3. Teman Kencan(?)

1457 Words
"Kenapa? Kamu tidak percaya?" Brian menatap Lina sengit. Lina mengerjapkan matanya. "Bukankah kamu..." "Itu apa?" Lina belum menyelesaikan kalimatnya, tapi Brian sudah menyela. Lina menoleh ke arah yang ditunjuk Brian. Matanya melihat sebuah kartu yang tergeletak di dekat pot. Seketika itu juga, dia berteriak kegirangan. "Itu punyaku!!" Lina mengambilnya, melihatnya dengan teliti, dan memastikan jika benda pipih ini memang miliknya. Dan ternyata benar ada namanya di sana. "Syukurlah ketemu." Lina menciumi kartu itu seperti harta karun berharga, lalu menyimpannya di dalam tas. "Ck, kekanakan!" "Hei, perhatikan bicaramu tuan muda!!" Lina melotot ke arah Brian. Lihat mereka! Siapa yang sebenarnya masih anak-anak?? "Aku bukan tuan muda! Namaku Brian! Huh!!" Bocah kecil itu bersedekap, lalu membuang wajahnya ke samping. Melihat Brian yang sepertinya serius dengan ucapannya, Lina akhirnya mengalah. "Iya, baik. Kamu bukan tuan muda. Kamu hanya anak pegawai di sini." "Hmmh!!" Brian cemberut, membuat pipinya tampak semakin menggembung dan menggemaskan. Bibir Lina berkerut menahan senyum. Sumpah demi spons kuning yang hidup di Bikini Bottom, Brian sungguh lucu dan menggemaskan. Ingin sekali dia mencubit pipi itu. Brian melirik Lina yang masih terpesona kepadanya. "Kenapa hanya diam? Apa yang harus kamu katakan kepada orang yang telah membantumu menemukan barangmu??" Lina tersentak. Ya Tuhan! Memang tidak salah jika Brian adalah titisan Pak Jason. Sudahlah dia tampan dan lucu, juga tingkahnya sangat dewasa dan mendominasi. Di mata Lina, bocah ini semakin lucu setiap detiknya. Lina berdehem, lalu melipat lututnya, mensejajarkan wajah mereka, lalu berkata, "Terima kasih atas bantuanmu, Brian. Aku akan membalasnya suatu saat nanti." "Kenapa harus nanti? Sekarang saja! Aku lapar. Kamu harus mentraktirku." "Tapi, waktu istirahatku hampir habis. Bagaimana kalau sore ini saat pulang?" "Tidak, aku mau sekarang!! Mau sekarang!!" Wajah Brian mulai memerah, begitu juga dengan pipi dan ujung hidungnya. Lina yakin sebentar lagi air matanya akan turun. Aduh, bagaimana ini??? Kalau menuruti Brian, dipastikan dia akan terlambat masuk, tapi kalau tidak dituruti, Brian akan menangis. Dan entah kenapa, hatinya jadi terasa sesak. "Aku janji nanti sore aku akan mentraktir mu apapun yang kamu mau." Lina masih berusaha membujuk. "Tidak mau!!!!" Brian menatap Lina dengan mata merah dan penuh kekecewaan. "Hust, jangan marah." Lina mendekat. Sambil tersenyum manis, dia mengelus pipi Brian. "Aku membawa roti dan s**u cokelat kemasan di tas. Bagaimana kalau aku menemanimu makan di pantry, hmm?" "Tapi, aku masih ingin ditraktir." "Oke, nanti sore sepulang kerja, kita makan bersama." Lina mencoba sebaik mungkin untuk membujuk Brian. Dan untungnya berhasil! Brian mengangguk. "Ayo ke pantry!" Lina akhirnya bisa tersenyum. Mereka pun berjalan bersama menuju pantry. "Tuan muda!!" Baru saja berjalan, seorang pria memanggil. Dia berjalan cepat menuju Brian dengan wajah panik. Nafasnya juga tersengal seolah, dia baru saja berlari mengelilingi lapangan. Brian melirik dengan ekor matanya. "Aku bukan tuan muda!!" Tatapannya tajam dan suaranya sangat tidak bersahabat. "Maafkan saya. Den Brian, ayo kembali ke kantor tuan. Beliau sudah selesai rapat. Sekarang menunggu Anda untuk makan siang bersama. Ayo!" "Bilang pada papa. Aku tidak butuh janji-janji yang tidak pernah ditepati." Setelah mengatakan itu, Brian menggandeng Lina, dan mengajaknya pergi. "Ayo!" Lina menatap pria yang dia yakini sebagai salah satu anak buah Jason. Matanya penuh keraguan dan tanda tanya. Namun, dia tidak bisa mengabaikan genggaman Brian. Pria itu tampak gusar. Dia menyugar rambutnya dan berbalik. Dalam hati, Lina merasa iba pada pria itu. Namun sekali lagi, dia tidak bisa berbuat apapun. Di dalam pantry, Lina menuang s**u bubuk ke dalam gelas dan mengisinya dengan air panas sementara Brian sibuk dengan roti isi pisang, cokelat, dan keju. "Ini, minumlah!" Lina menggeser gelas berisi s**u ke depan Brian. "Roti ini lumayan enak. Besok, bawakan lagi yang seperti ini." Satu alis Lina terangkat. "Kamu tidak pernah memakannya?" Brian menggeleng. "Apakah susah membelinya? Tapi, dilihat dari kemasannya, harusnya roti ini tidak terlalu mahal. Memang tidak seenak roti yang biasa aku makan, tapi ini memang lumayan enak." Brian menatap roti itu dengan seksama, membolak-balik ya seolah sedang mengamati sesuatu yang aneh. Padahal, itu hanya roti yang biasa ditemui di semua toko; baik toko kelontong atau mini market. Tidak ada yang spesial dalam roti itu. Itu seperti roti seribu umat. Semua orang pernah memakannya. Tunggu dulu, benarkah semua orang? Lina terbatuk. Tiba-tiba saja, dia merasa miskin dalam sekejap. Hei, memangnya kehidupannya bisa dibandingkan dengan kehidupan putra pemilik perusahaan? Semua sudah tahu jawabannya. "Aku akan membawakan untukmu besok." Kedua sudut bibir Brian terangkat sempurna. Pipinya yang bulat, tampak semakin bulat dan menutupi matanya. "Aku akan menagihnya saat makan siang." Lina melihat wajah lucu itu dengan hati yang rumit. Tanpa sadar, dia mengelus pipi Brian penuh kasih sayang. Jika saja dia mengenal putranya... Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah masa lalu. Hanya saja, terkadang dia merasa teraniaya karena tidak diijinkan melihat putranya barang sedetik pun. Jika biasanya saat melahirkan, kaum ibu akan mendapatkan suntik bius separuh, maka dirinya justru dibius total. Dan baru membuka matanya kembali keesokan harinya. Jangankan melihat wajah sang putra. Lina bahkan tidak mendengar tangisannya saat lahir. Terkadang Lina bertanya-tanya apakah bayinya langsung menangis saat lahir atau tidak, apakah bayinya kesulitan meminum s**u, atau apakah makhluk kecil itu mirip dengannya? Lina tidak pernah mendapatkan jawabannya. Hanya doa yang selalu dia kirimkan setiap hari, berharap agar putranya sehat dan bahagia. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Lina dan Brian terkejut mendengar suara bariton yang dalam dan tegas di dekatnya. Lina menoleh dan sontak terpana dengan apa yang dia lihat. Ini sungguh keindahan ciptaan Tuhan versi nyata. Mata cokelat yang dalam dan menghipnotis. Hidung tinggi dan lancip. Rahangnya tegas dan kulitnya begitu halus. Sangat halus hingga Lina merasa iri. Kenapa bisa ada pria memiliki kulit tanpa cacat seperti ini? Bahkan kulitnya saja tidak sehalus itu. Pak Jason ini sepertinya mendapatkan banyak berkah karena semua keindahan terkumpul padanya. Lihat saja bahunya yang lebar dan tegap itu yang dikombinasikan dengan pinggangnya yang sempit. Dan kakinya yang panjang dan ramping. Pantas saja para wanita itu tidak berhenti membicarakan dirinya. Benar kata Siska. Duo ayah dan anak ini obat mata yang mujarab. "Papa tidak bisa melihat? Aku sedang makan siang dengan seseorang." Jason memasukkan satu tangannya ke dalam saku. "Ayo kembali! Jangan mengganggu pekerjaan seseorang." "Waktu istirahat masih ada sepuluh menit. Aku tidak mengganggu pekerjaan siapapun." "Brian." Suara Jason penuh dengan penekanan. Sepertinya, kesabarannya mulai habis. Lina tidak bisa berdiam diri. Bocah kecil ini lucu dan menggemaskan. Lina tidak akan sanggup melihatnya dimarahi. "Mm, anu, Pak. Tidak apa-apa. Biarkan tuan muda, maksudku,,, Den Brian menghabiskan rotinya dulu. Setelah itu, dia akan kembali ke ruangan Anda." "Kenapa memanggilku begitu? Namaku Brian. Apa kamu lupa?" "Hah?" Lina menatap Brian tidak mengerti. Dirinya tahu kalau pria kecil ini bernama Brian. Apakah dia salah memanggilnya Den Brian? Bukankah pria tadi juga memanggilnya begitu? Lalu, kenapa dia tidak boleh. "Panggil aku Brian!" ucap Brian sekali lagi. Satu alis Jason terangkat. Sejak kapan Brian dekat dengan pegawainya ini? Dan Brian juga tampaknya nyaman. Wajahnya tidak berkerut dan dia tidak mengijinkan perempuan ini memanggilnya Den. Jason menghela nafas. "Look, Son. Papa minta maaf karena terlambat. Kamu tahu kalau pertemuan itu cukup penting. Papa harap kamu mengerti. Sekarang, ayo kembali ke ruangan papa. Kita makan siang bersama." "Aku tahu pertemuan itu penting. Karena itu, aku tidak mengganggu papa. Papa tenang saja! Papa bisa melanjutkan pertemuan. Aku sudah makan siang. Dan sudah ada yang menemaniku." Nafas Jason terdengar berat. Emosinya benar-benar diuji oleh satu-satunya anaknya. "Ikut papa sekarang! Kalau kamu tidak, papa akan memotong uang jajanmu." Brian seolah tuli. Dia tidak mengindahkan ancaman sang papa. Dia memasukkan potongan terakhir rotinya dan memakannya dengan lahap. "Kamu!!" Mata Jason membulat. Lina meringis. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan di tengah-tengah pertengkaran ayah dan anak ini. Di satu sisi, ada anak kecil lucu menggemaskan yang tangisannya bisa menghancurkan hati. Di sisi lain, ada pemimpin tertinggi perusahaan yang titahnya tidak bisa dibantah. Aduh, hari pertama bekerja sudah dihadapkan dengan dilema berat! Jason hampir melangkah maju saat ponselnya berdering. Setelah melihat siapa yang menghubunginya, dia langsung menjawab. "Halo, Michelle. Maaf aku membatalkan makan siang kita. Brian sedang tidak bisa dibujuk. Aku akan menggantinya lain kali." Setelah beberapa kali menggumam setuju, Jason menutup panggilannya. "Kita akan makan malam dengan Michelle. Kamu harus patuh." Brian melirik sekilas. "Jangan suka berjanji kalau akhirnya selalu tidak ditepati. Lagi pula, aku sudah memiliki janji dengan orang lain. Dan aku yakin dia tidak suka mengobral janji." Tubuh Lina menegang. Dia menatap Brian takut-takut. Dia tahu itu adalah janji yang dia buat untuknya. Apakah mereka tetap harus makan malam bersama? Entahlah, Lina mendadak ragu. Dia tidak ingin menjadi penyebab anak dan ayah semakin bertengkar. "Makan malam dengan siapa?" tanya Jason penasaran. "Papa tidak perlu tahu. Papa bisa makan malam sendiri dengan Tante Michelle. Aku akan makan malam dengan orang lain. Papa tidak perlu khawatir. Teman kencanku itu bukan orang jahat. Aku berani menjamin." Lina sontak tersedak dan batuk tanpa henti. Teman kencan???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD