siska mengintipnya dari meja samping.
"Kamu sudah selesai?"
"Hmm." Lina mengangguk sambil terus menepuk-nepuk lengan dan bahunya.
"Capek ya? Berkasmu memang terlalu banyak. Tidak heran kalau tanganmu sampai lelah begitu. Aku jadi heran. Kenapa pekerjaanmu jauh lebih banyak dari aku? Padahal kita sama, sama-sama anak baru."
Siska menatap tumpukan berkas yang menggunung di atas meja Lina dengan tatapan rumit.
Lina hanya tersenyum tipis. Tentu saja dia tahu alasan yang sebenarnya. Setelah Brian menghabiskan makan siangnya, dia kembali ke ruangan papanya dan dia sendiri kembali ke meja. Begitu dia duduk, Pak Deri langsung memberinya setumpuk dokumen yang harus dia input dan mencocokkan hasilnya.
Lina awalnya tidak mengerti. Dia sempat melihat wajah Deri yang merasa bersalah, namun tidak bisa berbuat banyak. Hingga akhirnya, Lina menyadari jika itu ada sangkut pautnya dengan Jason.
Mungkin pria itu ingin agar Lina terlambat pulang agar rencana 'kencan' dengan Brian gagal. Sayangnya, Lina sejak dulu adalah orang yang pantang menyerah. Semakin ditantang, dia akan semakin termotivasi.
"Tidak apa-apa. Anggap saja latihan," candanya. Dia tidak ingin Siska berpikir terlalu jauh.
Siska mengerucutkan bibirnya. "Jangan-jangan nilai transkrip milikmu lebih baik dariku. Jadi kamu diberi tugas lebih banyak. Lalu, kalau kamu berhasil melakukan semua pekerjaan dengan baik dan akhirnya karirmu naik. Kalau levelmu sudah naik, kamu masih mau berteman denganku, 'kan?"
"Kamu ini bicara apa? Kita baru satu hari di sini. Jangan membayangkan yang tidak-tidak. Bukannya aku tidak ingin mendapat promosi, tapi kita ini masih benar-benar baru. Jangan begitu, kalau didengar senior yang juga ingin mendapat promosi, jadi tidak enak."
Siska sontak menutup mulutnya saat menyadari kesalahannya. Apa yang dibilang Lina memang benar. Kalau sampai ada pegawai lain yang mendengar kata-katanya, bisa jadi bencana bagi mereka.
Tentu saja tidak ada yang ingin mendapat perundungan, termasuk Lina dan Siska.
"Ayo pulang!" ajak Siska. "Kamu bawa motor?"
"Iya, kamu juga?" Lina mulai merapikan mejanya, mengunci laci, dan memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam tas.
"Iya. Bagaimana kalau kita makan dulu sebelum pulang? Atau kamu sudah ditunggu seseorang?"
Pertanyaan Siska membuat Lina tersadar. "Ya Tuhan!" Lina segera meriah tasnya, lalu berlari kecil menuju lift. "Siska, maaf aku tidak bisa menemanimu sore ini."
Kening Siska berkerut. "Dia kenapa? Apa dia memang sudah memiliki janji? Ya, itu mungkin saja. Lina cukup cantik. Wajar kalau dia memiliki kekasih."
Siska menghela nafas, lalu mulai membereskan mejanya.
Di dalam lift, kaki Lina terus bergerak, pertanda bahwa di sedang terburu-buru. Matanya terus menatap sederet angka di atas pintu, berharap lift bisa bergerak lebih cepat. Dalam hati, dia berdoa semoga Brian belum turun dan menunggunya.
Saat pintu lift terbuka di lantai basemen, Lina bergegas keluar dan tidak melihat siapapun di sana. Dia sontak bernafas lega. Saking leganya, dia sampai memegang dadanya dan berdebar.
Brian mungkin masih anak-anak, tapi aura dan cara bocah itu berbicara di atas anak normal. Mungkin karena asupan gizinya yang berbeda. Selain itu, Lina tidak perlu mengingatkan kalau Brian adalah putra pemilik perusahaan. Tentu saja cara otaknya bekerja berbeda.
Saat sedang meraup oksigen untuk paru-parunya, Lina melihat pintu sebuah mobil terbuka.
"Tante, kamu kenapa? Seseorang mengejarmu?"
Lina tersentak. Ternyata Brian sudah menunggunya di dalam mobil. "Tidak, tidak ada apa-apa."
"Kalau begitu, ayo!" Brian memberi isyarat agar Lina memasuki mobilnya.
Lina mendekat, lalu berkata, "Brian, aku kebetulan membawa motorku sendiri. Bagaimana kalau aku naik motor, lalu mobilmu mengikutiku di belakang?"
Brian terdiam. Dia tampak berpikir keras. "Kalau begitu, aku akan naik motormu dan sopir akan mengikuti di belakang."
Tanpa menunggu persetujuan siapapun, Brian turun dari mobil, dan menggandeng Lina menjauh.
"Di mana motormu?"
Lina masih syok. Dia tidak menyangka kalau anak bos besarnya ingin naik motor dengannya. "Tidak, jangan begini."
Aduh, bagaimana ini? Lina baru bekerja satu hari. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan berkarir. Melihat bagaimana ketatnya Jason menjaga Brian, Lina tidak ingin mencari masalah. Demi Tuhan! Dia hanya ingin mentraktir makan, lalu pulang dan istirahat. Sudah! Sesimpel itu.
Langkah Brian berhenti. Dia mendongak dan menatap Lina penuh selidik. "Kenapa tidak boleh?"
Ditatap sedemikian rupa, Lina merasa salah tingkah.
Ini dia ditatap anaknya, bagaimana kalau ditatap papanya?
Aish, jangan berpikir terlalu tinggi, Lina! Kalau jatuh sakitnya minta ampun.
"Apa kamu juga akan melanggar janjimu seperti papa?" tanya Brian sekali lagi.
Dengan wajah penuh luka, Brian melepas tangannya. "Aku tahu semua orang dewasa memang tidak bisa dipercaya."
Anak itu lalu berbalik dan kembali melangkah menuju mobilnya.
Hati Lina berdenyut sakit mendengar kata-kata Brian. Dia segera membuntuti. "Brian, bukan itu maksudku. Aku masih ingin mentraktir mu. Hanya saja, naik motor tidak baik untukmu. Ada banyak debu dan polusi. Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa."
Brian menoleh. Pupilnya bergerak-gerak.
Lina tidak bisa memahami arti tatapan itu, tapi dia melihat banyak luka di sana. Ingin sekali dia merengkuhnya dalam pelukan dan berharap lukanya terobati.
"Lalu, kenapa kamu tidak naik mobil?" Brian masih terus menatap Lina.
Mendapat pertanyaan yang di luar ekspektasi, Lina menelan ludahnya. "Mmm, harga mobil mahal. Selain itu, perawatannya juga tidak murah."
Brian mengangguk. "Aku akan meminta papa untuk membelikan mu mobil."
Setelah itu, dia menggandeng Lina dan mengajaknya memasuki mobil. "Sekarang, kita berangkat. Biarkan saja motormu di sini. Aku akan mengantarmu pulang nanti."
Lina membuka mulutnya, suaranya hampir saja keluar, tapi melihat betapa gigih Brian, dia akhirnya menutup kembali mulutnya. Biarkan saja begini dulu. Nanti dia bisa pulang dengan ojek online. Selain itu, dia tidak terlalu memikirkan kalimat Brian yang ingin membelikan mobil untuknya.
Pfftt, hanya anak orang kaya yang berpikir membeli mobil seperti membeli es krim.
Lina menggelengkan kepalanya.
Sepanjang perjalanan, Brian banyak sekali bertanya tentangnya, tentang pekerjaannya, tentang banyak hal.
"Ayah dan ibuku sudah meninggal," jawab Lina sambil tersenyum saat Brian bertanya tentang kedua orang tuanya.
Brian tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Matanya yang lucu tampak membesar, lalu perlahan menyusut. Setelah itu, dia tidak lagi bersuara. Entah apa yang dipikirkan dalam otak kecilnya itu.
"Tapi, aku yakin kedua orang tuaku saat ini sedang berbahagia di atas sana. Itu sebabnya, aku tidak bersedih. Aku baik-baik saja. Bukankah setiap orang tua ingin anaknya bahagia dan sehat? Jadi, aku tidak akan menyia-nyiakan hidupku."
Brian melirik Lina dengan ekor matanya, lalu memalingkan wajahnya dan menatap jalanan.
Tempat yang mereka tuju adalah sebuah tempat makan yang cukup terkenal. Dulunya, itu adalah sebuah rumah tinggal dan pemiliknya memiliki bakat memasak. Karena pelanggan yang semakin banyak, akhirnya rumah itu dialihfungsikan menjadi rumah makan.
Brian menatap lembaran menu di tangannya. Tidak ada gambar dan hanya sederet tulisan. Keningnya berkerut. Ini tidak seperti rumah makan yang biasa dia masuki bersama sang papa.
Setiap kali diajak makan di luar, Brian terbiasa memesan sendiri. Setiap kali membuka buku menu, akan ada foto setiap masakan. Jadi, dia tidak pernah kesulitan. Namun, agaknya rumah makan ini berbeda. Meskipun dia sudah bisa membaca sedikit, tapi dia tidak bisa membayangkan rupa masakan itu.
Brian meletakkan menunya, dan menatap Lina yang ternyata juga tengah menatapnya.
Sebagian orang yang lebih tua, Lina tahu jika Brian kesulitan. "Bagaimana kalau aku memilihkan makanan yang cocok untukmu?"
Brian mengangguk.
Lina menulis pesanan di atas kertas yang sudah disediakan, lalu memberikannya kepada pelayan. Tidak lama kemudian, pelayan kembali.
"Di sini, terkenal dengan rawonnya. Jadi, aku memesannya. Makanlah! Lalu, berikan pendapatmu."
Lina menggeser mangkok berisi kuah hitam dan sepiring nasi ke depan Brian.
Sontak, Brian menatapnya horor. Dia tidak pernah melihat makanan hitam seperti ini. Ada jejak ketahuan dalam matanya. Namun, wangi gurihnya menggoda indera penciumannya.
Dia melirik pesanan Lina. Ternyata, perempuan itu juga memesan menu yang sama. Dia melihat Lina sudah menyendok dan tampak sangat menikmati.
Perlahan, Brian mengambil sendok dan mulai menyesap kuahnya. Ternyata, rasanya lumayan enak. Dia kembali menyesap. Dan rasanya tetap enak dan gurih. Dan dalam sekejap, dia sudah menghabiskan isi piringnya.
"Enak? Apa kamu menyukainya?" tanya Lina.
Brian berdehem. Dia merasa malu. Biasanya, dia akan mekan dengan anggun dan penuh tata krama. Namun, rawon yang lezat ini membuatnya melupakan semua ajaran di meja makan.
"Lumayan," jawabnya diplomatis.
Lina terkekeh mendengarnya. Bagaimana bisa lumayan kalau isi piring dan mangkoknya sudah habis dalam waktu singkat?
Tanpa sadar, mencubit gemas pipi Brian. "Kamu sungguh lucu!"
Brian tercengang. Hatinya berdebar dan pipinya memanas.
Lina tidak menyadari perubahan itu.
"Brian?"
Suara seorang pria dewasa membuat Brian dan Lina menoleh.
O tidak! Jason ada di sini.
Tubuh Lina menegang. Dia tidak menyangka jika bos besarnya akan menyusul kemari. Dia memejamkan matanya dengan erat. Tidak berani bergerak, seperti mangsa yang terpojok.
Rasa dingin merayap di punggungnya saat mendapati tatapan tajam dari papa Brian. Dia hanya bisa berdoa semoga dia tidak dipecat.
Jason berusaha keras mengatur emosinya agar tidak meledak. Karyawan barunya ini berhasil membawa Brian pergi. Tidak hanya itu, rumah makan yang mereka tuju sangat jauh dari apa yang biasa Brian makan. Jason takut putranya itu tidak akan bisa menelannya. Putranya itu terkadang rewel. Namun, apa yang dia lihat membuat semua emosinya padam. Piring Brian sudah kosong! Bersih tanpa satupun butir beras. Ini di luar dugaannya.
"Kamu sudah makan?"
"Hmm." Brian hanya bergumam dan hanya fokus dengan s**u hangat yang dipesan Lina untuknya.
Jason mengangguk. Dia memutar kepalanya, mengamati sekitarnya. Saat itulah dia menyadari bau yang sangat harum. Tiba-tiba, terdengar suara menggelegar dari perut seseorang.