2. Bukan Tuan Muda

1755 Words
Empat tahun kemudian... "Semangat, Lina! Hari ini adalah hari pertama kamu bekerja. Kamu harus bisa!" Lina mengepalkan tangannya dengan erat. Dia melihat pantulan bayangannya di cermin. Empat tahun sudah berlalu sejak dia ditinggalkan oleh anak, ayah, dan ibunya. Sempat larut dalam kesedihan, namun dia akhirnya sadar jika satu-satunya cara untuk mengenang dan mencintai almarhum orang tuanya adalah dengan melanjutkan hidup dan berprestasi. Lina memutuskan untuk pergi kuliah dan lulus dengan nilai cumlaude. Gadis dua puluh empat tahun itu kini penampilannya sudah berubah. Dia tampak lebih dewasa, mandiri, dan percaya diri. Satu minggu yang lalu, Lina sudah melewati tes wawancara dan berhasil mendapatkan posisi intern di bagian finance. Dengan kemeja sifon berwarna terang dan celana kulot berwarna hitam, Lina merasa penampilannya cukup baik. Diambilnya tas, lalu beranjak menuju nakas, di mana terdapat beberapa foto di sana. "Sayang, mama kerja dulu. Doakan mama, ya! Karena mama juga selalu berdoa untuk kamu," ucapnya sambil mengusap lembut foto USG janinnya. Setelah itu, dia beralih pada foto kedua orang tuanya. "Ayah, ibu, Lina berangkat. Terima kasih untuk semua doanya." Setelah berpamitan kepada keluarganya, Lina berangkat. Masih ditemani oleh sepeda motor butut, Lina pergi ke kantor. Sebuah gedung setinggi dua puluh lantai menjadi tujuannya. Lina memarkir motornya, lalu berjalan masuk. Setelah dari resepsionis, gadis itu diarahkan ke ruang HRD untuk mengurus kartu pegawai dan administrasi lainnya. Duduk di depan ruang HRD bersama beberapa ruang lainnya, Lina merasa sedikit gugup. Padahal waktu berangkat, semangatnya begitu membara seolah dia bisa memindahkan sebuah gunung. Kini tidak hanya merasa bersemangat, tapi Lina juga merasa takut. Bagaimanapun juga, kantor ini lebih besar dan lebih maju daripada tempatnya kerja dulu. "Hai, baru ya?" Seorang perempuan yang duduk di sebelah Lina menyapanya. "Iya. Kamu juga?" Gadis itu mengangguk. "Siska," ucapnya sambil mengulurkan tangan. "Lina. Bagian apa?" "Finance. Kamu?" "Sama! Syukurlah, akhirnya aku memiliki teman. Sejak tadi, aku hanya diam dan bengong. Orang-orang yang aku ajak bicara semuanya bukan dari finance." Lina memperhatikan sekelilingnya sekali lagi. "Sepertinya, banyak pegawai baru." "Iya, pemimpinnya ganti. Jadi, ada pergantian pegawai juga. Istilahnya, dia baru saja bersih-bersih kantor. Juga, ada kebijakan baru lainnya. Makanya, merekrut banyak orang." Mulut Lina membulat. "Oo, pantas saja." "Boleh tukar nomor?" "Tentu saja!" Dua gadis itu mengeluarkan ponsel dan saling menambahkan kontak. Mereka juga berbincang, saling bertukar informasi tentang pekerjaan atau kantor tempat mereka bekerja ini. "Kata kakakku pemimpin di Central building ini tampan. Tapi sayangnya, duda. Tidak diketahui siapa istrinya. Hanya saja, dia telah memiliki seorang putra.." Siska membuka percakapan. Dia tampak yakin dengan kalimatnya. Wajahnya serius dan bibirnya tidak tersenyum. Lina mengerutkan keningnya. "Bagaimana dia bisa tahu? Aku sudah mencari informasi dari google, tapi tidak ada penjelasan apapun tentang kehidupan pribadi Pak Jason." Siska berdecak. "Kakakku itu sekretaris di kantor sebelah. Tentu saja dia tahu tentang gosip-gosip seperti ini." "Kenapa pernikahannya dirahasiakan?" Lina tampak bingung. "Bukankah menikah itu menyenangkan?" Ya, bagi Lina menikah itu menyenangkan. Seperti ibu dan ayahnya yang saling menjaga dan menghormati. Bahkan Lina percaya bahwa cinta sejati itu ada. Buktinya, ibunya pergi menyusul sang ayah tepat setelah tujuh hari kematiannya. Kalau bukan cinta sejati, lalu apa namanya? Dan karena itu pula, Lina bangkit dari keterpurukannya. Dia yakin ayah dan ibunya sudah bahagia bersama di sana. Lalu, apa lagi yang dia inginkan? Selama kedua orang tuanya bahagia, Lina tidak keberatan. Pada saat itulah dia bangkit dan bersemangat untuk menjalani hidup dengan baik. "Lina, kamu tidak mengerti bagaimana rumitnya kehidupan para orang kaya. Bagi mereka, pernikahan bukan hanya sekedar bersenang-senang dan bahagia. Mereka sangat kompleks." Siska menggelengkan kepalanya, merasa kasihan kepada Lina yang polos. "Untungnya, kehidupan kita ini tidak termasuk yang rumit. Begini saja sudah bersyukur." Siska mengangguk. "Juga bersyukur karena bisa cuci mata setiap hari." "Hah?" Lina menoleh. Dia tidak mengerti maksud teman barunya itu. Siska memberi kode dengan dagunya. Matanya bersinar dan menatap tanpa kedip. Lina mengalihkan pandangannya. Melihat sosok tinggi dan tampan dengan aura bangsawan yang kuat berjalan tidak jauh dari posisinya, Lina akhirnya mengerti kenapa Siska sampai terpesona. Pria itu memang sungguh tampan. Kulitnya bersih. Hidungnya tinggi dan lancip. Mulutnya tidak terlalu tebal. Dan yang paling mencolok adalah matanya. Bahkan dari jarak dua meja ini, Lina bisa melihat keindahannya. Untuk sesaat Lina terpesona. Namun, dia segera tersadar saat melihat anak kecil berjalan di sampingnya. Hanya dengan sekilas saja, bisa dipastikan bahwa mereka adalah ayah dan anak. Rupa mereka sungguh mirip, bagai pinang dibelah dua. Tidak hanya itu, bahkan aura merekapun sama. Cara berjalan yang sama. Dan mereka berdua sama-sama memiliki aura dingin yang tidak tersentuh. Sungguh keindahan makhluk Tuhan yang hanya bisa dinikmati oleh mata. "Dialah Pak Jason, pemimpin perusahaan ini. Tampan, 'kan? Aura daddy-nya kuat banget. Banyak pegawai perempuan yang mengidolakan beliau. Tapi, lidahnya yang tajam dan auranya yang mencekam membuat mereka mundur sendiri. Meskipun begitu, popularitas Pak Jason tidak pernah surut." Kedua sudut Siska terangkat sempurna dan matanya tidak lepas dari punggung Jason yang lebar. "Hmm, memang tampan, tapi membuat orang takut dan segan. Lebih baik aku menjauh. Takut kena marah. Lalu, anak kecil tadi itu putranya?" "Iya, itu anaknya. Tampan sekali, bukan? Ayah dan anak benar-benar bisa dijadikan obat mata. Bayangkan bagaimana rasanya bisa bekerja di rumah Pak Jason. Mungkin kesehatan mata mereka selalu terjaga. Hahaha!! Double combo! Kira-kira bagaimana wajah ibunya ya? Huft, sayang sekali Pak Jason tidak pernah mengumumkan wajah istrinya." Tidak hanya Siska dan Lina, tapi seluruh penghuni lantai takjub dengan dua laki-laki itu. Bisik-bisik bergema saat Jason dan putranya menghilang di balik pintu lift. "Naura Herlina dan Siska Amalia." Lina dan Siska akhirnya dipanggil masuk untuk mengurus administrasi menjadi pegawai di Central building ini. Mereka mendapatkan kartu pegawai dan mendaftarkan nomor rekening. "Kalian bisa langsung bekerja. Ayo, aku akan menunjukkan meja kalian." Pegawai bernama Maria itu mengajak Lina dan Siska menuju lantai empat, tempat seluruh pegawai yang berhubungan dengan keuangan berkumpul. "Baik, terima kasih, Bu," jawab Lina sopan. "Eh, jangan panggil Bu. Aku mungkin memang lebih tua dari kalian, tapi umurku belum tiga puluh. Panggil mbak saja. Lagi pula, aku tidak punya suami. Kalau kalian memanggil aku Bu, aku merasa sudah berumur empat puluhan." "Baik, Mbak." Siska menyahut dengan cepat. "Seperti biasa, istirahat siang dimulai pukul dua belas. Di lantai lima belas, ada kantin. Kalian bisa makan di sana gratis. Cukup scan kartu pegawai kalian." Mata Siska berbinar mendengar kata gratis. "Wah, enak itu. Jadi tidak perlu keluar yang kalau mau makan." "Iya, tapi menu yang ditawarkan juga tidak bisa terlalu beragam. Mungkin soto, rawon, pecel, atau nasi campur. Kalau beruntung, kalian bisa dapat gudeg atau nasi Padang." "Tidak apa-apa. Yang penting makan siang ditanggung perusahaan. Itu sudah cukup." Kali ini, Lina yang menyahut. Dia merasa puas dengan fasilitas yang diberikan perusahaan. Sampai di lantai empat, Maria berjalan menuju meja dengan tulisan manajer. "Pak Deri, ini ada pegawai baru." Deri yang sedang sibuk dengan laptopnya mendongak. "Oh, yang kemarin itu ya." Maria mengangguk. "Terima kasih, Mbak Mar. Aku ambil dari sini." "Oke, aku balik dulu. Lina, Siska, semoga betah di sini ya," pamit Maria. Setelah itu, dia berbalik menuju lift. "Terima kasih, Mbak Mar." Siska bahkan melambaikan tangannya. "Ayo, aku tunjukkan meja kalian." Deri berjalan mendahului mereka. "Ini mejanya. Kalian bisa memilih sendiri. Dua-duanya kosong." Kemudian, Deri memberikan kode untuk masing-masing komputer Lina dan Siska. Setelah mengerti, merekapun mulai bekerja. Istirahat siang ini, Lina dan Siska sepakat untuk pergi ke kantin. Mereka ingin mencoba menu di sana sekalian melihat-lihat situasi. Riuh canda dan tawa menyapa mereka yang keluar dari lift di lantai lima belas. Meskipun masih ada beberapa meja dan bangku kosong, tapi suasananya ramai dan menyenangkan. Lina dan Siska pun mengantre. Tiba saat mereka, Lina tiba-tiba menyadari sesuatu. "Ya Tuhan, aku lupa tidak membawa kartu! Mungkin masih tertinggal di tas." Petugas kantin menatap Lina dengan tatapan rumit. "Kalian baru ya?" Siska dan Lina mengangguk. "Maaf ya, tidak bisa mengambil jatah kantin tanpa kartu pegawai, kecuali kalian pakai cash." "Ya sudah cash saja." Lina mengambil dompet dan menyerahkan uangnya. "Terima kasih. Lain kali, jangan sampai lupa." "Iya, Bu. Maaf." Lina menghela nafas lega begitu keluar dari antrian. "Jangan dipikirkan. Yang penting masih bisa makan." Lina mengangguk. "Ayo cari tempat duduk!" "Lho, kalian juga di sini?" Lina dak Siska menoleh. "Mbak Mar?" ucap keduanya bersamaan. Rupanya, Maria juga baru keluar dari antrian. "Iya, mau mencicipi makanan kantin. Sepertinya enak," jawab Lina. "Meskipun menunya sederhana, tapi memang lumayan kok." Maria datang bersama dua temannya. Mereka berkenalan sebentar sebelum akhirnya duduk di meja panjang bersama. Setelah mendapatkan kursi, mereka mulai menikmati makan siang. "Cepat sekali makanmu." Siska menatap piring Lina yang sudah kosong dengan takjub. "Aku mau kembali lebih dulu. Takutnya kartuku jatuh atau kenapa-kenapa." "Ya sudah. Cari dengan teliti!" Lina mengangguk. "Kamu sama Mbak Mar dulu ya." "Iya, sudah tidak apa-apa." "Mbak Mar, aku balik dulu," pamit Lina. "Lho, cepat sekali." "Iya, ada yang ketinggalan." "Oh, ya sudah sana." Setelah berpamitan, Lina kembali sambil terus mengamati bawah, tapi apa yang dia cari tidak ada sampai dia memasuki lift. Tiba di lantai empat, suasana cukup lengang. Meja-meja kosong karena pemiliknya sedang tidak berada di tempat. Lina menunduk, kembali fokus menatap lantai hingga dia tidak menyadari sepasang kaki kecil di sampingnya. "Apa yang kamu cari?" Lina tersentak. Saking cepatnya mengangkat kepala, dia merasa pusing. "Kamu tidak apa-apa? Kamu sakit?" Pria kecil itu tampak khawatir. Dia bahkan mengulurkan tangannya untuk membantu Lina. 'Padahal dia masih kecil. Apa menurutnya dia kuat menopang ku?' batin Lina. "Aku tidak apa-apa," jawab Lina dengan cepat. Lina menatap anak di depannya. Matanya cokelat bulat, indah, dan menggemaskan. Pipinya bulat dan sedikit kemerahan. Dan yang paling menggemaskan adalah bibirnya yang kecil, tipis, tapi berwarna merah. Tampan! Saking tampannya sampai dia terlihat cantik. Tidak salah jika dia putra Pak Jason. Meskipun duda dan sudah tidak muda, tapi pesonanya mampu menggemparkan seluruh penghuni Central building. Anak ini. Umurnya mungkin tiga atau empat tahun. Tiba-tiba, Lina teringat dengan anaknya sendiri. Jika mereka masih bersama, mungkin putranya juga seumuran dengan putra bosnya ini. Tanpa sadar, Lina tersenyum dan matanya dipenuhi kasih sayang. "Memangnya apa yang kamu cari sampai fokus seperti itu?" tanyanya lagi. Masih dengan sikap dingin meskipun terlihat jika dia penasaran. "Kartuku. Oh iya, siapa namamu?" Lina melipat lututnya. Dia mensejajarkan tingginya dengan bocah ini. "Kamu tidak kenal aku?" Mata cokelat kecil menggemaskan itu memicing. Suaranya dipenuhi rasa tidak percaya. Senyum Lina semakin lebar. Dia ingin menggodanya. Wanita itu lantas menggeleng. "Aku pegawai baru di sini." "Ooh." Bocah itu mengangguk penuh pengertian. Lucu sekali! Masih sekecil ini, tapi sikapnya sok dewasa sekali. Boleh tidak Lina memeluk dan mencubit pipinya yang bulat itu?? "Kalau aku anak pegawai di sini," jawab Brian dengan enteng dan tanpa beban seolah apa yang dia katakan adalah fakta. "Hah??" Lina tercengang mendengar kalimat Brian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD